[Cerpen] Bolehkah Aku Hijrah ke Hatimu?
Karya : Ilham Budi Cahyadi
Sebuah diskotik di Jakarta Selatan, ramai dikunjungi oleh banyak
orang yang suka berfoya-foya. Mereka bersenang-senang menghamburhamburkan uang mereka untuk bersenang-senang dengan para Stripper,
yang rela menjual tubuh mereka kepada para pelanggan dengan bayaran
cukup rendah, antara 5 – 6 juta setiap bulannya.
Salah satu yang jadi favorit pelanggan ialah Anin. Badan berisinya
yang membuat dirinya begitu diminati oleh banyak orang yang ingin
bersenang-senang di sini. Meskipun begitu, Anin tidak pernah mau
menerima ajakan dari pelanggannya untuk memasuki hotel. Dia tahu
bahwa, kalau itu keterlaluan. Dia terpaksa melakukan ini demi melunasi
utang-utangnya, juga membayar uang kontrakan yang sudah menunggak
selama tiga bulan. Tapi, pendapatan 5 – 6 juta itu tak cukup sama sekali
untuk melunasinya, karena harga yang sangat tinggi di Jakarta. Apalagi,
Anin baru saja dipecat dari pekerjaan itu.
“Angkat kaki dari kontlakan ini! Lu udah nunggak tiga bulan.” usir
ibu pemilik rumah kontrakan yang ditinggali Anin, beliau orang china asli
sehingga lidahnya cadel.
“Tapi, Ci ... . Kalau saya diusir, saya tinggal di mana?” tangis Anin
berlutut di depan pemilik kontrakan.
“Bodo amat! Lu olang halus pelgi dali sini! Lumah ini ada yang mau
menempati.” ketus ibu pemilik kontrakan itu menendang tubuh Anin dan
Anin tersungkur.
Tidak bisa apa-apa, akhirnya Anin pergi dari rumah yang ditinggali
selama 3 bulan lebih ini. Dia pergi berjalan tanpa arah, tak tahu harus
ke mana dia pergi bernaung.
“Tuhan, cobaan apa lagi yang Engkau berikan kepada hamba-Mu
yang hancur ini? Sudah terlalu banyak cobaan yang telah Kau berikan
kepada hamba.” renung Anin saat berjalan di tengah kegelapan malam
kota Jakarta.
Setelah dia berjalan cukup jauh dan lama, dia akhirnya menyerah
karena kelelahan, sehingga memutuskan untuk menyandarkan tubuhnya
di depan gerbang sebuah rumah yang cukup besar tapi minimalis. Lima
detik setelah dia beristirahat, ada sebuah mobil yang berhenti dan
menyorotkan lampu depan mobil yang menyilaukan matanya.
Seseorang keluar dari mobil itu. Berjalan mendekati Anin dengan
santai. Anin berusaha melihat dengan tatapannya yang silau. Beruntung,
tubuh pria itu menutupinya dari silaunya cahaya lampu depan mobil yang
masih menyala terang dengan tubuhnya yang berjongkok tepat di depan
Anin yang menatapnya.
“Kamu ngapain di sini?” tanya pria yang ternyata pemilik rumah ini
dengan memberikan senyuman ramah.
“Nggak, saya nggak ngapa-ngapain. Cuma numpang istirahat aja di
sini, habis berjalan jauh.” jawab Anin gugup.
“Kalau mau istirahat, kenapa nggak di dalam aja? Ayo masuk! Tidak
usah sungkan-sungkan!” tawar Ilham.
Anin merasakan ada keragu-raguan di pikirannya. Dia cuma tidak
ingin merepotkan orang lain. Pria itu bisa membaca perasaan Anin dari
ekspresi keraguan yang tergambar pada wajah manis Anin.
“Tenang saja, aku nggak tinggal sendiri kok. Ku bawakan kopernya
ya?” pria itu langsung mengambil koper yang tergeletak di samping Anin
dan membawanya masuk saat pintu terbuka.
Anin pun ikut masuk ke dalam rumah milik pria ini. Mata Anin tidak
bisa berhenti memandangi sekeliling rumah yang cukup luas ini. Semua
ornamen rumah ini sangat sederhana. Tiba-tiba ... .
“Eh, kakak kok baru pulang?” seru seorang perempuan berhijab
yang kira-kira berusia lebih muda dari Anin. Gadis itu nampak berlari
memeluk si laki-laki yang ternyata adalah kakaknya.
“Sorry ya, Kyla! Kakak barusan habis meeting sama pak direktur
dan client-nya.” balas pria itu.
“Eh, cewek ini siapa? Tumben sekali seorang Ilham Budi Cahyadi,
bawa cewek ke rumah?” heran Kyla saat melihat keberadaan Anin.
“Gadis ini bilang mau menumpang istirahat. Jadi, kakak bawa dia
masuk. Kasihan kalau dia tidur di luar.” pria itu tersenyum ramah pada
Anin lagi.
“Oh iya, sepertinya kamu bukan dari sini ya? Siapa namamu? Dan
kenapa kamu bisa sampai sini?” tanya pria itu.
“Aninditha, namaku Anin. Aku gadis rantau asal Palembang. Aku
diusir dari kontrakanku dan nggak tahu harus ke mana lagi.” jawab Anin
sedih.
“Aku Ilham, salam kenal. Kamu boleh tinggal di sini sampai kamu
dapat rumah baru.” ujar Ilham kembali tersenyum.
“Eh, jadi ngerepotin nih?” balas Anin malu-malu.
“Kami nggak repot kok. Kami memang cuma tinggal bertiga sejak
kedua orang tua kami meninggal tiga tahun lalu. Jadi, kami senang kalau
ada yang mau tinggal di sini demi menambah keramaian rumah ini.” jelas
Kyla dengan raut wajah ikut senangnya.
“Eh, kalau gitu ... thanks.” ujar Anin canggung.
Ilham memberikan isyarat kepada Kyla untuk menunjukkan kamar
yang akan ditinggali Anin. Dengan sekejap, Kyla langsung membawakan
koper milik Anin dan meletakkannya di sebuah kamar kosong di rumah
ini. Untuk kedua kalinya, Anin melihat sebuah kamar dengan arsitektur
sederhana, yang katanya akan menjadi kamarnya.
“Ini dulu kamarnya orang tua kami. Tapi mulai sekarang, anggaplah
kamar ini milik kakak!” tutur Kyla.
“Sekali lagi, thanks ya, Kyla. Kalian memang baik.” Anin mengucap
terimakasih untuk yang kedua kalinya. *Sekali lagi bilang “Thanks”, si
Anin dapat piring cantik. :v
“Nggak perlu berterimakasih. Udah menjadi tugas kita, menolong
sesama, kan?” jawab Kyla tulus.
“Ya udah, cepat tidur ya! Udah pukul 12 malam. Tidur nyenyaklah!”
sambung Kyla pergi kemudian menutup pintu dari luar.
Sudah cukup lelah, Anin tertidur pulas di atas kasur empuk ini.�
Setelah tiga jam kemudian, Anin terbangun dari tidurnya karena
terdengar suara percikan air dari arah kamar mandi. Dia ingat, bahwa
kamar ini terletak di belakang dan dekat dengan kamar mandi. Karena
rasa penasaran yang tinggi, Anin memberanikan diri untuk keluar untuk
memastikannya. Anin mengendap ke sumber suara di kamar mandi dan
terkejut saat ada seseorang keluar dari kamar mandi.
