Ticker

6/recent/ticker-posts

Ekin, Gang Sempit Favorit



Bab 1: Gang Sempit Dan Perjumpaan

Alarm udah gue snooze berkali-kali. Gue kira itu ujian terberat pagi ini. Ternyata belum ada apa-apanya dibanding suara ketukan pintu nyokap.

“Bangun, Gi! Ke pasar!”

Gue masih menunda, tapi begitu kalimat “Anak itu, bantuin ibu!”, gue tahu perlawanan gue selesai.
Di pasar, gue masih agak linglung, sampai tangan gue dipaksa megang ikan kakap. Besarnya keterlaluan. Gue cuma bisa ngedumel dalam hati, “ini belanja atau olahraga angkat beban?”

Di pasar, sambil nunggu nyokap tawar-menawar harga kayak adu argumen tanpa akhir, gue nyelinap ke gang sempit di samping. Gang itu sumpek, becek, panas, tapi anehnya punya daya tarik. Ada aroma asap sate Madura yang bercampur dengan bau tanah basah. Kombinasi aneh, tapi bikin gue betah.

Di tengah keramaian, mata gue berhenti pada satu sosok.
Seorang cewek, rambutnya panjang, pergelangan tangannya penuh gelang rajut warna-warni. Jalannya santai, tapi justru itu yang bikin gue enggak bisa alihkan pandangan.

Saat itu juga, semua suara sekitar terasa mengecil. Gue otomatis meraih pensil dan buku sketsa. Ada dorongan kuat, seperti alarm di kepala, “gambar sekarang, jangan tunggu. Kalau kelewatan, momen ini hilang.”


Pulang dari pasar, gue dan nyokap lewat gang yang sama. Tapi kali ini langkah gue melambat, seolah ada sesuatu yang nahan. Entah firasat, entah cuma perasaan random. Gue nengok ke ujung gang, dan… dia ada di sana.

Cewek itu.
Duduk di bangku plastik biru yang warnanya udah pudar, depan sebuah warung kecil dengan rolling door setengah terbuka. Kepalanya menunduk, matanya sibuk di layar HP, rambut panjangnya jatuh menutupi sebagian wajah.

Gue sempat ragu, mikir, “Maju nggak ya?”
Tapi sebelum logika keburu mikir panjang, kaki gue sudah bergerak sendiri. Tau-tau gue udah berdiri di depannya.

Gue berdeham kecil, coba sok santai. “Hai, Vina, ya?”
Dia mendongak, wajahnya datar.
“Bukan.”

Gue garuk belakang kepala, nyengir salah tingkah. “Oh… Ekin?”
“Iya.”
Baru kali ini senyumnya keliatan.

“Kamu Agi, kan?” katanya.

Seketika gue bengong. Dia tahu nama gue juga?
Ternyata iya. Kami pernah saling kenal, tapi nggak dekat. Kayak teman online yang cuma sesekali nimbrung di story Instagram. Kadang swipe-up kalau bahas anime, kadang lempar meme receh yang absurd tapi entah kenapa bikin ketawa.

Satu kenangan muncul. Gue pernah reply story-nya, tentang anime underrated. Balasannya masih kebayang jelas: “IYAAA! Kok lo juga sukaaa??” Obrolan kami jadi panjang, tapi berakhir tiba-tiba ketika dia ganti akun. Setelah itu, hilang.

Dan kini, tanpa pernah gue duga, dia duduk di depan gue.

Ngobrolnya canggung. Basa-basi yang singkat.
“Nunggu siapa?”
“Nggak, duduk aja.”
“Oh.”

Gue beberapa kali curi pandang, ngamatin ekspresinya tiap kali nyoba ngobrol. Tangannya sesekali ngerapihin rambut, kadang cuma mainin jari. Ada sesuatu di situ yang bikin gue pengen buka buku sketsa lagi.

Bukan sekadar penasaran, tapi gue takut momen ini hilang.
Cewek yang dulu cuma stranger di IG, sekarang duduk di depan gue.

Apalagi masih kebayang waktu tadi dia jawab, 
“Iya. Aku Ekin.”


Hari berikutnya gue balik lagi ke gang itu. Nggak ada rencana khusus, cuma pura-pura beli bawang. Aslinya sih, nyari Ekin.

