Ticker

6/recent/ticker-posts

Ore ga Omae de, Omae ga Ore de (Aku di Dalam Dirimu, Kamu di Dalam Diriku) - 01

 



PART 01 – DIJODOHKAN?


“HAI, SAYANG! KAMU DI MANA NIH? AKU UDAH DI CAFE NUNGGUIN KAMU NIH. CEPATAN DATANG YA!” UCAP SEORANG WANITA DARI SEBERANG SAMBUNGAN TELEPON.


“Iya, sayang. Aku OTW bentar lagi sampai cafe kok.” balas Ilham lalu mematikan sambungan telepon melalui headset wirelessnya.


Ilham memacu motornya ke arah cafe tempat perjanjian dengan Aya – kekasih tercintanya.


Sesampainya di cafe tempat janjian, Ilham langsung masuk menuju cafe dan menyapa sang kekasih dengan melambaikan tangannya.


“Sudah lama menunggu?” basa-basi Ilham langsung duduk di depan Aya yang punya wajah menawan nan cantik seperti bidadari.


Aya tersenyum manis.


“Nggak kok. Aku juga baru aja datang lima menit yang lalu.” balas Aya sambil menggelengkan kepalanya.


“Kamu makan gih! Aku udah pesanin makanan dan minuman favorit buat kamu.” tawar Aya.


Di tengah-tengah makan ... .


“Sayang, kita kan udah pacaran dua tahun, nih? Aku sudah nggak tahan lagi nih.” kata Aya.


“Nggak tahan maksudnya?” tanya Ilham yang merasa ambigu atas kata-kata Aya barusan.


“Maksudnya, aku udah nggak tahan ... .”


Aya memegang tangan sang kekasih dengan kedua tangannya, lalu menatap dengan tatapan manja nan manis.


“... karena aku sudah capek jalanin backstreet di belakang family kamu terus-terusan. Kamu kenal keluarga aku di panti, tetapi aku belum kenal keluargamu sama sekali.” jelasnya.


Gadis lucu bernama lengkap Nurhayati ini nampaknya sudah mulai cerewet terhadap hubungan mereka berdua yang dijalani di belakang semua orang, termasuk keluarga Ilham. Keluarga panti Aya yang sudah dianggap seperti keluarga Aya sendiri, mereka meminta keseriusan Ilham dalam menjalani hubungan ke depan. Mengingat, dua insan yang mulai beranjak dewasa ini bukan sekadar cinta monyet yang sering dialami oleh anak-anak SMP.


Menanggapi itu, Ilham tersenyum kecut kepada Aya hanya untuk bertujuan menenangkan kekasihnya itu. Dia menggenggam tangan Aya dengan erat di atas meja.


“Orang tuaku lagi nggak ada di kota ini. Mereka berdua di luar kota, mengurus pekerjaan mereka berdua. Babehku masih di Papua, dan bunda masih di Banjarmasin.” jelas Ilham pelan.


Jawaban itu sepertinya jawaban yang tidak membuat Aya puas jika dibaca dari raut wajah cemberut Aya yang memanyunkan bibir tipisnya, sambil menggembungkan pipinya dan menaruh kedua tangannya pada dagu.


“Kamu sudah bilang itu berkali-kali.” cemberut Aya.


“Hmm...? Baiklah, kalau kamu maksa, aku akan memperkenalkanmu kepada adikku dulu.” balas Ilham.


Aya pun mengembangkan senyuman.


“Kapan kita bisa ketemu adik kamu?” tanya Aya antusias.


“Nurhayati, calm down, please!” tahan Ilham tertawa di kala melihat wajah manis Aya yang antusias itu.


“Kayaknya kamu emang pingin kenalan sama keluargaku, ya?” tawa Ilham melanjutkan kata-katanya.


“Ih!!! Aku kan nggak sabar pingin ketemu keluarga kamu?” manja Aya dengan pipinya yang memerah merona.


“Aku juga nggak sabar ingin mempertemukan orang tua kamu sama ibu panti aku. Biar mereka diskusi tentang pernikahan kita suatu saat nanti.” khayal Aya.


“Pikiranmu terlalu jauh, dudut. Kita masih 19 tahun, belum cukup umur untuk menikah.” Ilham mencubit hidung Aya dengan gemas.


“Apa salahnya kalau aku berkhayal sampai ke sana?” Aya dengan cemberut memanyunkan bibirnya ke depan, yang malah menambah sisi lucu di wajahnya.