“Eh maaf. Apa aku menakutimu?” ucap seorang gadis yang lain.
“Bikin kaget aja? Kamu habis ngapain?” tanya Anin.
“Habis ambil wudhu lah. Aku mau shalat tahajud. Mau berjama’ah,
nggak?” ajak gadis itu.
“Aku udah lama nggak shalat. Jadi, aku sudah lupa caranya shalat
itu gimana. Wudhu pun nggak bisa.” balas Anin malu-malu.
“Astaghfirullah. Shalat aja lupa? Shalat kan bisa membantu kita
dalam menghadapi cobaan, kak?” kejut gadis itu.
“Mau Zara ajarin, nggak?” tawar gadis yang memiliki nama Zara
itu dengan antusias.
Anin mengangguk pelan.
Zara mengajak Anin masuk ke kamar mandi. Dia mengajari Anin
tata cara bersuci dengan benar. Sedangkan, Anin mengikuti ajaran yang
diberikan oleh gadis bernama Adhisty Zara Sundari Kusumawardhani
ini secara pelan tapi pasti. Setelah berwudhu, Zara mengajari Anin
untuk melakukan ibadah umat muslim, yakni Shalat. Zara mengajarinya
dengan sepenuh hati.
“Shalat itu gampang kan, kak Anin? Nggak bikin capek, kan?” tutur
Zara setelah mengajari Anin tata cara shalat.
“Iya sih, Zar.” canggung Anin.
“Jadi, kak Anin harus rajin shalat wajib dan sunnah, mulai detik ini
juga, biar kak Anin nggak sial terus.” pesan Zara sambil tersenyum.
“Thanks ya, Zara. Kamu udah ajarin aku untuk bisa shalat lagi.”
ucap Anin kembali berterimakasih. *Udah tiga kali bilang thanks nih,
dapat piring cantik deh si Anin.
“Iya, sama-sama. Mulai sekarang juga, kak Anin harus pakai hijab
buar tutup aurat ya! Biar tambah cantik kak Aninnya.” saran Zara.
“Eh, pakai hijab?” kaget Anin.
“Iyalah, pakai hijab. Berhijab itu wajib hukumnya, kak. Kalau kak
Anin mau, kak Anin bisa pakai hijab peninggalan bunda di lemari kamar
bunda, kok.” jawab Zara.
“Kalau gitu, baiklah. Aku mau pakai hijab mulai sekarang.” senyum
Anin mengembang lebar.
Zara dan Anin menuju kamar peninggalan bunda Ilham-Kyla-Zara,
yang kini ditinggali oleh Anin. Zara mengambil selembar kain hijab dari
dalam lemari, kemudian memakaikan kain penutup kepala itu sehingga
menutup keseluruhan kepala dan rambut Anin, kecuali wajah.
“Kak Anin tambah cantik, kan?” puji Zara.
“Kok aku tambah cantik ya, kalau pakai hijab gini?” ucap Anin yang
bingung melihat wajahnya yang kini berhijab.
“Kan aku sudah bilang, kalau kak Anin cocok pakai hijab? Lagian,
cowok sebrengsek apapun, pasti mereka tetap menaruh cewek berhijab
di urutan paling atas istri idaman mereka.” jelas Zara lagi.
“Iya. Padahal ini baru tiga jam lebih loh, aku di rumah ini, tetapi
kamu sudah merubah aku menjadi seperti ini.” ucap Anin.
“Kak Anin belum berubah kok. Mungkin, Zara cuma menuntun kak
Anin dalam berpenampilan dan ngajarin shalat doang ya? Tapi, urusan
lainnya itu tugas kak Anin sendiri. Mau hijrah, atau nggak.”
“Kalau mau hijrah jadi lebih baik, alhamdulillah. Kami pasti bantuin
kak Anin kok. Kita kan keluarga?” tambahnya.
“Keluarga ... ya?” Anin menatap cermin sambil terbayang keluargakeluarganya di Palembang.
Setelah ucapan Zara, hati Anin terketuk untuk menjadi lebih baik.
Anin ingin berubah dan hijrah dari dirinya yang dulu, menjadi dirinya
yang lebih baik di hadapan keluarganya. Dia ingin derajat keluarganya
naik dan terus naik.
“Aku Aninditha Rahma Cahyadi. Aku ingin hijrah, Zara. Aku ingin
kamu menuntunku untuk jadi lebih baik lagi.” tekad Anin.
“Alhamdulillah. Insya Allah, kami akan menuntun kak Anin kembali
ke jalan yang benar.” balas Zara.
###################
Ilham dan Anin sedang berjalan-jalan ke mall. Ilham mengajaknya
ke mall karena Anin terlihat bosan saat berada di rumah, di kala Kyla
dan Zara sedang ke kampus untuk menuntut ilmu. Selama ini, Anin cuma
bosan di rumah karena belum mendapat pekerjaan baru. Sehingga dia
mengajak Anin ke mall dan membeli hijab baru, agar Anin tidak merasa
bosan lagi.
“Thanks ya, mas. Hijabnya bagus banget.” ucap Anin dengan raut
ekspresi terharu yang berlebihan alias lebay.
“Sama-sama. Jangan alay gitu! Nanti aku illfeel.” canda Ilham.
“Ngomong-ngomong, kamu belum dapat panggilan intervew?” tanya
Ilham saat mereka berdua sedang makan siang bersama.
“Belum, mas. Aku belum dipanggil oleh satu pun kantor tempat aku
ngelamar kerja.” jawab Anin menggelengkan kepala, sambil mengadukaduk jus miliknya, lalu meminumnya sedikit demi sedikit.
“Sabar ya, Nin! Insya Allah, nanti pasti dipanggil untuk interview
kok. Kamu berdo’a aja!” hibur Ilham.
Anin mengangguk-angguk pelan. “Iya, mas. Aku selalu do’a sehabis
shalat kok.”
“Salah satunya, aku berdo’a agar tetap bersama kamu, mas.” batin
Anin tersenyum sendiri.
Ilham melihat kebingungan kepada ekspresi Anin yang melihatnya
sambil tersenyum sendiri. Sepertinya, Anin sedang melamun di tengah
percakapan mereka. Anin yang secara alami merupakan wanita, hanya
mampu menahan isi hati kecilnya tanpa peduli berapa sakit dan perihnya
menahan rasa sayang di dada.
“Nin? Anin? Aninditha??? Aninditha Rahma Cahyadi??? Hei, jilbab
kamu terbakar!” tegur Ilham, sehingga Anin terkejut dan langsung lihat
ke arah jilbabnya yang katanya terbakar, padahal tidak.
“Astaghfirullah, mas. Bikin kaget aja deh. Kirain jilbabku kebakar
benaran?” gerutu Anin.
Ilham terkekeh. “Lagian, kamu ngapain melamun, sih? Entar kalau
ada jin masuk, gimana loh?” ujarnya tertawa.
“Hehehe. Maaf, mas. Ngomong-ngomong, kantor tempat kerja mas
ada lowongan nggak, mas?” tanya Anin.
“Mungkin bakal dibuka? Soalnya, kemarin ada yang resign.” jelas
Ilham sambil menyantap makanannya.
“Entar kalau kantor aku menerima lowongan, kamu kasih langsung
ke aku aja deh, surat lamarannya! Jadi, kamu nggak perlu mendatangi
kantor.” sambungnya.