Dan ternyata dia ada. Masih duduk di kursi plastik yang sama, kali ini sambil minum es teh.

Obrolan kami lebih panjang dari kemarin. Dari makanan favorit sampai debat soal ending Attack on Titan yang katanya “terlalu filosofis.” Gue nyeletuk Levi lebih cocok buka usaha laundry, dan dia ketawa keras.

Setiap kali dia ketawa, ada getaran kecil di dada gue. Bukan cinta, belum sampai situ. Lebih kayak frekuensi radio yang tiba-tiba dapet saluran tepat.

Padahal baru seminggu kenal.
Tapi rasanya seperti sudah bertahun-tahun.


Bab 2: Gang, Bayang-Bayang Masa Lalu

Setelah pertemuan itu, gang sempit itu jadi tujuan tetap setiap pagi. Gue selalu punya alasan untuk ke pasar, meski kulkas rumah masih penuh. Kadang bawa pulang kantong kosong, kadang cuma belanja receh: dua siung bawang merah, tiga biji cabe rawit. 

Sampai akhirnya nyokap sadar.

“Kenapa tiap hari ke pasar?”

Nada suaranya tegas, seperti interogasi.

Gue tarik nafas, pura-pura yakin. “Lagi latihan disiplin, Ma. Biar mandiri.”

Dia diam, menatap gue lama, seolah menunggu pengakuan. Tapi akhirnya berlalu begitu saja.


Setiap sore, gue kembali ke gang itu. Dan setiap kali, Ekin hampir selalu ada. Bangku plastik biru yang nyaris pincang jadi singgasananya. Seolah memang jadi dekorasi tetap dari warung sederhana itu.

Kami berbagi tawa, percakapan sederhana yang entah kenapa terasa berarti. Saat ia bercerita tentang kebiasaannya bernyanyi pelan ketika hujan, ada jeda hening dalam diri gue; sebuah ketenangan yang tak bisa dicari di tempat lain.

Namun, seperti biasa, cerita yang terlalu mulus selalu punya cara untuk retak.

Sore itu kami duduk berdampingan, Ekin lagi cerita tentang temannya yang mengira Haikyuu itu anime masak. Gue sudah bersiap ngakak, sampai tiba-tiba… seseorang muncul. tanpa aba-aba, tanpa permisi, dan dengan sekejap, suasana berubah.


Elin.

Teman SMA. Ada masa di mana kami hampir menyatu, hampir jadi “kita”. Tapi hubungan itu terhenti di tengah jalan, menggantung. Entah karena gue yang ngga peka, dia yang terlalu rumit, atau kami berdua yang sama-sama takut jujur.

“Gi,” katanya pelan tapi tajam. “Kamu kenapa nggak pernah bales chat aku?”

Duar. Kalimat itu jatuh di depan Ekin, langsung menusuk.

Gue kaku. Nggak siap. Otak blank, tangan cuma menggenggam kantong cireng yang tiba-tiba jadi barang paling absurd di dunia.

Ekin diam. Tapi wajahnya berubah.

Matanya yang biasanya ramai, penuh cerita, penuh tawa, mendadak seperti jendela yang ditutup rapat. Hening.


“E-Elin… gue pikir kita udah…”
Suara gue kecil, campur antara nyesel dan bingung.

“Gak apa-apa kok.”
Dia langsung potong. Suaranya tenang, tapi senyumnya lain. Senyum yang dipakai orang buat nutupin luka. Senyum yang lebih dekat ke tangis ketimbang tawa.
“Aku cuma kira kamu butuh waktu.”

Dan saat itu, Ekin berdiri.
Tanpa kata, tanpa tatap. Dia angkat tas, lalu pergi. Langkahnya pelan tapi tegas, kayak seseorang yang udah mutusin buat nutup buku.

Elin juga akhirnya mundur, melangkah ke arah lain. Kayak baru sadar dia salah masuk cerita.

Gue?
Masih di bangku plastik itu. Tangan tetap menggenggam kantong cireng yang sekarang hambar. Gang yang biasanya ramai dengan aroma sate, suara pedagang, teriakan anak-anak, dan asap motor, mendadak terdengar kosong.