Ilham tersenyum, kemudian bangkit dari tempat duduknya. Tidak terlupa meletakkan selembar uang 100 ribuan ke atas mejanya untuk membayar makanan yang telah dipesan Aya. Dia mengulurkan dan juga mengadahkan tangan kanannya. Tentu saja, Aya mengerti apa maksud dari tangan itu. Aya menangkap tangannya dan mereka berdua keluar dari cafe dengan bergandengan tangan.


Mereka berdua pergi menuju rumah Ilham yang jaraknya lumayan dekat dengan cafe tempat janjian barusan. Sesampainya di rumah milik Ilham, Aya melihat rumah berlantai satu yang luas. Rumah itu dapat digolongkan sebagai rumah sederhana.


“Sepertinya nyaman tinggal di sini, ya?” ucap Aya memperhatikan segala penjuru rumah sederhana ini.


“Di rumah ini, banyak banget bunganya.” kagum Aya saat melihat halaman depan rumah Ilham yang penuh bunga.


“Dulu, bunda dan adikku emang suka tanam bunga. Maklum, sesama perempuan.” jelas Ilham singkat.


Aya mengambil kelopak bunga kamboja putih (Kamboja Bali) dan menaruhnya di sela-sela telinganya.


“Mau di sini aja, atau masuk nih?” tanya Ilham.


“Masuk dong. Aku kan pingin mengetahui bagian dalam rumah kamu juga, bukan bagian halamannya doang?” jawab Aya.


Ilham dan Aya berjalan masuk ke dalam rumah dan menyilakan Aya duduk di ruang tamu. Sementara, Ilham masuk ke dalam rumahnya sebentar.


Saat di area tengah rumah, Ilham dikejutkan oleh Anin – adiknya yang melihat kedatangan Ilham dan Aya barusan.


“Cewek yang pulang sama lu itu siapa sih, kak?” heran Anin.


“Pacarku, Nin. Dia maksa mau kenalan sama keluarga kita.” jawab Ilham singkat.


“Bikinin minuman sana! Gue mau masuk kamar bentar.” pinta Ilham yang kemudian masuk ke kamarnya.


“Terserah elu deh, kak.” balas Anin kemudian menuju dapur untuk mengambilkan Aya minuman.


Anin menemui Aya yang ada di ruang tamu sambil membawa botol teh berjumlah tiga untuk Ilham, Aya, dan dirinya sendiri.


“Terimakasih.” ucap Aya.


Anin pun duduk menemani Aya mengobrol sejenak dan berkenalan satu sama lain.


“Kakak pacarnya abang ya?” tanya Anin.


“Iya, aku Aya, pacarnya abang kamu.” jawab Aya ramah.


“Aku Aninditha Rahma Cahyadi. Terserah mau panggil aku apa aja boleh.” balas Anin.


“Kak Aya udah berapa lama pacaran sama kak Ilham?” tanyanya lagi. Anin nampak penasaran dengan kekasih kakak laki-lakinya ini.


“Udah lama juga sih. Dua tahun.” jawab Aya.


“Oh, dua tahun? Berarti, udah mulai SMA kelas 2 pacarannya, ya? Udah lama juga.” Anin mengangguk.


Di tengah-tengah obrolan singkat mereka berdua, Ilham datang dan ikut bergabung dengan dua gadis rumpi ini.


“Sorry ya, lama. Barusan habis ganti baju dikit.” ucap Ilham sambil duduk di samping Anin.


“Oh iya, kak. Gue barusan dapat telepon dari bunda sama babeh. Katanya mereka berdua mau pulang ke sini. Ada hal penting yang mau diomongin sama elu.” tutur Anin.


“Hal penting apa?” tanya Ilham kebingungan.


“Gue juga nggak tahu. Tanya aja nanti malam, saat mereka berdua udah sampai sini!” jawab Anin.


“Ya udah deh.” balas Ilham lirih.


Mereka bertiga mengobrol satu sama lain, demi untuk mempererat perkenalan antara Aya dan Anin. Bisa dianggap kalau ini adalah tahap pertama dalam perkenalan Aya dengan keluarga Ilham yang dilakukan olehnya. Mereka bertiga berbincang dengan seru sampai jam menunjuk angka 4 sore, sehingga Aya meminta diantarkan pulang.


Pukul 20.33, di rumah keluarga Cahyadi. Kedua orang tua mereka sudah tiba di rumah sejak setengah jam yang lalu. Saat ini, keempat anggota keluarga ini sedang makan malam bersama. Di sela-sela makan malam ... .