“Terimakasih ya, mas Ilham! Padahal kan, aku udah sebulan tinggal
sama kamu? Tapi, kamu masih aja baik sama aku?” ucap Anin kembali
bilang terimakasih kepada Ilham.
“Kamu kan udah kayak adik aku sendiri, Anin. Jadi, udah tugasku
sebagai kakak untuk bantuin kamu, adikku.” gemas Ilham mencubit pipi
bulat Anin.
“Oh, mas Ilham anggap aku sebagai adik ya?” raut wajah Anin lesu
dibuatnya.
“Ada apa, Anin?” tanya Ilham saat melihat wajah lesu Anin.
Anin tersenyum palsu sambil menggelengkan kepala.
“Nggap pa pa kok, mas. Aku cuma tersanjung aja, mas anggap aku
sebagai bagian dari keluarga mas sendiri.” lagaknya pura-pura.
“Kita pulang yuk, mas! Udah lama banget kita di sini nih.” ajak Anin
yang sudah beranjak dari kursi restoran, sambil menggenggam tangan
Ilham secara reflek.
“Eh, kenapa genggaman tangan ini mirip dengan genggaman tangan
almarhumah bunda?” batin Ilham merasakan betapa hangatnya tangan
Anin saat mengenggamnya dan menariknya menuju mobil.
Ilham dan Anin pun pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk
satu sama lain. Anin tidak berani mengajak Ilham berbicara, sedangkan
Ilham sebaliknya. Ilham ingin mengajak Anin mengobrol, tapi perasaan
yang baru saja muncul di hatinya menghalangi.
“Anin, kenapa kamu punya tangan yang sehangat tangan almarhum
bunda?” batin Ilham, namun tetap fokus pada jalanan.
“Mas Ilham, kamu hanya menganggapku sebagai adik ya, atau cuma
aku yang terlalu berharap banyak pada hatimu?” batin Anin diam-diam
melirik ke arah Ilham dengan perasaan super bimbang.
Mereka berdua tiba di rumah tepat sebelum adzan maghrib. Cuma
ada Zara di rumah. Saat di tanya kenapa Kyla belum pulang, Zara hanya
memberi penjelasan bahwa Kyla sedang ada urusan di musholla dekat
rumah. Zara yang menjaga rumah, sudah menyiapkan menu dinner untuk
semuanya. Sambil menunggu Kyla pulang dari musholla, Ilham dan Anin
memutuskan untuk membersihkan badan di kamar mandi masing-masing,
kemudian makan malam bersama setelahnya.
“Hijab baru ya, kak Anin?” tanya Zara saat melihat hijab yang tak
pernah dilihat olehnya baru-baru ini.
“Iya, hehehe.” ucapan Anin cengengesan.
“Biar Kyla tebak! Pasti dibelikan kak Ilham lagi, kan? Aku melihat
kakak-kakak ada di mall tadi.” tebak Kyla benar.
“Sejak berhijrah, kak Anin memang suka banget sama dunia hijab.
Apalagi, aku sampai menemukan desain trend hijab di kamarnya waktu
bersih-bersih di situ tadi.” jelas Zara.
“Itu desain karya kak Anin sendiri ya? Bagus banget desainnya,
kak.” tambahnya bertanya lalu memuji.
“Aku itu cuma iseng aja kok, Zara. Lagipula, aku nggak punya dana
yang cukup untuk mewujudkan desain itu menjadi pakaian hasil ciptaan
dan karyaku sendiri.” balas Anin merendah.
“Gini aja deh, Nin. Aku punya sedikit usulan. Desain hijab karyamu
itu kamu kirim aja ke butik milik teman aku, namanya Uty. Dia designer
pakaian muslimah. Insya Allah, dia bisa bantu kamu.” usul Ilham.
“Serius, mas? Thanks ya, mas!” seru Anin kesenangan.
“Aku jadi semakin sayang sama kamu, mas.” batin Anin tersenyumsenyum sendiri.
“Iya, Anin. Tapi, besok kamu ke sana sendiri nggak pa pa ya? Aku
ada proyek besar-besaran besok. Ini kartu namanya Uty.” ucap Ilham
memberi kartu nama milik temannya – Dwi Putri Bonita.
“Iya, mas. Aku nggak mau bikin masnya repot.” balas Anin.
Keesokan harinya, Anin dengan semangat berjalan menuju tempat
yang tertera di kartu nama pemberian Ilham dengan taksi. Anin turun
tepat di seberang bangunan yang tertera banner bertuliskan “Bonita’s
Boutique”, butik milik Uty. Sebelum menyeberang ... .
“Eh, loe Anin, kan?” tegur seseorang dari belakang.
“Eh, Acha kok bisa di sini?” tegur Anin pada wanita bernama Acha
itu. Alicia Chanzia atau Acha itu (mantan) teman Anin sewaktu masih
bekerja di club malam dulu.
“Gue kan bebas mau ke mana aja? Dan loe ... ?” ucap Acha melihat
dan memperhatikan penampilan Anin dari atas sampai bawah.
“Penampilan loe kenapa nggak banget kayak gini ya?” hina Acha.
“Gue udah hijrah, Cha. Gue sudah taubat. Gue ingin jadi lebih baik
sekarang, dan kembali ke jalan yang benar.” balas Anin lembut.
“Loe kesambet setan apaan sih, Nin? Dandanan loe tuh nggak hits
banget, tahu nggak loe?” hardik Acha lagi.
“Terserah loe deh, Acha. Gue nggak peduli sama apapun komentar
yang loe kasih tentang penampilan gue. Yang jelas, gue nyaman seperti
ini, Cha. Ini hidup baru gue, yang lebih bermakna daripada club maksiat
yang cuma bisa menambah dosa itu.” ujar Anin tak peduli.
“Gue mau nyeberang dulu ya, Cha? Wassalamualaikum.
Anin menyeberangi jalanan dan meninggalkan mantan temannya, ke
butik hijab milik Uty. Dalam tasnya, Anin membawa desain-desain yang
akan diperlihatkannya pada Uty. Dia berharap, Uty mau menerima hasil
karya buatannya dengan sepenuh hati.
“Assalamualaikum, mbak Uty.” panggil Anin.
“Waalaikumsalam. Eh, Anin ya? Langsung masuk ruangan aku yuk!”
ajak Uty seketika.
“Mas duluan aja ya! Uty ada urusan penting nih. Nanti aku nyusul,
deh.” pinta Uty pada pria di depannya, yang sepertinya suami Uty.
“Ya udah, sayang. Mas duluan ya? Assalamualaikum.” balasnya lalu
pergi keluar dari butik.
Uty dan Anin masuk ke ruangan Uty.
“Tadi itu suami aku. Namanya Ronaq. Dia yang usulin butik ini loh.”
jelas Uty singkat sambil tersenyum.
“Jadi mana desain hijab yang mau kamu kasih ke aku?” tanya Uty
menagih desain karya Anin.
Anin mengeluarkan semua desain yang dia gambar sendiri saat dia
sedang menganggur di rumah Ilham. Uty melihat dengan seksama.
“Ini serius kamu yang bikin, Nin?” tanya Uty kembali memastikan
apakah benar Anin yang menggambar desain ini semua.
“Iya, mbak. Kenapa? Nggak suka ya?” balas Anin.
