PART 02 – MAAFKAN AKU, AYA!
Senin pagi telah tiba. Tidak perlu lihat jarum jam, Ilham bergegas berangkat ke tempat kuliahnya. Ilham berkuliah di suatu kampus negeri di Jakarta. Ilham juga sekampus dengan Aya, tapi berbeda program studi. Ilham mengambil ilmu sastra Indonesia, sedangkan Aya sastra Jepang. Jadi, mereka jarang bertemu di kampus.
“Pagi, sayang!” sapa Aya yang masih sempat-sempatnya menemui Ilham yang sedang asyik duduk-duduk di bangku taman kampus.
Duduk-duduk di bangku taman kampus, sambil membaca buku ialah hal yang biasa dilakukannya. Namun, sepertinya saat ini mood membaca Ilham sedang tidak muncul karena masalah tadi malam. Dia seolah-olah sedang membaca, tapi sebenarnya tidak. Dia fokus memikirkan masalah perjodohan itu. Dia tidak ingin memberitahukannya kepada Aya.
“Kamu baca-baca kok bukunya nggak dibalik-balik, sih? Tetap saja di bagian itu. Lagi ada masalah ya?” tanya Aya keheranan.
“Kamu lagi ada masalah ya?” tanyanya lagi, namun Ilham tetap tak memberikan respon.
Aya mulai khawatir dengan keadaan kekasihnya. Dia tahu betul kalau kekasihnya membaca sambil melamun seperti ini, maka kekasihnya sedang ada masalah besar yang sedang dihadapi.
“Ilham?” tegur Aya sambil menepuk bahu Ilham pelan, tetapi itu berhasil membuat Ilham terkejut.
“Eh, iya?” kejut Ilham pasca Aya menepuk bahunya.
“Kamu ini kenapa? Baca buku sambil melamun gitu? Kamu bikin aku khawatir, tahu?” tanya Aya.
“Kamu lagi ada masalah ya? Cerita dong!” sambungnya.
Ilham menggelengkan kepalanya. Senyuman manis bergingsul dari Aya membuatnya tak tega mengatakan masalah yang sebenarnya dia sedang alami saat ini.
“Nggak kok. Aku cuma kepikiran kamu aja.” jawab Ilham sambil tersenyum kecut.
“Kepikiran aku? Please, jangan buat aku seolah-olah adalah cewek bodoh! Aku tahu, kamu bohong. Ekspresi wajahmu barusan aja kelihatan galau gitu.” ucap Aya.
“Oke, sepertinya aku harus bilang sesuatu ke kamu. Tapi, maafkan aku sebelumnya!” mohon Ilham.
“Kenapa kamu harus minta maaf dulu ke aku? Memang kamu punya salah apa sama aku?” balas Aya semakin bingung.
“Aku harus minta maaf, karena untuk saat ini, jauhi aku dulu!” ujar Ilham lirih.
Mendengar perkataan sang kekasih barusan, jantung Aya merasa sakit. Ini selalu saja terjadi di saat Aya merasa terkejut, mengingat gadis cantik ini memiliki riwayat serangan jantung sejak saat dia masih berusia 8 tahun.
“Kenapa kamu bilang begitu? Kamu tahu kalau aku nggak bisa hidup tanpa kamu, kan?” Aya bertanya sambil memegang dada kirinya yang sesak dan terasa sakit.
“Dulu, keluargaku meninggalin aku dalam kecelakaan sewaktu aku kecil. Sekarang, apa kamu tega ninggalin aku juga? Ouch!!!” Aya mulai mengeluh sakit pada jantungnya.
Rasa stress yang membuat dada Aya terasa sakit. Tanpa waktu lama, Aya langsung terjatuh dari bangku taman dan tetap bertahan dari rasa sakit di jantungnya. Tentu sajalah, Ilham terkejut dan panik begitu melihat keadaan Aya seperti ini. Dia tidak tahu dan tak pernah tahu tentang penyakit jantung yang dialami Aya selama ini.
“Aya, kamu kenapa?” pinta Ilham.
“Jantungku sakit banget.” lirih Aya mengeluh kesakitan dengan sesak napas yang mengikutinya.
“Bertahanlah! Aku akan membawa kamu ke klinik terdekat.” pinta Ilham dengan cepat.
Terlambat, Aya sudah pingsan duluan. Karena panik, Aya pun dibawa ke klinik terdekat. Tidak lupa, Ilham menghubungi Devi yang merupakan teman sekelas sekaligus keluarga Aya di panti asuhan tempat Aya diasuh sejak kematian semua anggota keluarganya, untuk meminta izin atas ketidakhadiran Aya pada mata kuliah pagi ini dengan alasan Aya sedang sakit.
“Kenapa kamu masih ada di sini?” tanya Aya ketika baru siuman dari pingsannya dan langsung marah.