Kepala gue penuh suara, tapi tubuh gue beku.
Dan yang tersisa cuma satu rasa: salah.

Gue tahu ini salah gue.
Masa lalu yang nggak pernah gue beresin, akhirnya ngejar, lalu nabrak keras-keras pas gue lagi nyoba bangun cerita baru.

Bab 3: Klarifikasi 

Malam itu, HP gue bunyi.
Elin.

“Gi… bisa ketemu nggak? Aku pengen ngobrol. Klarifikasi, kalau kamu nggak keberatan.”

Gue baca lama. Jari gue sempet ragu, tapi akhirnya gue ketik satu kata: iya.
Bukan karena sungkan. Lebih karena gue udah capek membiarkan ini terlalu lama.

Warkop kecil itu nggak berubah sejak SMA. Bangku kayu masih reot, lampu masih remang, dan suara motor yang lalu-lalang tetap jadi backsound wajib.

Gue sampai duluan. Duduk di pojokan, tempat biasa.

Tak lama, Elin datang. Duduk. Nggak banyak kata. Dia cuma mesen Ovaltine dingin, lalu diam.

Tangannya terus muter-muterin sedotan. Matanya tetap tertuju ke meja, tak sekalipun menatap gue.
Suasana di antara kami tebal, sunyi, dan penuh kikuk.

“Aku kira kamu cuma butuh waktu.” Suara Elin lirih, tapi jelas.

Gue menahan napas, lalu berkata pelan, “Elin… gue pikir kita udah selesai.”

Dia mendongak. Tatapannya tajam, juga rapuh.
“Jadi, kamu sudah punya orang baru?”

Hening sejenak. Lalu satu kata keluar.
“Iya.”
Kalimat singkat, tapi beratnya lebih dari seribu alasan.

Elin menunduk. “Kenapa bukan aku dari dulu?”

Gue menarik napas panjang, lalu jujur. “Dulu, waktu SMA… gue pernah suka sama lo. Gue coba deket, gue coba cari celah. Tapi setiap kali gue maju, lo kayak mundur. Kayak selalu ada jarak yang nggak bisa gue lewatin.”

Air mata Elin mulai menggenang. “Aku sebenernya peka, Gi. Aku tau. Cuma… kamu nggak pernah sadar kalau aku juga nunggu kamu lebih berani.”

Gue menatapnya lama, rasanya sesak. “Mungkin itu masalahnya, Lin. Kita sama-sama nunggu, sama-sama berharap, tapi nggak pernah ketemu di tengah. Gue capek ngeraba arah yang nggak jelas. Dan sekarang… gue nemuin orang yang nggak bikin gue nunggu tanda, nggak bikin gue nebak-nebak. Dia jelas, dia hadir.”

Elin menutup wajahnya sebentar, lalu tersenyum tipis dengan mata basah. “Jadi selama ini… kita cuma saling lewatin ya?”

Gue mengangguk pelan. 

“Mungkin… emang kita udah beda arah.”

Dia berdiri, meraih tas. Gelas Ovaltine masih tertinggal di meja, sisa esnya meleleh pelan.

Sebelum melangkah pergi, dia berhenti sebentar. Menoleh.

Tatapannya lurus, suaranya tenang, tapi jelas menyimpan luka.

“Jaga dia, Gi. Jangan sampai cerita kita terulang di dia.”

Dia pergi, langkahnya pelan tapi gema itu terus membekas di kepala gue, seperti bayangan yang susah dihapus.


Bab 4: Kesempatan

Beberapa hari gue nggak balik ke gang itu.
Bukan karena nyerah.
Cuma butuh waktu buat beresin isi kepala yang berantakan.

Momen waktu Ekin pergi tanpa sepatah kata terus muter di kepala. Diamnya dia… entah kenapa, lebih nusuk daripada omelan apa pun.

Gue juga nggak bisa sepenuhnya nyalahin Elin.
Ekin pun nggak salah.
Yang salah? Ya gue sendiri. Karena nggak nutup masa lalu dengan benar.
Dan sekarang, masa kini gue yang kena getahnya.

Hari Minggu. Jam tiga sore. Matahari nyengat kayak lampu sorot di atas panggung. Tapi hati gue justru dingin. Lebih dingin dari es teh yang biasa Ekin pesen.
Gue maksain diri balik ke gang itu.