“Desain kamu bagus, Nin. Desain ini kekinian banget. Sumpah, aku
suka banget sama desain ini. Kamu cocok jadi designer butik aku. Butik
ini membutuhkan orang seperti kamu. Kamu yang desain, dan kamu juga
yang menjahit bahan-bahannya.” puji Uty, kemudian menawari Anin satu
pekerjaan penting.
“Serius mbak terima desain aku?” ujar Anin tak menyangka.
“Aku terima desain kamu. Kita sama-sama belajar, ya! Mulai besok,
kamu balik ke sini pukul 10 pagi, dan kita akan jahit baju sesuai desain
ini.” ucap Uty.
yang rela menjual tubuh mereka kepada para pelanggan dengan bayaran
cukup rendah, antara 5 – 6 juta setiap bulannya.
Salah satu yang jadi favorit pelanggan ialah Anin. Badan berisinya
yang membuat dirinya begitu diminati oleh banyak orang yang ingin
bersenang-senang di sini. Meskipun begitu, Anin tidak pernah mau
menerima ajakan dari pelanggannya untuk memasuki hotel. Dia tahu
bahwa, kalau itu keterlaluan. Dia terpaksa melakukan ini demi melunasi
utang-utangnya, juga membayar uang kontrakan yang sudah menunggak
selama tiga bulan. Tapi, pendapatan 5 – 6 juta itu tak cukup sama sekali
untuk melunasinya, karena harga yang sangat tinggi di Jakarta. Apalagi,
Anin baru saja dipecat dari pekerjaan itu.
“Angkat kaki dari kontlakan ini! Lu udah nunggak tiga bulan.” usir
ibu pemilik rumah kontrakan yang ditinggali Anin, beliau orang china asli
sehingga lidahnya cadel.
“Tapi, Ci ... . Kalau saya diusir, saya tinggal di mana?” tangis Anin
berlutut di depan pemilik kontrakan.
“Bodo amat! Lu olang halus pelgi dali sini! Lumah ini ada yang mau
menempati.” ketus ibu pemilik kontrakan itu menendang tubuh Anin dan
Anin tersungkur.
Tidak bisa apa-apa, akhirnya Anin pergi dari rumah yang ditinggali
selama 3 bulan lebih ini. Dia pergi berjalan tanpa arah, tak tahu harus
ke mana dia pergi bernaung.
“Tuhan, cobaan apa lagi yang Engkau berikan kepada hamba-Mu
yang hancur ini? Sudah terlalu banyak cobaan yang telah Kau berikan
kepada hamba.” renung Anin saat berjalan di tengah kegelapan malam
kota Jakarta.
Setelah dia berjalan cukup jauh dan lama, dia akhirnya menyerah
karena kelelahan, sehingga memutuskan untuk menyandarkan tubuhnya
di depan gerbang sebuah rumah yang cukup besar tapi minimalis. Lima
detik setelah dia beristirahat, ada sebuah mobil yang berhenti dan
menyorotkan lampu depan mobil yang menyilaukan matanya.
Seseorang keluar dari mobil itu. Berjalan mendekati Anin dengan
santai. Anin berusaha melihat dengan tatapannya yang silau. Beruntung,
tubuh pria itu menutupinya dari silaunya cahaya lampu depan mobil yang
masih menyala terang dengan tubuhnya yang berjongkok tepat di depan
Anin yang menatapnya.
“Kamu ngapain di sini?” tanya pria yang ternyata pemilik rumah ini
dengan memberikan senyuman ramah.
“Nggak, saya nggak ngapa-ngapain. Cuma numpang istirahat aja di
sini, habis berjalan jauh.” jawab Anin gugup.
“Kalau mau istirahat, kenapa nggak di dalam aja? Ayo masuk! Tidak
usah sungkan-sungkan!” tawar Ilham.
Anin merasakan ada keragu-raguan di pikirannya. Dia cuma tidak
ingin merepotkan orang lain. Pria itu bisa membaca perasaan Anin dari
ekspresi keraguan yang tergambar pada wajah manis Anin.
“Tenang saja, aku nggak tinggal sendiri kok. Ku bawakan kopernya
ya?” pria itu langsung mengambil koper yang tergeletak di samping Anin
dan membawanya masuk saat pintu terbuka.
Anin pun ikut masuk ke dalam rumah milik pria ini. Mata Anin tidak
bisa berhenti memandangi sekeliling rumah yang cukup luas ini. Semua
ornamen rumah ini sangat sederhana. Tiba-tiba ... .
“Eh, kakak kok baru pulang?” seru seorang perempuan berhijab
yang kira-kira berusia lebih muda dari Anin. Gadis itu nampak berlari
memeluk si laki-laki yang ternyata adalah kakaknya.
“Sorry ya, Kyla! Kakak barusan habis meeting sama pak direktur
dan client-nya.” balas pria itu.
“Eh, cewek ini siapa? Tumben sekali seorang Ilham Budi Cahyadi,
bawa cewek ke rumah?” heran Kyla saat melihat keberadaan Anin.
“Gadis ini bilang mau menumpang istirahat. Jadi, kakak bawa dia
masuk. Kasihan kalau dia tidur di luar.” pria itu tersenyum ramah pada
Anin lagi.
“Oh iya, sepertinya kamu bukan dari sini ya? Siapa namamu? Dan
kenapa kamu bisa sampai sini?” tanya pria itu.
“Aninditha, namaku Anin. Aku gadis rantau asal Palembang. Aku
diusir dari kontrakanku dan nggak tahu harus ke mana lagi.” jawab Anin
sedih.
“Aku Ilham, salam kenal. Kamu boleh tinggal di sini sampai kamu
dapat rumah baru.” ujar Ilham kembali tersenyum.
“Eh, jadi ngerepotin nih?” balas Anin malu-malu.
“Kami nggak repot kok. Kami memang cuma tinggal bertiga sejak
kedua orang tua kami meninggal tiga tahun lalu. Jadi, kami senang kalau
ada yang mau tinggal di sini demi menambah keramaian rumah ini.” jelas
Kyla dengan raut wajah ikut senangnya.
“Eh, kalau gitu ... thanks.” ujar Anin canggung.
Ilham memberikan isyarat kepada Kyla untuk menunjukkan kamar
yang akan ditinggali Anin. Dengan sekejap, Kyla langsung membawakan
koper milik Anin dan meletakkannya di sebuah kamar kosong di rumah
ini. Untuk kedua kalinya, Anin melihat sebuah kamar dengan arsitektur
sederhana, yang katanya akan menjadi kamarnya.
“Ini dulu kamarnya orang tua kami. Tapi mulai sekarang, anggaplah
kamar ini milik kakak!” tutur Kyla.
“Sekali lagi, thanks ya, Kyla. Kalian memang baik.” Anin mengucap
terimakasih untuk yang kedua kalinya. *Sekali lagi bilang “Thanks”, si
Anin dapat piring cantik. :v
“Nggak perlu berterimakasih. Udah menjadi tugas kita, menolong
sesama, kan?” jawab Kyla tulus.
“Ya udah, cepat tidur ya! Udah pukul 12 malam. Tidur nyenyaklah!”
sambung Kyla pergi kemudian menutup pintu dari luar.
Sudah cukup lelah, Anin tertidur pulas di atas kasur empuk ini.�
Setelah tiga jam kemudian, Anin terbangun dari tidurnya karena
terdengar suara percikan air dari arah kamar mandi. Dia ingat, bahwa
kamar ini terletak di belakang dan dekat dengan kamar mandi. Karena
rasa penasaran yang tinggi, Anin memberanikan diri untuk keluar untuk
memastikannya. Anin mengendap ke sumber suara di kamar mandi dan
terkejut saat ada seseorang keluar dari kamar mandi.
