Ticker

6/recent/ticker-posts

Ekin, Gang Sempit Favorit


Bab 1: Gang Sempit, Aroma Perjumpaan 

 Pagi selalu dimulai dengan ritual yang sama: alarm yang gue snooze sampai jari capek, dan suara nyokap ngetok pintu seperti penagih utang yang nggak sabaran. Hari itu, entah kenapa, rutinitas ini terasa lebih berat dari biasanya.

"Bangun, Agi! Ke Pasar Kemiri, bantuin ibu!"

Dalam hati, gue cuma bisa mengeluh, dunia ini gak punya tombol snooze, ya? Tapi nyokap punya jurus pamungkas: "Anak itu bantuin ibu." Seketika, semua mimpi tentang kemandirian dan self-love lenyap, seperti odol yang kejeblos ke wastafel.

Akhirnya gue ikut, muka masih kusut, bawa kantong belanja yang isinya absurd: ikan kakap, sabun colek, dan daun bawang yang cukup buat stok warung bakso se-kecamatan. Di pasar, sambil nunggu nyokap berdebat harga dengan ibu-ibu lain, seperti debat capres yang nggak ada ujungnya, gue menyelinap ke gang sempit di samping. Sumpek, gerah, becek. Tapi gang ini punya aroma aneh yang bikin gue betah: campuran amis ikan, keringat, plastik basah, dan sedikit bau perjuangan hidup.

Di tengah hiruk-pikuk itu, gue melihat dia.
Seorang cewek. Rambut panjang, langkahnya ringan tapi penuh tujuan. Seakan bikin gue terpaku, seperti ada sesuatu di matanya yang narik perhatian tanpa gue paham kenapa.

Pulangnya, kami melewati gang itu lagi. Kaki gue tiba-tiba ngerem, seperti ada firasat. Dan benar saja, di ujung gang, dia duduk di depan warung kecil. Bangku plastik biru, rolling door setengah terbuka, dia fokus ke HP-nya, rambutnya jatuh menutupi sebagian wajahnya yang putih pucat.

Jantung gue tiba-tiba nggak karuan.
Gue mendekat, berbekal keberanian entah dari mana.
"Hai... Vina, ya?"

Dia menoleh, alisnya naik sedikit. "Bukan."

"Ekin?"

"Iya." Dia tersenyum tipis, seperti sinyal Wi-Fi satu bar. "Kamu Agi, kan?"

Otak gue langsung blank. Ekin. Nama itu menggema. Dulu kami pernah saling swipe-up di IG, ngobrolin anime underrated dan meme receh. Tapi komunikasi kami terputus saat dia ganti akun, dan gue, seperti biasa, terlalu males buat nyari tahu.

Kita ngobrol sebentar. Basa-basi. Tapi gak terasa canggung.
Obrolannya ngalir, tanpa harus mikir keras cari topik.

Besoknya, tanpa rencana, kaki gue balik lagi ke gang itu.
Alasan resmi: beli bawang.
Alasan sebenarnya: Ekin.

Dia ada di sana, duduk di bangku yang sama, dengan es teh di tangannya. Kami ngobrol lebih lama, dari makanan favorit sampai ngeributin ending Attack on Titan yang katanya "terlalu filosofis". Dia ketawa tiap gue bilang Levi seharusnya buka usaha laundry. Dan setiap dia ketawa, ada sesuatu di dada gue yang bergetar. Bukan cinta, belum. Hanya seperti frekuensi radio yang akhirnya ketemu saluran yang pas. Simpel. Nyambung.

Padahal, kami baru kenal seminggu. Tapi rasanya seperti sudah bertahun-tahun.


Bab 2: Gang, Bayang-Bayang Masa Lalu 

Gang itu jadi bagian dari rutinitas gue. Setiap pagi, gue nyetater motor ke pasar, meski kulkas di rumah masih penuh. Kadang gue bawa kantong kosong, pura-pura habis belanja. Kadang bawa belanjaan beneran, tapi isinya absurd: dua siung bawang merah, tiga biji cabe rawit. Iya tiga biji.

