Oniel si Tetangga Samping Rumah
Sore itu, taman di ujung komplek terasa lebih lengang dari biasanya. Cuma ada suara daun bergesek pelan dipermainkan angin, ditambah aroma tanah basah sisa hujan tadi siang. Bau khas itu nyangkut di hidung gue, kayak jeda kecil yang diam-diam diselipkan semesta buat nenangin kepala yang masih berat karena ulangan matematika.
Gue milih pulang jalan kaki. Bukan niat jadi sehat atau mau nyari inspirasi hidup, tapi lebih karena motor gue lagi di bengkel. Dompet pun lagi seret, isinya cuma angin dan struk beli mie instan.
Waktu lewat taman, langkah gue otomatis melambat. Pandangan langsung ke satu titik.
Oniel.
Cewek yang udah tiga tahun jadi penyebab playlist galau gue nggak pernah ganti, bikin caption Instagram gue mendayu lebay setengah mati, dan satu-satunya alasan kenapa gue masih betah tinggal di komplek ini—meski tetangga depan suka nyetel dangdut jam tiga pagi.
Dan dia… lagi main sama Jeki.
Kucing gue. Makhluk berbulu yang lebih cocok disebut karpet hidup. Tapi Oniel ngelus Jeki pelan-pelan, penuh kelembutan. Dan sumpah demi Indomie cabe lima, cahaya senja jatuh di rambutnya pas banget. Kayak efek sinar jingga di film indie yang suka diputer di bioskop alternatif.
Gue tarik napas dalam. Oke, Dion. Ini saatnya.
“Jeki kelihatan betah banget sama lo,” suara gue keluar juga, dengan nada yang mudah-mudahan terdengar cukup normal.
Oniel noleh, senyum kecil. “Eh, Dion! Pinjem bentar ya. Maaf nih, dia jadi agak dekil gara-gara gue ajak main ke tanah.”
Gue ikut jongkok, pura-pura ngelus Jeki juga. “Tenang. Dia emang suka ngubek-ngubek pasir. Hobi sejak kecil.”
Dia ketawa pelan. “Siapa tahu lagi nyari harta karun. Kucing Indiana Jones gitu.”
Gue ikut senyum. “Kalau nemunya tulang ayam sisa minggu lalu, jangan salahin siapa-siapa.”
Obrolan ngalir kayak air. Gue mulai santai. Bahkan sempat mikir buat ngajak dia nikah, eh maksudnya, ngajak jajan bakso. Tapi sebelum sempat gue ngomong, Oniel nyender ke bangku taman.
“Eh, Dion, boleh pinjem komik Detective Conan lo lagi nggak? Yang kemarin belum sempat gue lanjutin.”
Hati gue berteriak: WOI INI MOMENNYA GOBLOK JANGAN NGEFREEZE!!
“Boleh banget!” suara gue agak kenceng, terlalu semangat mungkin. “Gue punya edisi langka, yang cover-nya udah mulai ngelupas tapi isinya masih mantep. Mau gue ambilin sekarang?”
“Serius? Mau dong!” katanya, matanya berbinar.
Gue langsung lari pulang. Jeki ikut lari di belakang, mungkin ngira gue bawa cemilan. Gue bongkar rak buku, ambil komik itu, dan balik lagi ke taman dengan tangan sedikit gemeter.
“Nih, khusus buat lo,” kata gue, sok cool.
Tapi di situlah... malapetaka kecil itu dimulai.
Malamnya, gue rebahan sambil senyum-senyum. Bukan karena ulangan ditunda, tapi karena ngobrol sama Oniel tadi sore... terasa beda. Ada jeda-jeda kecil yang hangat, ada cara dia ngeliat gue yang nggak kayak biasanya. Atau mungkin itu cuma halu gue aja. Tapi tetap aja, rasanya menyenangkan.
Sampai tiba-tiba, ingatan itu nyamber.
Kertas.
Gue langsung bangun. Duduk tegak, tangan nutup muka. Otak gue muter cepat, nyari kepastian.
Komik yang gue pinjemin ke Oniel. Di dalamnya, ada satu kertas kecil. Surat cinta. Tulisan tangan. Kalimat absurd penuh metafora ala anak remaja labil yang baru pertama kali ngerasain naksir serius. Niatnya dulu cuma buat nyalurin rasa, nggak pernah kepikiran bakal keambil sama orangnya langsung.
Dan sekarang... itu udah di tangan Oniel.
Gue buka chat. Jari gue gemetar pas ngetik:
“Niel, sori ya. Di komik itu ada… semacam kertas. Iseng doang sih. Bisa gue ambil besok pagi?”
Setelah tombol kirim gue pencet, layar HP terasa lebih terang dari biasanya. Gue tatap terus, nunggu centang dua berubah biru. Nggak ada balasan.
Satu menit.
Dua menit.
Tiga men....
Gue mulai panik. Buka YouTube. Ketik: cara menghilang secara permanen tanpa jejak.
Video pertama: “Naik kapal nelayan ke pulau terpencil.”
Video kedua: “Masuk hutan, hidup dari singkong dan insting.”
Video ketiga: “Pura-pura amnesia, lalu ganti nama.”
Tapi ujung-ujungnya semua solusi itu berakhir di satu hal: malu. Bukan cuma malu biasa. Ini level malu yang bikin lo ngerasa pengen pindah alam semesta.
Gue biarin layar itu nyala sebentar, lalu padam sendiri.
Malam terasa lebih panjang dari biasanya. Gue tiduran lagi, matiin lampu, tapi mata nggak juga mau merem. Di kepala gue, semua kemungkinan muter terus.