“Eh maaf. Apa aku menakutimu?” ucap seorang gadis yang lain.
“Bikin kaget aja? Kamu habis ngapain?” tanya Anin.
“Habis ambil wudhu lah. Aku mau shalat tahajud. Mau berjama’ah,
nggak?” ajak gadis itu.
“Aku udah lama nggak shalat. Jadi, aku sudah lupa caranya shalat
itu gimana. Wudhu pun nggak bisa.” balas Anin malu-malu.
“Astaghfirullah. Shalat aja lupa? Shalat kan bisa membantu kita
dalam menghadapi cobaan, kak?” kejut gadis itu.
“Mau Zara ajarin, nggak?” tawar gadis yang memiliki nama Zara
itu dengan antusias.
Anin mengangguk pelan.
Zara mengajak Anin masuk ke kamar mandi. Dia mengajari Anin
tata cara bersuci dengan benar. Sedangkan, Anin mengikuti ajaran yang
diberikan oleh gadis bernama Adhisty Zara Sundari Kusumawardhani
ini secara pelan tapi pasti. Setelah berwudhu, Zara mengajari Anin
untuk melakukan ibadah umat muslim, yakni Shalat. Zara mengajarinya
dengan sepenuh hati.
“Shalat itu gampang kan, kak Anin? Nggak bikin capek, kan?” tutur
Zara setelah mengajari Anin tata cara shalat.
“Iya sih, Zar.” canggung Anin.
“Jadi, kak Anin harus rajin shalat wajib dan sunnah, mulai detik ini
juga, biar kak Anin nggak sial terus.” pesan Zara sambil tersenyum.
“Thanks ya, Zara. Kamu udah ajarin aku untuk bisa shalat lagi.”
ucap Anin kembali berterimakasih. *Udah tiga kali bilang thanks nih,
dapat piring cantik deh si Anin.
“Iya, sama-sama. Mulai sekarang juga, kak Anin harus pakai hijab
buar tutup aurat ya! Biar tambah cantik kak Aninnya.” saran Zara.
“Eh, pakai hijab?” kaget Anin.
“Iyalah, pakai hijab. Berhijab itu wajib hukumnya, kak. Kalau kak
Anin mau, kak Anin bisa pakai hijab peninggalan bunda di lemari kamar
bunda, kok.” jawab Zara.
“Kalau gitu, baiklah. Aku mau pakai hijab mulai sekarang.” senyum
Anin mengembang lebar.
Zara dan Anin menuju kamar peninggalan bunda Ilham-Kyla-Zara,
yang kini ditinggali oleh Anin. Zara mengambil selembar kain hijab dari
dalam lemari, kemudian memakaikan kain penutup kepala itu sehingga
menutup keseluruhan kepala dan rambut Anin, kecuali wajah.
“Kak Anin tambah cantik, kan?” puji Zara.
“Kok aku tambah cantik ya, kalau pakai hijab gini?” ucap Anin yang
bingung melihat wajahnya yang kini berhijab.
“Kan aku sudah bilang, kalau kak Anin cocok pakai hijab? Lagian,
cowok sebrengsek apapun, pasti mereka tetap menaruh cewek berhijab
di urutan paling atas istri idaman mereka.” jelas Zara lagi.
“Iya. Padahal ini baru tiga jam lebih loh, aku di rumah ini, tetapi
kamu sudah merubah aku menjadi seperti ini.” ucap Anin.
“Kak Anin belum berubah kok. Mungkin, Zara cuma menuntun kak
Anin dalam berpenampilan dan ngajarin shalat doang ya? Tapi, urusan
lainnya itu tugas kak Anin sendiri. Mau hijrah, atau nggak.”
“Kalau mau hijrah jadi lebih baik, alhamdulillah. Kami pasti bantuin
kak Anin kok. Kita kan keluarga?” tambahnya.
“Keluarga ... ya?” Anin menatap cermin sambil terbayang keluargakeluarganya di Palembang.
Setelah ucapan Zara, hati Anin terketuk untuk menjadi lebih baik.
Anin ingin berubah dan hijrah dari dirinya yang dulu, menjadi dirinya
yang lebih baik di hadapan keluarganya. Dia ingin derajat keluarganya
naik dan terus naik.
“Aku Aninditha Rahma Cahyadi. Aku ingin hijrah, Zara. Aku ingin
kamu menuntunku untuk jadi lebih baik lagi.” tekad Anin.
“Alhamdulillah. Insya Allah, kami akan menuntun kak Anin kembali
ke jalan yang benar.” balas Zara.
###################
Ilham dan Anin sedang berjalan-jalan ke mall. Ilham mengajaknya
ke mall karena Anin terlihat bosan saat berada di rumah, di kala Kyla
dan Zara sedang ke kampus untuk menuntut ilmu. Selama ini, Anin cuma
bosan di rumah karena belum mendapat pekerjaan baru. Sehingga dia
mengajak Anin ke mall dan membeli hijab baru, agar Anin tidak merasa
bosan lagi.
“Thanks ya, mas. Hijabnya bagus banget.” ucap Anin dengan raut
ekspresi terharu yang berlebihan alias lebay.
“Sama-sama. Jangan alay gitu! Nanti aku illfeel.” canda Ilham.
“Ngomong-ngomong, kamu belum dapat panggilan intervew?” tanya
Ilham saat mereka berdua sedang makan siang bersama.
“Belum, mas. Aku belum dipanggil oleh satu pun kantor tempat aku
ngelamar kerja.” jawab Anin menggelengkan kepala, sambil mengadukaduk jus miliknya, lalu meminumnya sedikit demi sedikit.
“Sabar ya, Nin! Insya Allah, nanti pasti dipanggil untuk interview
kok. Kamu berdo’a aja!” hibur Ilham.
Anin mengangguk-angguk pelan. “Iya, mas. Aku selalu do’a sehabis
shalat kok.”
“Salah satunya, aku berdo’a agar tetap bersama kamu, mas.” batin
Anin tersenyum sendiri.
Ilham melihat kebingungan kepada ekspresi Anin yang melihatnya
sambil tersenyum sendiri. Sepertinya, Anin sedang melamun di tengah
percakapan mereka. Anin yang secara alami merupakan wanita, hanya
mampu menahan isi hati kecilnya tanpa peduli berapa sakit dan perihnya
menahan rasa sayang di dada.
“Nin? Anin? Aninditha??? Aninditha Rahma Cahyadi??? Hei, jilbab
kamu terbakar!” tegur Ilham, sehingga Anin terkejut dan langsung lihat
ke arah jilbabnya yang katanya terbakar, padahal tidak.
“Astaghfirullah, mas. Bikin kaget aja deh. Kirain jilbabku kebakar
benaran?” gerutu Anin.
Ilham terkekeh. “Lagian, kamu ngapain melamun, sih? Entar kalau
ada jin masuk, gimana loh?” ujarnya tertawa.
“Hehehe. Maaf, mas. Ngomong-ngomong, kantor tempat kerja mas
ada lowongan nggak, mas?” tanya Anin.
“Mungkin bakal dibuka? Soalnya, kemarin ada yang resign.” jelas
Ilham sambil menyantap makanannya.