Dan dia ada di sana.

Duduk sendirian di bangku plastik biru, yang kakinya masih miring kayak biasa.
Gelas es teh setengah meleleh di sampingnya. Matanya lurus ke arah jalan, tapi gue tahu... dia sadar gue dateng.

Gue jalan pelan. Duduk di sebelahnya. Ada jeda, ruang kosong di antara kami yang nggak keliatan tapi berasa banget.

“Masih suka cireng, kan?”

Dia ngelirik, cepat. Matanya sebentar doang ke gue, lalu balik lagi ke jalan.

“Masih. Asal nggak keras.”

Gue senyum kecil. Tipis.
Padahal jantung gue ga karuan.

Kita diem sebentar. Cuma suara pasar dari kejauhan.
Orang lalu-lalang. Terikan pedagang. Tapi semuanya kayak kejadian di dunia lain.

Gue tarik napas dalam. Nyari nyali yang masih sisa.

“Gue balik… biar lo nggak salah paham lebih lama.”

Dia nggak langsung jawab. Tangannya muter-muterin sedotan. Ada sesuatu di dalam dirinya yang kelihatan lagi dia tahan.

“Aku nggak ngerti kenapa aku pergi waktu itu,” katanya pelan.
"Kita 'kan belum jadi apa-apa. Tapi pas lihat kalian.. Aku merasa cuma bayangan di latar belakang."

Gue nunduk. Kata-katanya dalem. Dan bener.
Dan justru karena bener, gue makin ngerasa salah.

“Waktu Elin dateng, gue beneran bingung,” gue ngomong pelan.
“gue nggak tahu cara ngejelasin semuanya ke lo... tanpa bikin lo ngerasa disudutin.”

Dia akhirnya noleh. Tatapannya langsung ke mata gue.
Nggak tajem, tapi dalem. Jujur.

“Aku cuma pengen tahu, Gi.”
“Nih ya... kamu dateng lagi ke sini karena kamu peduli? Atau karena kamu nggak siap kehilangan?”

Pertanyaan itu nggak keras, tapi rasanya kayak ditampar.
Karena jujur aja, gue bahkan nanya itu juga ke diri gue sendiri.
Tapi setelah diem cukup lama, gue tahu jawabannya.

“Gue dateng... karena gue ngerasa kehilangan sesuatu yang bahkan belum sempet gue punya.”
Suara gue kecil. Nyaris kayak bisikan.

“Elin itu masa lalu, Kin. Lo bikin gue pengen mulai dari awal...
...dengan cara yang bener.”

Dia balik natap gelas es tehnya. Diam cukup lama, seolah lagi baca pertanda dari es yang mulai cair.

Lalu dia ngomong.

“Aku nggak butuh janji manis, Gi. Nggak butuh omongan muluk.”
“Aku cuma mau liat minggu depan… kamu masih dateng atau nggak.”

“Nggak semua orang bisa bertahan. Dan aku udah capek ngira orang dateng buat tinggal... padahal cuma numpang lewat.”

Gue ngangguk pelan. Nggak janji apa-apa. Tapi dalem hati, ini udah jadi keputusan.
Bukan buat nebus masa lalu. Tapi buat nunjukin kalau gue belajar.

Dan kali ini, gue bakal beneran dateng.


Bab 5: Gang Yang Kosong

Hari Sabtu, gue balik ke gang itu lebih cepat dari janji. Jam sebelas siang, udara panas. 

Gue duduk di bangku plastik itu, menunggu.

Tapi Ekin nggak ada.

Bangku itu kosong melompong. Nggak ada gelas es teh, apalagi senyum tipisnya. Cuma suara kipas warung yang berdecit sama teriakan anak-anak main sepeda.

Gue nunggu. Lima belas menit, setengah jam, bahkan sampe gue beli tahu bulat cuma biar nggak kelihatan kayak orang bego. Tapi dia nggak dateng juga.

Gue coba chat.

"Kin, gue di gang. Jadi dateng, kan, kayak yang lo bilang?"

Centang dua. Tapi nggak dibalas.