Nyokap mulai curiga.
"Ngapain sih tiap hari ke pasar mulu?"
Gue jawab dengan penuh niat sok reformis:
"Lagi latihan jadi produktif, Ma."

Dia cuma melotot, tapi untungnya nggak nanya lebih lanjut.

Hari-hari berlalu, dan setiap sore gue balik ke gang itu. Ekin hampir selalu ada, seperti bagian dari dekorasi warung kecil itu. Kami ngobrol, ketawa, dan entah kenapa, setiap kali dia cerita soal hal-hal kecil, seperti kebiasaannya nyanyi pelan pas hujan, gue merasa dunia ini nggak seburuk yang gue kira.

Tapi, seperti cerita yang terlalu mulus, semesta selalu punya cara buat bikin plot twist.

Sore itu, gue lagi asyik ngobrol sama Ekin, ketika seseorang muncul. Tanpa aba-aba. Tanpa permintaan maaf.

Elin.

Teman SMA. Dulu pernah dekat, pernah hampir jadi "kita". Tapi hubungan kami kandas, entah karena gue terlalu bego, atau dia terlalu rumit. Atau keduanya.

"Gi, kamu kenapa gak pernah bales chat aku?"

Kalimat itu keluar begitu saja, tajam seperti pisau dapur yang baru diasah. Di depan Ekin.

Gue membeku. Ekin diam, tapi ekspresinya berubah. Matanya yang biasanya penuh cerita tiba-tiba seperti jendela yang ditutup rapat. Kosong.

"Elin, gue pikir kita udah.."

"Gak apa-apa, kok," potong Elin, dengan senyum yang jelas-jelas penuh luka. "Aku cuma kira kamu cuma butuh waktu."

Ekin berdiri. Tanpa kata, tanpa tatapan. Dia ambil tasnya dan pergi, langkahnya pelan tapi tegas.

Elin juga akhirnya berjalan ke arah lain, seperti sadar dia baru saja masuk ke cerita yang bukan miliknya lagi.

Gue? Gue cuma duduk di bangku plastik itu, memegang kantong cireng yang tiba-tiba hambar. Gang yang tadinya penuh warna kini terasa kelabu. Suara pedagang, jeritan anak-anak, aroma amis ikan, semuanya jadi gema yang bikin kepala gue pusing.

Rasa bersalah itu berat. Gue tahu ini salah gue. Masa lalu yang nggak gue beresin dengan tuntas kini menghantui masa kini gue.


Malam itu, Elin nge-chat.
"Gi, kita perlu ngobrol. Ketemu, ya? Aku pengen klarifikasi."

Gue mengiyakan, bukan karena nggak enak, melainkan karena gue capek nahan beban yang makin berat.

Kami janjian di warkop kecil, tempat kami sering nongkrong pas SMA. Bangku kayu, lampu remang, suara motor lewat yang bikin obrolan harus setengah teriak. Gue datang duluan. Elin nyusul, memesan Ovaltine, lalu diam.

Tangannya mainin sedotan, matanya menghindari gue. Aura di antara kami tebal, seperti kabut yang menyesakkan.

"Aku kira kamu cuma butuh waktu," katanya pelan, membuka obrolan.

Gue menarik napas, dan menjaga nada bicara setenang mungkin. "Elin, aku pikir kita udah selesai dulu."

"Jadi, kamu udah punya orang baru?" Tanyanya, dengan kecewa yang nggak bisa disembunyikan.

Gue diam sejenak, lalu menjawab, "Iya."

Satu kata, karena semakin banyak alasan, semakin terdengar seperti pembenaran.

Dia menatap meja, bibirnya mengeras. "Dia kayak apa?"

Gue mikir keras, nggak mau terdengar membandingkan. "Dia bikin gue ngerasa cukup, meski gue cuma gue yang biasa. Yang kadang bego, kadang telat bales chat. Dia nggak minta gue jadi orang lain."