“Entar kalau kantor aku menerima lowongan, kamu kasih langsung
ke aku aja deh, surat lamarannya! Jadi, kamu nggak perlu mendatangi
kantor.” sambungnya.
“Terimakasih ya, mas Ilham! Padahal kan, aku udah sebulan tinggal
sama kamu? Tapi, kamu masih aja baik sama aku?” ucap Anin kembali
bilang terimakasih kepada Ilham.
“Kamu kan udah kayak adik aku sendiri, Anin. Jadi, udah tugasku
sebagai kakak untuk bantuin kamu, adikku.” gemas Ilham mencubit pipi
bulat Anin.
“Oh, mas Ilham anggap aku sebagai adik ya?” raut wajah Anin lesu
dibuatnya.
“Ada apa, Anin?” tanya Ilham saat melihat wajah lesu Anin.
Anin tersenyum palsu sambil menggelengkan kepala.
“Nggap pa pa kok, mas. Aku cuma tersanjung aja, mas anggap aku
sebagai bagian dari keluarga mas sendiri.” lagaknya pura-pura.
“Kita pulang yuk, mas! Udah lama banget kita di sini nih.” ajak Anin
yang sudah beranjak dari kursi restoran, sambil menggenggam tangan
Ilham secara reflek.
“Eh, kenapa genggaman tangan ini mirip dengan genggaman tangan
almarhumah bunda?” batin Ilham merasakan betapa hangatnya tangan
Anin saat mengenggamnya dan menariknya menuju mobil.
Ilham dan Anin pun pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk
satu sama lain. Anin tidak berani mengajak Ilham berbicara, sedangkan
Ilham sebaliknya. Ilham ingin mengajak Anin mengobrol, tapi perasaan
yang baru saja muncul di hatinya menghalangi.
“Anin, kenapa kamu punya tangan yang sehangat tangan almarhum
bunda?” batin Ilham, namun tetap fokus pada jalanan.
“Mas Ilham, kamu hanya menganggapku sebagai adik ya, atau cuma
aku yang terlalu berharap banyak pada hatimu?” batin Anin diam-diam
melirik ke arah Ilham dengan perasaan super bimbang.
Mereka berdua tiba di rumah tepat sebelum adzan maghrib. Cuma
ada Zara di rumah. Saat di tanya kenapa Kyla belum pulang, Zara hanya
memberi penjelasan bahwa Kyla sedang ada urusan di musholla dekat
rumah. Zara yang menjaga rumah, sudah menyiapkan menu dinner untuk
semuanya. Sambil menunggu Kyla pulang dari musholla, Ilham dan Anin
memutuskan untuk membersihkan badan di kamar mandi masing-masing,
kemudian makan malam bersama setelahnya.
“Hijab baru ya, kak Anin?” tanya Zara saat melihat hijab yang tak
pernah dilihat olehnya baru-baru ini.
“Iya, hehehe.” ucapan Anin cengengesan.
“Biar Kyla tebak! Pasti dibelikan kak Ilham lagi, kan? Aku melihat
kakak-kakak ada di mall tadi.” tebak Kyla benar.
“Sejak berhijrah, kak Anin memang suka banget sama dunia hijab.
Apalagi, aku sampai menemukan desain trend hijab di kamarnya waktu
bersih-bersih di situ tadi.” jelas Zara.
“Itu desain karya kak Anin sendiri ya? Bagus banget desainnya,
kak.” tambahnya bertanya lalu memuji.
“Aku itu cuma iseng aja kok, Zara. Lagipula, aku nggak punya dana
yang cukup untuk mewujudkan desain itu menjadi pakaian hasil ciptaan
dan karyaku sendiri.” balas Anin merendah.
“Gini aja deh, Nin. Aku punya sedikit usulan. Desain hijab karyamu
itu kamu kirim aja ke butik milik teman aku, namanya Uty. Dia designer
pakaian muslimah. Insya Allah, dia bisa bantu kamu.” usul Ilham.
“Serius, mas? Thanks ya, mas!” seru Anin kesenangan.
“Aku jadi semakin sayang sama kamu, mas.” batin Anin tersenyumsenyum sendiri.
“Iya, Anin. Tapi, besok kamu ke sana sendiri nggak pa pa ya? Aku
ada proyek besar-besaran besok. Ini kartu namanya Uty.” ucap Ilham
memberi kartu nama milik temannya – Dwi Putri Bonita.
“Iya, mas. Aku nggak mau bikin masnya repot.” balas Anin.
Keesokan harinya, Anin dengan semangat berjalan menuju tempat
yang tertera di kartu nama pemberian Ilham dengan taksi. Anin turun
tepat di seberang bangunan yang tertera banner bertuliskan “Bonita’s
Boutique”, butik milik Uty. Sebelum menyeberang ... .
“Eh, loe Anin, kan?” tegur seseorang dari belakang.
“Eh, Acha kok bisa di sini?” tegur Anin pada wanita bernama Acha
itu. Alicia Chanzia atau Acha itu (mantan) teman Anin sewaktu masih
bekerja di club malam dulu.
“Gue kan bebas mau ke mana aja? Dan loe ... ?” ucap Acha melihat
dan memperhatikan penampilan Anin dari atas sampai bawah.
“Penampilan loe kenapa nggak banget kayak gini ya?” hina Acha.
“Gue udah hijrah, Cha. Gue sudah taubat. Gue ingin jadi lebih baik
sekarang, dan kembali ke jalan yang benar.” balas Anin lembut.
“Loe kesambet setan apaan sih, Nin? Dandanan loe tuh nggak hits
banget, tahu nggak loe?” hardik Acha lagi.
“Terserah loe deh, Acha. Gue nggak peduli sama apapun komentar
yang loe kasih tentang penampilan gue. Yang jelas, gue nyaman seperti
ini, Cha. Ini hidup baru gue, yang lebih bermakna daripada club maksiat
yang cuma bisa menambah dosa itu.” ujar Anin tak peduli.
“Gue mau nyeberang dulu ya, Cha? Wassalamualaikum.
Anin menyeberangi jalanan dan meninggalkan mantan temannya, ke
butik hijab milik Uty. Dalam tasnya, Anin membawa desain-desain yang
akan diperlihatkannya pada Uty. Dia berharap, Uty mau menerima hasil
karya buatannya dengan sepenuh hati.
“Assalamualaikum, mbak Uty.” panggil Anin.
“Waalaikumsalam. Eh, Anin ya? Langsung masuk ruangan aku yuk!”
ajak Uty seketika.
“Mas duluan aja ya! Uty ada urusan penting nih. Nanti aku nyusul,
deh.” pinta Uty pada pria di depannya, yang sepertinya suami Uty.
“Ya udah, sayang. Mas duluan ya? Assalamualaikum.” balasnya lalu
pergi keluar dari butik.
Uty dan Anin masuk ke ruangan Uty.
“Tadi itu suami aku. Namanya Ronaq. Dia yang usulin butik ini loh.”
jelas Uty singkat sambil tersenyum.
“Jadi mana desain hijab yang mau kamu kasih ke aku?” tanya Uty
menagih desain karya Anin.
Anin mengeluarkan semua desain yang dia gambar sendiri saat dia
sedang menganggur di rumah Ilham. Uty melihat dengan seksama.
“Ini serius kamu yang bikin, Nin?” tanya Uty kembali memastikan
apakah benar Anin yang menggambar desain ini semua.
“Iya, mbak. Kenapa? Nggak suka ya?” balas Anin.