Nadanya sangat pelan dan lemas meskipun sedang marah.
“Harusnya aku yang tanya ke kamu. Kenapa kamu menyembunyikan penyakit kamu selama ini?” lirih Ilham kecewa dan khawatir.
“Aku cuma nggak mau bikin kamu khawatir, Ilham. Aku nggak mau bikin kamu repot.” jawab Aya.
“Tapi, setidaknya kamu harus jujur, kalau kamu itu punya penyakit jantung, Aya!” cakap Ilham khawatir.
“Kalau kamu sendiri kenapa, Ilham? Kenapa kamu tiba-tiba berniat jauhin aku? Kalau mau bosan sama aku, to the point aja! Jangan kayak gini!” tanya Aya masih marah.
“Belum waktunya buat kamu untuk mengetahui alasannya.” singkat Ilham pelan.
Ilham menunduk. Nampaknya, dia masih ingin menyembunyikan ini dari Aya. Dia tidak ingin membuat Aya semakin stress dan membuat jantungnya berada dalam fase berbahaya yang bisa mengancam nyawa orang yang dia cintai.
“Aku ... mau ke kampus dulu. Nanti, aku akan ke sini lagi.” lirihnya kemudian pergi meninggalkan Aya di kamar klinik.
Ilham memutuskan kembali ke kampus hanya untuk meredam rasa marah dalam hati Aya. Di kampus, dia kembali melaksanakan tugasnya sebagai mahasiswa yang baik. Meskipun, dalam hatinya masih bimbang dan menjadi tidak fokus terhadap mata kuliah yang diajarkan dosennya yang mengampu.
“Terimakasih untuk mata kuliah hari ini! Kalian semua boleh keluar dari kelas ini, kecuali Ilham.”
Semuanya keluar dari ruangan, terkecuali Ilham yang diperintah untuk tidak keluar dari ruangan terlebih dulu. Dosen pengampu mata kuliah ini sejak tadi melihat bahwa Ilham tidak fokus dengan apa yang dia ajarkan hari ini, tidak seperti biasanya.
“Ilham, kamu kenapa? Nggak biasanya kamu nggak fokus kayak ini loh. Bisa ceritakan masalahmu! Siapa tahu, saya bisa sedikit membantu meredamnya.” kata dosen pengampunya – bu Veranda.
“Saya bimbang, ibu Ve. Orang tua saya berniat menjodohkan saya dengan anak sahabatnya, sedangkan saya tidak mau membunuh pacar saya, karena dia sakit jantung. Sedikit stress saja, nyawanya terancam hilang.” jelas Ilham lirih.
“Pacarmu yang anak bimbingannya Chikarina-san itu?” tanya bu Ve dengan lembut.
Ilham mengangguk pelan tanda mengiyakan. Bu Veranda menghela napas pendek.
“Saya rasa, pilihan orang tuamu yang terbaik. Saya juga pernah ada di posisimu, di mana saya dijodohkan dengan seseorang yang tidak aku cintai, yaitu suami saya sendiri.”
“Tapi, saya terpaksa menerimanya, karena orang tuaku ketika itu sudah hampir meninggal.”
“Padahal, ketika itu saya sudah mempunyai pacar, jadi saya benci banget sama dia. Tapi, saya belajar sedikit demi sedikit.”
“Kamu seorang laki-laki, kan? Sebagai laki-laki, kamu mampu jujur kepada pacarmu itu. Jelaskan semua masalahnya secara kongret! Pasti dia tidak akan marah dan stress.”
“Karena, kalau kamu tidak jujur dari awal, dia akan semakin stress dan penyakitnya akan semakin parah. Kamu nggak mau itu terjadi kan, adikku?” jelasnya.
“Jadi gitu ya?” gumam Ilham.
“Jujur itu diperlukan sejak awal, Ilham. Kamu adalah pemimpin bagi keluargamu di masa depan. Jadilah pemimpin yang jujur!” saran bu Veranda kemudian meninggalkan Ilham sendirian.
Ilham merenungkan kembali ucapan bu Veranda yang memang ada benarnya itu. Dia seorang pria yang harus berani jujur, daripada harus meninggalkan Aya secara tiba-tiba dan membunuh Aya dengan cara tiba-tiba itu. Oleh karena itu, dia harus jujur pada kekasihnya.
Ilham mulai mengembangkan senyumannya dan keluar dari kelas dengan perasaan lega. Saat baru saja keluar dari kelas ... .
“Barusan bu Veranda bilang apa aja ke elu?” tanya Alif penasaran.
“Dia cuma membantu memotivasi gue aja.” jawab Ilham.
“Motivasi mengenai?” tanya Nuno – teman Ilham yang lainnya.
“Motivasi agar gue bisa jujur sama Aya kali ini juga.” balas Ilham sambil tersenyum.
“Jujur? Jujur masalah apaan?” tanya Nuno semakin penasaran.