Elin mengangguk pelan, matanya mulai berkaca-kaca. "Dulu kamu juga bilang gitu ke aku."

Gue menarik napas dalam. "Iya. Tapi dulu, gue bilang itu cuma buat nyakinin kamu. Sekarang, gue bilang itu karena gue beneran ngerasa."

Dia senyum kecil.
Yang lebih mirip pasrah ketimbang lega.. "Mungkin kita emang udah beda arah."

Dia berdiri, mengambil tasnya, meninggalkan gelas Ovaltine yang belum habis. Sebelum pergi, dia berbalik. "Jaga dia, Gi. Jangan ulangin cerita kita di dia."

Langkahnya pelan, tapi bekasnya tertinggal lama di hati gue.


Bab 3: Lorong yang Sunyi 

Beberapa hari gue nggak balik ke gang itu. Bukan menyerah, melainkan butuh waktu untuk beresin kepala gue sendiri. Momen ketika Ekin pergi tanpa sepatah kata terus muter di pikiran. Diamnya itu, entah kenapa, lebih menyakitkan dari apapun.

Gue nggak bisa nyalahin Elin sepenuhnya. Ekin juga nggak salah. Yang bisa gue salahkan cuma diri sendiri, karena nggak beresin masa lalu dengan tuntas, dan sekarang masa kini gue jadi korban.

Hari Minggu, gue akhirnya balik ke gang itu. Jam tiga sore, udara panas, tapi hati gue lebih dingin dari es teh yang biasa Ekin pesan. Dia ada di sana, duduk sendirian di bangku plastik itu, dengan gelas es teh yang setengah meleleh. Matanya menatap jalan, tapi gue tahu dia sadar gue datang.

Gue mendekat, duduk di sebelahnya, menjaga jarak. "Masih suka cireng, kan?"

Dia melirik sekilas, lalu menjawab pelan, "Masih. Asal gak keras."

Gue tersenyum kecil, meski hati gue lagi nggak tenang. Hening sejenak, lalu gue memberanikan diri.

"Gue balik supaya lo nggak salah paham lebih lama."

Dia nggak langsung menjawab. Tangannya mainin sedotan es teh, seperti menahan badai di dalam.

"Aku nggak ngerti kenapa aku pergi waktu itu," katanya, suaranya pelan tapi berat. "Kita belum jadi apa-apa. Tapi pas lihat kalian, aku merasa cuma bayangan di latar belakang."

Gue menunduk. Dia benar. Dan itu bikin gue merasa lebih bersalah.

"Waktu Elin dateng, gue bingung," gue jelaskan. "Aku nggak tahu cara ngejelasin semuanya ke lo tanpa bikin lo ngerasa disudutin."

Dia akhirnya menoleh, tatapannya dalam. "Aku cuma pengen tahu, Gi. Kamu dateng ke sini karena peduli, atau cuma karena nggak siap kehilangan?"

Pertanyaan itu seperti tamparan. Gue diam, karena jujur, dua-duanya ada di kepala gue. Tapi yang lebih penting...

"Gue dateng karena gue ngerasa kehilangan sesuatu yang belum sempat gue punya," gue jawab, pelan. "Elin itu masa lalu. Lo bikin gue pengen mulai dari awal, dengan cara yang bener."

Dia menatap gelas es tehnya lagi, lalu berkata, "Aku nggak butuh janji manis, Gi. Aku cuma mau lihat, minggu depan, apakah kamu masih dateng. Kalau iya, mungkin kamu bukan cuma mampir sebentar di hidup orang."

Gue mengangguk. Bukan cuma janji, tapi tekad.


Bab 4: Halaman yang Belum Selesai 

Hari Sabtu, gue balik ke gang itu lebih cepat dari janji. Jam sebelas siang, udara panas, tapi hati gue mendung. Gue duduk di bangku plastik itu, menunggu.