“Desain kamu bagus, Nin. Desain ini kekinian banget. Sumpah, aku
suka banget sama desain ini. Kamu cocok jadi designer butik aku. Butik
ini membutuhkan orang seperti kamu. Kamu yang desain, dan kamu juga
yang menjahit bahan-bahannya.” puji Uty, kemudian menawari Anin satu
pekerjaan penting.
“Serius mbak terima desain aku?” ujar Anin tak menyangka.
“Aku terima desain kamu. Kita sama-sama belajar, ya! Mulai besok,
kamu balik ke sini pukul 10 pagi, dan kita akan jahit baju sesuai desain
ini.” ucap Uty.
“Alhamdulillah. Terimakasih ya, mbak. Oke. Aku akan ke sini lagi
besok. Sekali lagi, terimakasih.” seru Anin.
Anin keluar dari butik dengan hati yang terisikan rasa syukur yang
memenuhi hasratnya. Semua desain yang dia gambar, walaupun saat itu
dia sedang iseng, diterima oleh Uty dengan senang hati. Rasanya, Anin
telah menemukan passion yang ada dalam dirinya.
“Oh iya, aku kan sudah lama tidak hubungi babeh dan bunda?” kata
Anin dalam hati.
Anin menghubungi kedua orang tuanya di Palembang, dan memberi
kabar gembira ini kepada kedua orang tua yang senantiasa membantu
dalam setiap do’a yang mereka panjatkan.
“Assalamualaikum, Babeh. ... . Babeh, Anin punya berita gembira
buat kalian yang di sana. ... . Aku punya desain pakaian muslimah. Kabar
gembiranya, desain aku itu diterima. Jadi, aku mulai bekerja di butik
sebagai designer-nya, beh. Udah, Anin cuma mau kasih tahu itu aja. Aku
titip salam buat bunda, ya? Wassalamualaikum, babeh!”
Anin menutup sambungan teleponnya. Lalu, dia meminta sopir taksi
untuk mengantarkannya ke kantor tempat Ilham bekerja. Tak sampai
setengah jam, Anin pun sampai di kantor tempat Ilham bekerja. Anin
baru pertama kalinya mengunjungi kantor ini.
“Selamat siang. Bisa saya ketemu sama Ilham?” tanya Anin.
“Tunggu sebentar ya!” ujar resepsionis mengonfirmasikan apakah
Ilham sedang sibuk atau tidak.
“Masuk ke ruangannya di lantai dua aja, mbak!” ucap resepsionis.
“Terimakasih.”
Anin masuk ke dalam lift, dan mencari ruang Ilham setibanya di
lantai dua. Saat menyusuri pojok ruangan, terdapat ruang manager yang
tertera nama Ilham Budi Cahyadi di depan pintu. Anin membuka pintu
itu dan kemudian ... .
“Assalamualaikum, mas.” sapa Anin begitu masuk dan duduk di sofa
samping ruangan Ilham.&
“Waalaikumsalam, Nin. Kamu ngapain ke sini nggak ngasih kabar
dulu?” tanya Ilham.
“Aku mau kasih kejutan, mas.” jawab Anin.
“Kejutan apa?” tanya Ilham lagi.
“Mbak Uty menerima aku sebagai designer di butik miliknya. Mulai
besok, aku akan menjahit desain aku.” ucap Anin.
Ilham tersenyum senang.
“Alhamdulillah. Aku turut senang mendengarnya.”
Ilham dan Anin saling tersenyum.
“Jadi, cuma itu yang mau kamu kasih tahu ke aku?” tanya Ilham.
“Aku juga mau say thanks ke kakak. Karena Allah mengirimkan mas
buat aku, aku jadi seperti ini. Jadi Anin yang lebih baik. Thanks ya, mas
Ilham.” ungkap Anin.
Ilham tersenyum tulus. Kemudian terdiam.
“Aninditha!” seru Ilham memanggil Anin.
Ucapan Ilham bernada dalam. Sepertinya Ilham ingin mengungkap
sesuatu yang serius pada Anin kali ini.
“Apa, mas?” tanya Anin yang merasa dipanggil.
“Jangan ada lagi kata terimakasih untukku, Kyla, atau Zara! Kami
dari awal membantumu dengan niatan tulus. Sebenarnya, penentu jalan
yang akan kamu lalui adalah kamu sendiri. Kamu ingin tetap lurus, atau
belok. Semuanya di tanganmu sendiri. Aku hanya membantumu memberi
arahan, agar kamu nggak ke jalan yang salah untuk kedua kalinya.” jelas
Ilham tulus.
“Mas, boleh aku jujur sama kamu?” tanya Anin.
“Jujur lebih baik, kan?” ujar Ilham
besok. Sekali lagi, terimakasih.” seru Anin.
Anin keluar dari butik dengan hati yang terisikan rasa syukur yang
memenuhi hasratnya. Semua desain yang dia gambar, walaupun saat itu
dia sedang iseng, diterima oleh Uty dengan senang hati. Rasanya, Anin
telah menemukan passion yang ada dalam dirinya.
“Oh iya, aku kan sudah lama tidak hubungi babeh dan bunda?” kata
Anin dalam hati.
Anin menghubungi kedua orang tuanya di Palembang, dan memberi
kabar gembira ini kepada kedua orang tua yang senantiasa membantu
dalam setiap do’a yang mereka panjatkan.
“Assalamualaikum, Babeh. ... . Babeh, Anin punya berita gembira
buat kalian yang di sana. ... . Aku punya desain pakaian muslimah. Kabar
gembiranya, desain aku itu diterima. Jadi, aku mulai bekerja di butik
sebagai designer-nya, beh. Udah, Anin cuma mau kasih tahu itu aja. Aku
titip salam buat bunda, ya? Wassalamualaikum, babeh!”
Anin menutup sambungan teleponnya. Lalu, dia meminta sopir taksi
untuk mengantarkannya ke kantor tempat Ilham bekerja. Tak sampai
setengah jam, Anin pun sampai di kantor tempat Ilham bekerja. Anin
baru pertama kalinya mengunjungi kantor ini.
“Selamat siang. Bisa saya ketemu sama Ilham?” tanya Anin.
“Tunggu sebentar ya!” ujar resepsionis mengonfirmasikan apakah
Ilham sedang sibuk atau tidak.
“Masuk ke ruangannya di lantai dua aja, mbak!” ucap resepsionis.
“Terimakasih.”
Anin masuk ke dalam lift, dan mencari ruang Ilham setibanya di
lantai dua. Saat menyusuri pojok ruangan, terdapat ruang manager yang
tertera nama Ilham Budi Cahyadi di depan pintu. Anin membuka pintu
itu dan kemudian ... .
“Assalamualaikum, mas.” sapa Anin begitu masuk dan duduk di sofa
samping ruangan Ilham.&
“Waalaikumsalam, Nin. Kamu ngapain ke sini nggak ngasih kabar
dulu?” tanya Ilham.
“Aku mau kasih kejutan, mas.” jawab Anin.
“Kejutan apa?” tanya Ilham lagi.
“Mbak Uty menerima aku sebagai designer di butik miliknya. Mulai
besok, aku akan menjahit desain aku.” ucap Anin.
Ilham tersenyum senang.
“Alhamdulillah. Aku turut senang mendengarnya.”
Ilham dan Anin saling tersenyum.
“Jadi, cuma itu yang mau kamu kasih tahu ke aku?” tanya Ilham.