“Nggak kok. Kepo dah lu, bus kecil ramah!” tawa Ilham pecah saat memelesetkan nama Nuno menjadi Tayo si Bus Kecil Ramah, yang biasa tayang di salah satu saluran TV swasta Indonesia (dibaca RTV).
Sepulang dari kampus, Ilham mampir ke klinik untuk memeriksa keasaan Aya. Sebelum ke klinik, Ilham terlebih dulu membawakannya bunga, berharap agar Aya tidak marah atas kejadian tadi pagi.
“Sore, Sin.” sapa Ilham lembut.
“Selamat sore.” balas Aya dan Devi sambil tersenyum.
“Eh, lu udah di sini aja, Dev?” sapa Ilham pada Devi.
“Kelas gue sampai jam 12 doang hari ini. Jadi, gue langsung ke sini jagain Aya. Orang-orang dari panti asuhan juga udah gue hubungi kok, kalau Aya masuk klinik karena penyakit jantungnya.” jelas Devi.
Ilham mengangguk tanda mengerti.
“Dev, bisa lu keluar bentar?” pinta Ilham.
“Lah, kenapa loe ngusir gue?” bentak Devi.
“Made Devi Ranita Ningtara, gue mau ngobrol serius sama pacar gue sekarang dan lu gak boleh ikut campur urusan kami berdua!” balas Ilham membentak.
“Keluar dulu aja, Dev!” sambung Ilham memohon.
Devi pun keluar dari kamar Aya. Namun, meskipun dia ada di luar ruangan Aya, dia tetap bisa menguping di jendela.
“Kayaknya, Ilham benar-benar akan bicara serius sama Aya? Kok perasaan gue nggak enak ya?” batin Devi.
Kembali ke Ilham dan Aya. Ilham duduk di kursi samping tempat tidur Aya. Dia menggenggam tangan lemah kekasihnya dengan lembut agar Aya merasa nyaman.
“Sebelumnya, maaf ya. Tapi, aku harus dan mau jujur sama kamu yang ada di depanku.” ungkap Ilham sambil menghela napas pendek.
“Alasan kenapa aku ingin kamu jauhin aku, itu karena orang tuaku mendadak menjodohkanku dengan anak perempuan sahabatnya. Dan aku terpaksa untuk menerimanya. Karena aku nggak mau jadi anak durhaka kepada orang tua.” jelasnya.
“Jadi, kita putus aja ya?” pinta Ilham yang sebenarnya merasa berat untuk memutuskan hubungan dengan Aya.
“Hah? Ilham putusin Aya gara-gara dia dijodohin orang tuanya?” batin Devi terkejut dari luar jendela ruangan.
Devi nampak mengerti isi hati Aya saat ini. Namun, siapa tahu jikalau isi hati Aya berbeda dengan apa yang dia pikirkan (?)
Aya terdiam mendengar ungkapan isi hati Ilham barusan. Aya merasa tak ingin kehilangan kekasihnya. Namun, dia harus tetap jadi orang yang tegar. Dia berpikir, bagaimana dia harus menjaga ikatan tali silaturrahmi yang telah dia bangun dengan Ilham sejak lama agar tidak terputus seperti orang-orang berpacaran yang lainnya.
“Oke, kita putus sekarang. Tapi, aku mau kamu tetap jadi sahabat aku. Aku nggak mau kita terputus hubungan secara persaudaraan antar sesama umat manusia.” pinta Aya sambil tersenyum.
“Eh, kamu serius bilang begitu?” kejut Ilham tak percaya.
Aya mengangguk pelan kepada Ilham.
“Aku sadar, bahwa hanya dirimulah kapasitasku. Sudah tidak bisa dengan yang lain. Aku hanya bisa cinta satu orang. Di dunia yang sempit ini aku akan terus mencintaimu tanpa batasan, bagai ikan migrasi.” jelas Aya sambil tersenyum.
“Tapi, aku juga sadar bahwa cinta tak harus memiliki. Aku harus membiarkan orang yang aku cintai bahagia. Meskipun, dia dengan orang lain yang lebih pantas dengannya.” sambungnya.
“Aya.” gumam Ilham sambil menatap wajah Aya yang berusaha untuk tersenyum, meskipun dia sebenarnya merasa sedih.
Sedangkan dari luar ... .
“Kamu terlalu memaksakan hatimu, Aya. Kamu emang cewek yang tegar.” gumam Devi.
Tak lama kemudian, Devi melihat Ilham yang baru saja keluar dari kamar inap Aya. Devi menatapnya dengan tatapan tajam. Tapi, Ilham mencoba tersenyum di depan Devi, walau dia mengetahui jikalau Devi juga merasa kecewa dengan ungkapan Ilham barusan.
“Jagain Aya, ya!” ucapnya kemudian pergi meninggalkan klinik.
Social Plugin