Tapi Ekin nggak ada.

Bangku itu kosong. Es teh nggak ada. Senyum tipisnya juga nggak ada. Cuma suara kipas warung yang berdecit dan anak kecil yang main sepeda sambil teriak-teriak.

Gue nunggu. Lima belas menit, setengah jam, bahkan sampai gue beli tahu bulat cuma supaya nggak kelihatan bodoh. Tapi dia nggak datang.

Gue coba chat.

"Kin, gue di gang. Jadi dateng, kayak yang lo bilang."

Centang dua. Tapi nggak dibalas.

Hati gue terasa seperti bangku plastik itu, kosong, dingin, dan sedikit retak. Gue kira niat baik cukup untuk beresin semuanya. Tapi ternyata, niat saja nggak cukup.

Tiga hari berlalu, dan gue balik lagi ke gang itu. Tiga kali, dengan hasil yang sama. Kosong. Setiap sore, gue duduk, menunggu, dengan kantong belanja yang isinya cuma alasan.

Sampai akhirnya, hari Kamis sore, HP gue berbunyi. Notifikasi IG dari @ekinra.

"Kamu masih sering ke gang itu?"

Jantung gue seperti ditepuk centong nasi. kaget tapi hangat. "Masih. Bangkunya gak ada yang dudukin, soalnya."

Dia nggak langsung bales. Gue kira bakal digantung lagi. Tapi sejam kemudian, dia menulis:

"Besok sore, kalau kamu nggak sibuk, aku ada di taman deket musala. Bawa satu hal yang kamu anggap paling jujur dari diri kamu."

Gue nggak ngerti maksudnya, tapi gue setuju. Karena ini mungkin kesempatan terakhir.

Besoknya, jam lima sore, gue sudah di taman kecil itu. Di tangan gue, sebuah buku sketsa yang udah lama tersimpan di laci. Isinya gambar-gambar yang nggak pernah gue tunjukkan ke siapa pun. Gambar-gambar yang lahir dari momen-momen kecil bareng Ekin, sejak pertama kali gue lihat dia di gang sempit itu.

Dia datang, mengenakan hoodie biru dan tote bag, rambutnya diikat asal. Cantik, tapi bukan cantik yang mencolok. Cantik yang bikin lo pengen berhenti dan memperhatikan.

Dia duduk di samping gue, nggak terlalu deket, tapi cukup untuk bikin jantung gue nggak stabil. "Kamu bawa?" tanyanya.

Gue menyerahkan buku sketsa itu. Dia membukanya perlahan, halaman demi halaman. Ada gambar dia duduk di gang, ada yang lagi ketawa, ada juga yang cuma diam. Semua momen yang gue simpan dalam garis dan bayangan.

Dia berhenti di halaman kosong. Di atasnya cuma ada tulisan kecil: "Halaman yang belum selesai."

"Ini maksudnya?" tanyanya, alisnya sedikit naik.

Gue menarik napas. "Itu kita. Gue nggak tahu bakal jadi apa, tapi gue pengen halamannya tetap ada... biar kita isi bareng."

Dia diam, menatap halaman itu lama. Lalu, dengan senyum kecil, dia berkata, "Tapi kamu sadar, kan? Halaman bisa sobek. Bisa kusut. Bisa hilang."

"Gue tahu," jawab gue. "Tapi kalau itu terjadi, gue bakal gambar ulang. Berkali-kali kalau perlu. Karena sekarang, gue punya alasan buat nyelesainnya."

Dia tersenyum, kali ini lebih hangat. "Janji ya, kalau gambarnya jelek, aku boleh kritik pedes."

Gue tertawa, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, dada gue terasa ringan.

Sore itu, tanpa status, tanpa kata-kata resmi, kami mulai sesuatu. Bukan dari nol, tapi dari halaman kosong yang akhirnya siap untuk diisi, bersama.


© 2025 by Agi Dione | All rights reserved.