“Aku juga mau say thanks ke kakak. Karena Allah mengirimkan mas
buat aku, aku jadi seperti ini. Jadi Anin yang lebih baik. Thanks ya, mas
Ilham.” ungkap Anin.
Ilham tersenyum tulus. Kemudian terdiam.
“Aninditha!” seru Ilham memanggil Anin.
Ucapan Ilham bernada dalam. Sepertinya Ilham ingin mengungkap
sesuatu yang serius pada Anin kali ini.
“Apa, mas?” tanya Anin yang merasa dipanggil.
“Jangan ada lagi kata terimakasih untukku, Kyla, atau Zara! Kami
dari awal membantumu dengan niatan tulus. Sebenarnya, penentu jalan
yang akan kamu lalui adalah kamu sendiri. Kamu ingin tetap lurus, atau
belok. Semuanya di tanganmu sendiri. Aku hanya membantumu memberi
arahan, agar kamu nggak ke jalan yang salah untuk kedua kalinya.” jelas
Ilham tulus.
“Mas, boleh aku jujur sama kamu?” tanya Anin.
“Jujur lebih baik, kan?” ujar Ilham
“Aku telah hijrah ke tempat yang lebih baik, mas. Ini tempat aku
yang lebih baik. Semua itu karena (mungkin) takdir yang membuat kita
berdua bertemu.” kata Anin.
“Setelah hijrah menjadi muslimah yang baik, aku tuh rasanya ingin
berhijrah kembali.” sambungnya.
“Hijrah lagi? Ke mana?” tanya Ilham bingung.
“Aku ingin berhijrah menjadi makmum yang salihah (berdasarkan
KBBI, dibaca soleha) untuk calon imam aku.” jelas Anin.
“Soalnya aku yakin, bahwa aku sudah menemukan imamku. Nama
imam aku itu ... Ilham Budi Cahyadi. Aku ingin hijrah ke hatinya, jika dia
mengizinkanku.” tambah Anin dengan nada yang lembut.
“Aku ingin menjadi makmum kamu, mas. Kamulah imam yang dikirim
untukku.” Anin mengakhiri ucapannya.
Ilham menatap mata Anin dalam-dalam.
“Kamu yakin dengan ucapan kamu, Anin?” tanya Ilham dengan nada
yang sama lembutnya.
Anin mengangguk.
“Insya Allah. Aku sangat yakin, mas.” Anin menanggapinya dengan
serius dan dengan tatapan lembutnya juga.
“Kalau begitu, baiklah.” Ilham menunduk dan tersenyum.
Kemudian, Ilham kembali memandang Anin dengan tatapan lembut
selama beberapa detik.
“Aninditha Rahma Cahyadi, aku akan pinang kamu dari kedua orang
tua yang melahirkanmu.” ucap Ilham.
“Iya, mas. Aku tunggu pinangan kamu.” balas Anin sambil melempar
senyuman manis dibalut hijab penutup auratnya.
Tiga bulan kemudian, tepat sebulan selepas bulan Ramadhan. Anin
dan Ilham menggelar akad nikah mereka. Ilham kini duduk di hadapan
para wali dan saksi akad. Sedangkan, Anin bersama Kyla dan Zara ada
di dalam kamar, sedang menunggu proses akad diselesaikan oleh calon
suaminya. Setelah Ilham menyelesaikan akadnya dengan sekali mencoba
dan langsung dengan suara lantang, Anin mengucapkan kata-kata syukur
kepada Sang Pencipta atas berhasilnya proses yang menjadi pelepasan
diri Anin dari kedua orang tuanya, sekaligus jadi awal perjalanan baru
bagi Ilham dan Anin yang menjadi pasangan suami-istri.
“Selamat datang di keluarga Bandung, teteh Anin!” seru Kyla-Zara
kompak turut merasa bahagia, karena Anin menjadi bagian dari mereka
sekeluarga kecil.
“Terimakasih ya, adik-adik ipar aku!” balas Anin ikut berseru.
Acara dilanjutkan tukar cincin. Anin berdebar-debar karena saat
ini menjadi saat paling dinantikannya dalam hidup ini. Wanita berusia 21
tahun ini menikah dengan seorang pria yang berusia setahun di atasnya
dan akan mengisi hari-hari ke depan bersama keluarga kecil yang jadi
impian semua pasangan.
# T A M A T #�
yang lebih baik. Semua itu karena (mungkin) takdir yang membuat kita
berdua bertemu.” kata Anin.
“Setelah hijrah menjadi muslimah yang baik, aku tuh rasanya ingin
berhijrah kembali.” sambungnya.
“Hijrah lagi? Ke mana?” tanya Ilham bingung.
“Aku ingin berhijrah menjadi makmum yang salihah (berdasarkan
KBBI, dibaca soleha) untuk calon imam aku.” jelas Anin.
“Soalnya aku yakin, bahwa aku sudah menemukan imamku. Nama
imam aku itu ... Ilham Budi Cahyadi. Aku ingin hijrah ke hatinya, jika dia
mengizinkanku.” tambah Anin dengan nada yang lembut.
“Aku ingin menjadi makmum kamu, mas. Kamulah imam yang dikirim
untukku.” Anin mengakhiri ucapannya.
Ilham menatap mata Anin dalam-dalam.
“Kamu yakin dengan ucapan kamu, Anin?” tanya Ilham dengan nada
yang sama lembutnya.
Anin mengangguk.
“Insya Allah. Aku sangat yakin, mas.” Anin menanggapinya dengan
serius dan dengan tatapan lembutnya juga.
“Kalau begitu, baiklah.” Ilham menunduk dan tersenyum.
Kemudian, Ilham kembali memandang Anin dengan tatapan lembut
selama beberapa detik.
“Aninditha Rahma Cahyadi, aku akan pinang kamu dari kedua orang
tua yang melahirkanmu.” ucap Ilham.
“Iya, mas. Aku tunggu pinangan kamu.” balas Anin sambil melempar
senyuman manis dibalut hijab penutup auratnya.
Tiga bulan kemudian, tepat sebulan selepas bulan Ramadhan. Anin
dan Ilham menggelar akad nikah mereka. Ilham kini duduk di hadapan
para wali dan saksi akad. Sedangkan, Anin bersama Kyla dan Zara ada
di dalam kamar, sedang menunggu proses akad diselesaikan oleh calon
suaminya. Setelah Ilham menyelesaikan akadnya dengan sekali mencoba
dan langsung dengan suara lantang, Anin mengucapkan kata-kata syukur
kepada Sang Pencipta atas berhasilnya proses yang menjadi pelepasan
diri Anin dari kedua orang tuanya, sekaligus jadi awal perjalanan baru
bagi Ilham dan Anin yang menjadi pasangan suami-istri.
“Selamat datang di keluarga Bandung, teteh Anin!” seru Kyla-Zara
kompak turut merasa bahagia, karena Anin menjadi bagian dari mereka
sekeluarga kecil.
“Terimakasih ya, adik-adik ipar aku!” balas Anin ikut berseru.
Acara dilanjutkan tukar cincin. Anin berdebar-debar karena saat
ini menjadi saat paling dinantikannya dalam hidup ini. Wanita berusia 21
tahun ini menikah dengan seorang pria yang berusia setahun di atasnya
dan akan mengisi hari-hari ke depan bersama keluarga kecil yang jadi
impian semua pasangan.
# T A M A T #�
Social Plugin