Dan akhirnya, dengan hati yang cemas, gue biarkan chat itu... sampai esok.

Pagi itu, matahari baru mengintip malu-malu di balik atap rumah tetangga. Gue udah berdiri di depan rumah Oniel, ngetuk pintunya pelan tapi penuh tekanan. Jantung gue berdetak cepat, kayak drummer yang lagi pemanasan sebelum konser.
"Selamat pagi, Niel," gue sapa dengan senyum canggung. "Gue... mau ambil kertas di komik kemarin. Lo belum buka, kan?"
Oniel muncul dengan rambut masih agak berantakan, senyumnya tipis tapi mencurigakan. Dia langsung nyodorin komiknya.
"Belum kok. Ambil aja," katanya sambil nahan ketawa yang nggak sepenuhnya dia tutupin.
Gue buru-buru buka halaman demi halaman. Mata gue waspada, hati deg-degan. Dan akhirnya ketemu. Kertas itu masih ada, terselip rapi di antara panel, belum tersentuh. Rasanya kayak nemu air es di tengah padang pasir.
Oniel masih berdiri di ambang pintu, matanya sempit memperhatikan gue.
"Tapi itu kertas apa sih? Sampe segitunya buru-buru?" tanyanya. Alisnya naik sedikit, nada suaranya santai tapi penuh rasa ingin tahu.
Gue nyengir. Kaku.
"Cuma... coretan iseng. Nggak penting kok," jawab gue, sambil ngelipet kertas itu dengan gerakan sehalus mungkin.
Dia ngangguk. Ekspresinya menggantung, antara percaya dan pura-pura nggak ngerti. Gue pamit buru-buru, jalan cepat, hampir setengah lari pulang.
Sampai di rumah, gue duduk sebentar di pinggir ranjang, nafas mulai stabil. Rasanya ringan. Seolah beban kecil yang selama ini nempel di punggung akhirnya copot juga. Masalah beres. Hari bisa mulai.
Dan pelajaran dari pagi ini?
Jangan pernah nyelipin curhatan pribadi di komik.
Serius.
Jangan.
Sore itu, begitu gue dorong pagar pelan, pandangan gue langsung jatuh ke arah Oniel yang berdiri di teras rumahnya. Tangan kanannya menggenggam gelas es teh, sementara tangan kirinya bertumpu santai di pagar. Gerak-geriknya tenang, seolah hidup lagi adem-adem saja. Tapi senyum tipis di wajahnya justru bikin dada gue berisik sendiri.
“Udah pulang?” tanyanya saat menghampiri, seakan malam kemarin bukan malam paling memalukan dalam sejarah hidup gue.
“Iya,” jawab gue, mencoba terdengar santai meski tenggorokan gue kering, kayak kelamaan nelen rasa malu. “Soal komik kemarin…”
“Oh,” potongnya cepat. Tatapannya berubah sedikit, nggak tajam, tapi cukup buat bikin lutut gue goyah. “Gue sempat baca tadi malam. Dan... jujur aja, isinya cukup... menyentuh.”
Gue nggak siap denger itu. Jantung gue langsung kelabakan, kayak lagi disuruh nari tapi musiknya belum mulai.
“Maksudnya... bagian mana?” tanya gue pelan.
“Suratnya,” jawab dia, lembut. Matanya menatap langsung, dalam, kayak dia bisa baca semua yang selama ini gue tutup rapat. “Gue baca semuanya. Dan... gue tersanjung.”
Gue berdiri canggung, nggak tahu harus napas atau senyum dulu. Jadi yang gue lakuin cuma berdiri kayak nunggu aba-aba yang nggak kunjung datang.
“Tenang,” lanjutnya, senyumnya kini lebih hangat. “Gue malah seneng. Lo jujur, walaupun caranya... ya, agak nggak biasa.”
Gue ketawa kecil, lebih karena lega. “Gue kira lo bakal risih. Atau malah ngejauh.”
Dia geleng pelan. “Gue ngerti, kok. Tapi… lo suka gue dari kapan?”
Gue tarik napas dalam-dalam. “Tiga tahun, mungkin. Sejak lo pertama kali dateng ke RT pas tujuh belasan. Waktu nyanyi lagu JKT tapi lo lupa liriknya.”
Dia langsung ketawa. Bukan tawa basa-basi. Tapi tawa yang lepas, jujur, dan lama. Suara yang familiar, yang sering gue simpan diam-diam di kepala.
“Ya ampun. Gue kira nggak ada yang ingat momen itu.”
“Justru dari situ gue mulai suka,” jawab gue, dengan rasa malu yang nggak bisa gue sembunyikan.
Dia diam sebentar, lalu bicara pelan, “Gue nggak keberatan, kok. Bahkan... mungkin kita bisa coba jalanin ini bareng-bareng.”
Gue menoleh, hati gue nahan napas, memastikan dia nggak bercanda.
Dia hanya mengangguk. “Yuk ke taman. Sambil jalan, sambil ngadem.”
Kami pun memutuskan pergi ke taman, Udara sore menyelinap halus, numpang lewat di sela baju, bikin semuanya terasa tenang. Langkah kami nyaris tanpa suara, kayak ada aturan tak tertulis yang bilang: jangan ganggu momen ini.
Belum jauh dari pintu taman, tiba-tiba dari arah semak-semak, muncul Jeki, kucing gue. Gak ada aba-aba. Gak ada panggilan. Dia cuma datang, ikut jalan di samping kami, seolah udah tahu harus ada di sana. Aneh, iya. Tapi keberadaannya justru bikin semua terasa pas. Kayak semesta kasih satu sentuhan kecil, biar adegan ini lengkap.





Social Plugin