“Jadi, hal penting apa yang kalian ingin bicarakan denganku?” ucap Ilham menyela makan dengan pertanyaan.


Kedua orang tua mereka menghentikan aktivitas makan sejenak untuk menjawab pertanyaan dari Ilham.


“Setelah kami berdua berdiskusi melalui videocall, kami berdua sepakat untuk menjodohkan kamu dengan anaknya teman babeh.” jawab sang ayah seenaknya.


Mendengar jawaban itu, Ilham tersedak. Dia buru-buru mengambil segelas air dan meminumnya sampai habis.


“Apa maksud babeh?” kejut Ilham.


“You will marry with my friend’s daughter soon. (kamu akan nikah sama anak temanku segera.)” jawab sang ayah lagi.


“What did you say? No one gonna be married. I am still 19 years old, daddy. Aku masih belum cukup umur untuk menikah.” tolak Ilham dengan nada tinggi.


“Sahabat kami itu sudah kembali dari Bordeaux, Ilham. Jadi, dia kemari untuk menagih janji menikahkan kalian berdua, meskipun kalian masih di bawah umur.” jelas sang Bunda.


“Tapi kan, babeh-?” ucapan Anin terpotong.


“Anak kecil jangan ikut campur, ya!” potong sang ayah.


Anin hanya bisa menunduk lemas. Dia sepikiran dengan sang kakak bahwa sang kakak masih belum siap. Apalagi, sang kakak sudah memiliki seorang kekasih. Apakah Ilham terpaksa harus mengorbankan perasaan miliknya terhadap Aya?, begitu pikir Anin dalam kegelisahannya saat ini. Dia tak seperti itu.


“Kamu tak bisa melawan orang tuamu, Ilham. Apapun yang diingin oleh orang tuamu, itu yang terbaik bagimu.” ucap sang ayah, lalu pergi menuju kamarnya.


“Kata siapa keinginan orang tua adalah terbaik bagi kami? Orang tua juga manusia, kan? Seenaknya saja kalau bicara.” gumam Ilham.


“Mungkin ini jahat bagimu. Tapi, ini demi persahabatan kami.” ujar sang bunda lalu pergi mengikuti sang ayah.


Menyisakan Ilham dan Anin di ruang makan. Ilham nampak bingung memikirkan apa yang baru saja diucapkan oleh kedua orang tuanya. Hal penting itu ternyata adalah masalah perjodohan.


“Orang tua itu emang suka seenaknya aja ya, kak? Gue nggak habis pikir deh sama mereka berdua.” dengus Anin kesal.


“Thanks for understanding me, Anin.” ucap Ilham tersenyum palsu menahan rasa amarah di hatinya.


“Lu emang orang yang paling bisa ngerti gue.” tambahnya.


Anin menggeleng-gelengkan kepalanya.


“Nggak, lu nggak perlu say thanks sama adik lu sendiri, kak.” ucap Anin tulus.


Kedua kakak beradik ini saling tersenyum satu sama lain.


“Udah malam nih. Tidur yuk!” ajak Anin.


“Gue tidur entaran aja, Nin. Lu duluan aja!” balas Ilham singkat.


“Oh, ya udah deh. Gue tidur duluan ya? Good night, Ilham!” seru Anin sambil mencium pipi sang kakak.


Ilham menghela napas, lalu masuk ke kamarnya.


Di dalam kamar, Ilham merebahkan tubuhnya sambil menatap pada langit-langit rumahnya. Yang ada di dalam pikirannya adalah perasaan Aya yang sudah terlanjur mencintai dan menerimanya apa adanya. Dia tidak ingin menyia-nyiakan perasaan kekasihnya itu. Namun, apalah yang bisa dia lakukan sekarang? Dia hanya seorang anak dalam keluarga sial ini. Dia harus tetap memenuhi permintaan dari kedua orang tuanya yang berniat menjodohkannya dengan orang lain.


“Maafkan aku, Aya!” batin Ilham tersiksa.


Pikirannya sangat kacau saat ini. Masih pada masa-masa bmbang di mana dia harus memilih antara orang tua, atau cinta. Jikalau memilih orang tua, Aya akan tersakiti. Tapi, jikalau memilih perasaannya, dia termasuk anak durhaka yang egois dan dosanya besar sekali.




BERSAMBUNG

© 2025 by Agi Dione | All rights reserved.