Malam Itu di Kelapa Dua
Angin malam di Kelapa Dua emang nggak pernah dingin-dingin banget. Dia cuma datang pelan, ngebawa bau aspal basah yang abis disiram gerimis dan sayup-sayup suara bus terakhir dari arah utara. Di pojok terminal yang lampunya remang-remang, warung kopi Mak Ambar masih buka. Bangkunya tinggal tiga yang masih utuh, sisanya udah miring atau sedikit goyang kalau didudukin. Tapi buat gue sama anak-anak Amaliyah, tempat itu udah lebih dari cukup.
Gue nyender di bangku kayu yang mulai rapuh, sambil dengerin suara gorengan diremas Anas. Dia baru aja nyampe, mulutnya masih sibuk ngunyah mendoan yang udah dingin dan rada alot.
"Anjir, bro… Udah lama cabut, balik-balik nongkrongnya masih di sini juga lo," katanya sambil ngeplak pundak gue. Pukulannya nggak kenceng, tapi tetep aja bikin bahu gue agak geser.
Gue nyengir tipis. "Tempat kayak gini tuh, bukan sekadar warung, Nas. Ini zona netral. Tempat kita pura-pura lupa sama semua beban hidup."
Adit dateng belakangan, kayak biasa: rambut acak-acakan, celana jins robek di lutut. Tapi pede-nya nggak pernah berubah. Kayak udah jadi bawaan lahir.
"Motor lo mana? Tadi gue liat lo dorong," tanyanya, tanpa basa-basi langsung nembak.
Gue nunjuk ke ujung parkiran. Motor gue nangkring di sana, mogok lagi. Tapi kali ini, gue nggak nyesel jauh-jauh ke sini. Ada sesuatu yang narik gue balik, kuat banget.
Atau mungkin… seseorang.
Dan tepat saat pikiran itu melintas, mata gue nggak sengaja nangkap sosok di seberang warung.
Celine Stephanie.
Atau Elin, begitu biasanya gue manggil. Rambutnya panjang, hitam pekat, dan sebagian ketutup hoodie abu-abu kebesaran. Dia jalan pelan, kayak nggak punya urusan sama waktu. Langkahnya tenang, seolah malam itu emang sengaja disusun cuma buat dia datang.
Elin nyelonong duduk di sebelah gue, tanpa ngomong apa-apa. Terus, tiba-tiba aja dia nyenderin kepalanya di bahu gue. Gila, rasanya kayak udah sering kejadian padahal... ini kali pertama.
Bahu gue rasanya kayak nahan beban yang nggak biasa. Bukan cuma berat badannya, tapi entah kenapa malah bikin dada gue tiba-tiba sesak, campur aduk.
“Lagi ngapain?” bisiknya, suaranya serak dikit. Entah karena angin malam atau karena dia abis ngobrol panjang sama temennya.
Gue nyoba tenang. Napas gue atur pelan-pelan. "Baru mau pulang. Kamu dari mana?"
"Main sebentar. Sama temen. Itu dia lagi nungguin," katanya, sambil nunjuk ke arah cewek di depan warung.
Gue cuma ngangguk. Ada jeda. Sunyi yang aneh. Bukan karena canggung, lebih kayak kita berdua sama-sama tahu kalau momen ini bisa jadi satu-satunya. Nggak ada yang berani ngerusak.
“Ya udah, pulang gih. Besok ketemu lagi, kan?” Gue nanya, lebih ke mastiin diri sendiri.
Dia senyum tipis. Tapi nggak langsung jawab. Cuma bilang pelan, lirih banget, kayak takut kalimatnya terlalu jujur, “Iya.”
Dan malam itu rasanya melambat. Langkahnya menjauh. Tapi tiap beberapa detik dia nengok, nyari mata gue. Gue tahan diri buat nggak manggil. Tapi ada sesuatu yang tertinggal di udara, kayak suara yang nggak jadi diucap, ngegantung gitu aja.
Besoknya, kelas kerasa lebih sepi. Gue duduk di tempat biasa, berharap dia masuk dari pintu belakang sambil senyum kayak kemarin malam. Tapi sampai bel istirahat, bangkunya kosong.
Livia, temen deket Elin, tiba-tiba nyamperin gue. Tatapannya ragu gitu. "Agi, Elin pindah," katanya pelan.
Gue ngekerut. "Pindah?"
"Keluar kota. Papanya dipindah tugas. Katanya sih mendadak banget. Dia nggak sempet pamit ke semua." Livia ngejelasin, matanya nggak berani natap gue.
Gue cuma diem. Di kepala gue, suara tawa Elin masih terngiang. Rasa hangat di pundak kiri gue juga masih ada. Tapi sekarang, kosong.
Yang paling nyesek? Bukan karena dia pergi. Tapi karena gue belum sempet nanya satu hal:
"Kita ini apa, Lin?"
Nggak ada janji. Nggak ada kejelasan. Bahkan nggak ada kalimat "jaga diri" yang biasanya jadi penanda akhir sebuah pertemuan.
Tapi gue nggak marah. Nggak juga nyalahin takdir. Ada hal-hal dalam hidup yang memang cuma mampir sebentar. Nggak untuk dimiliki. Nggak untuk dipertahankan selamanya.
Dan malam itu, di Kelapa Dua, jadi satu dari sedikit hal yang nggak pernah gue ceritain ke siapa-siapa. Bukan karena pengin dilupain. Tapi karena gue pengin simpen utuh—tanpa interpretasi, tanpa tambahan bumbu.
Tentang tawa di sela obrolan receh. Tentang kopi sachet dingin dan gorengan yang udah lembek. Tentang kehadiran yang sebentar, tapi ngisi ruang lebih dalam dari yang seharusnya.
Cinta, kadang emang nggak butuh waktu panjang. Yang sebentar, tapi tulus… justru yang paling lekat dan susah dilupain.
Dan di pundak kiri gue malam itu, Elin pernah ada. Diam-diam. Tapi nyata.
Social Plugin