Hati gue kerasa kayak bangku plastik itu: kosong, dingin, dan sedikit retak. Gue kira niat baik doang udah cukup buat beresin semuanya.

Tiga hari berlalu, dan gue balik lagi ke gang itu. Tiga kali, dengan hasil yang sama: kosong. Setiap sore, gue duduk, nunggu, bawa kantong belanja yang isinya cuma alasan buat diri sendiri.

Sampai akhirnya, hari Kamis sore, HP gue berbunyi. Notifikasi IG dari @ekinra.

"Kamu masih sering ke gang itu?"

Jantung gue kayak ditepuk centong nasi. Kaget tapi langsung anget. "Masih. Bangkunya nggak ada yang dudukin, soalnya."

Dia nggak langsung bales. Gue kira bakal digantung lagi. Tapi sejam kemudian, dia menulis:

"Besok sore, kalau kamu nggak sibuk, aku ada di taman deket musala. Bawa satu hal yang kamu anggap paling jujur dari diri kamu."

Gue beneran nggak ngerti maksudnya, tapi gue langsung setuju. Karena ini mungkin kesempatan terakhir gue.


Bab 6: Halaman Kosong

Besoknya, jam lima sore, gue udah duduk di taman kecil deket musala. Tangan gue ngegenggam erat buku sketsa yang udah lama ngumpet di laci, isinya gambar-gambar yang nggak pernah gue tunjukin ke siapa pun. 

Lalu dia datang.

Pakai hoodie biru, tote bag digantung di bahu, rambutnya diiket seadanya. Nggak dandan. Tapi justru itu… cantiknya malah lebih nyentuh. Bukan cantik yang minta dilihat, tapi cantik yang bikin lo pengen berhenti dan ngelihat lebih lama.

Dia duduk di samping gue. Nggak mepet, tapi cukup deket buat bikin jantung gue deg-degan nggak jelas.

"Kamu bawa?" tanyanya.

Gue cuma angguk, terus ngasih buku sketsa itu ke dia.

Ekin ngelihatnya sebentar, agak ragu. Lalu dia buka. Halaman pertama... kedua... ketiga... dan makin lama dia buka, makin lama juga dia diem.

Ekspresinya berubah. Awalnya datar. Lalu pelan-pelan matanya kayak bingung,, nggak percaya.

"...ini... semua aku?" suaranya pelan. Hampir kayak dia ngomong ke dirinya sendiri.

Gue angguk lagi. “Gue nggak pernah nunjukin ke siapa-siapa. Tapi tiap ketemu lo... rasanya selalu ingin melukis setiap momen bareng lo.”

Dia berhenti di satu halaman yang kosong. Di atasnya cuma ada tulisan kecil:
"Halaman yang belum selesai."

Ekin masih ngelihatin halaman itu lama. Tangan kirinya nahan sudut buku, tangan kanan mainin tali tote bag kayak anak kecil yang gugup.

"Ini maksudnya?"

Gue tarik napas. “Itu kita. Gue nggak tahu ini bakal jadi apa. Tapi gue pengen halamannya tetap ada... biar kita isi bareng.”

Dia diem. Lama. Suara angin kayak ikut nunggu jawaban.

Akhirnya dia nyengir sedikit, tapi senyumnya bukan senyum santai. Ada getir tipis yang ngendap.
"Tapi kamu sadar, kan? Halaman bisa sobek. Bisa kusut. Bisa hilang."

Gue angguk. “Gue tahu. Tapi kalau itu kejadian, gue bakal gambar ulang. Berkali-kali kalau perlu. Karena sekarang... gue punya alasan buat nyelesainnya.”

Dia ngeliatin gue. Lama. Matanya nggak sejernih biasanya, kayak ada yang dia tahan. Tapi akhirnya, dia senyum. Lebih hangat.

“Janji ya... kalau gambarnya jelek, aku boleh kritik pedes.”

Gue ketawa kecil, “Deal. Tapi jangan coret pake spidol juga, ya.”

Dan sore itu, tanpa embel-embel status, tanpa kata-kata resmi, kita mulai sesuatu.
Nggak dari nol. Tapi dari halaman kosong yang akhirnya siap buat diisi.

Bareng.

© 2025 by Agi Dione | All rights reserved.