Master-Hero dari Depok
Di sudut kota Depok yang padat dan sering terlupakan, ada seorang pemuda bernama Rico. Ia tinggal di sebuah rumah kayu sederhana, berdinding triplek dan beratap seng berkarat. Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar terbit, Rico sudah berjalan kaki membawa gitar kecilnya, bernyanyi dari angkot ke angkot, dari kios ke kios, menyusuri kota demi menyambung hidup.
Hidup Rico jauh dari kata mudah. Namun, satu hal yang tak pernah pudar darinya adalah ketulusan. Ia masih ingat betul pesan almarhum ayahnya: "Bekerjalah dengan hati. Bantu mereka yang lemah, walau dirimu sendiri kekurangan." Kata-kata itu seperti suluh yang menyala dalam dadanya, tak pernah padam.
Meski hidup di tengah kekurangan, Rico punya mimpi besar. Ia ingin jadi seorang astronom. Langit malam adalah pelariannya—satu-satunya tempat yang membuatnya merasa dekat dengan harapan.
Rico kini duduk di bangku SMP di Sekolah Master, sekolah gratis bagi anak-anak kaum duafa. Tempat itu ibarat mercusuar di tengah gelombang. Tapi harapan itu diguncang oleh kabar buruk: sekolah dan permukiman sekitarnya terancam digusur. Konon, lahan itu akan dijadikan kasino oleh para investor kaya. Bagi Rico dan warga lainnya, ini bukan sekadar penggusuran, ini penindasan.
Pagi itu, Rico berdiri di depan gerbang sekolah. Ia menarik napas dalam, mencoba menyimpan kecemasan di balik senyumnya. “Gue mesti semangat. Nggak boleh telat,” bisiknya pada diri sendiri.
Di dalam kelas, seorang guru relawan sedang menjelaskan tentang tata Surya.
“Kalau dibandingkan dengan matahari, bumi kita ini kecil sekali. Ada yang tahu berapa jumlah planet dalam tata Surya?” tanyanya.
“Delapan, Kak!” seru seorang anak.
“Betul. Lalu, planet mana yang punya cincin?”
“Saturnus, Kak!” jawab Rico mantap.
Guru itu tersenyum. “Tepat sekali.”
Di luar jam sekolah, Rico kembali mengamen. Di angkot, ia menyanyikan lagu dengan suara pelan dan merdu.
"Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah..."
Namun tiba-tiba, suasana berubah kacau.
“Jambréttt!” teriak seorang ibu dari sudut kursi. Seorang pria melarikan diri keluar angkot, menggenggam tas yang baru saja dirampas.
Tanpa pikir panjang, Rico dan beberapa penumpang lain mengejar. Namun penjahat itu terlalu lincah, menghilang ke gang sempit.
Warga hanya bisa menatap kecewa. Ibu itu menangis, sementara Rico berdiri diam, menggenggam gitar kecilnya erat-erat. “Depok nggak aman lagi,” bisik seseorang.
Malamnya, Rico duduk di dekat jendela rumahnya yang reot. Angin malam menerpa wajahnya, membawa aroma tanah dan debu. Di kejauhan, suara gemuruh menggetarkan udara. Ia melihat ke luar dan terkejut: sekelompok orang berseragam gelap, lengkap dengan senjata dan robot penjaga, menyerbu kawasan sekolah Master.
Rico tak bisa hanya menonton. Ia segera mengenakan jaket lusuhnya, keluar dan berlari menuju kerumunan. Bersama warga lain, ia mencoba melawan. Tapi pasukan kapitalis itu terlalu kuat. Robot-robot mereka dingin, tanpa belas kasihan. Rico terjatuh, tubuhnya tertimpa reruntuhan.
Gelap.
Saat ia sadar, ia berada di sebuah ruangan yang tak dikenalnya. Bau besi, oli, dan debu memenuhi udara.
“Di mana saya...?” lirihnya.
“Kamu di rumah saya,” jawab seorang kakek dari sudut ruangan.
Kakek itu pemulung. Tapi bukan pemulung biasa. Ia punya kecerdasan luar biasa dan menjadikan rumahnya sebagai bengkel rahasia. Di balik rongsokan dan kabel kusut, tersembunyi impian: menciptakan pahlawan.
“Aku sudah lama menunggu seseorang sepertimu,” ucap si kakek. “Seseorang yang tak hanya kuat, tapi juga tulus.”
Rico terdiam. Tubuhnya masih lemah, tapi kata-kata itu menyusup ke dalam hatinya. “Kenapa saya?”
“Karena kamu satu-satunya yang masih punya hati bersih di kota ini. Aku ingin menjadikanmu manusia super. Bukan untuk balas dendam, tapi untuk menegakkan keadilan.”
Beberapa bulan berlalu. Rico menjalani pelatihan, transformasi, dan eksperimen. Ia belajar mengendalikan kekuatan baru dalam dirinya. Kakek itu membuatkan seragam dari seng bekas, kabel tua, dan besi karatan—namun disulap menjadi armor luar biasa.
Hari itu pun tiba.
Dengan semangat membara, Rico turun ke kota. Kekacauan telah mencapai puncaknya. Robot-robot pengawal dan para kapitalis merajalela. Warga ketakutan, tak berdaya.
Tapi Rico tidak. Ia melawan. Tubuhnya melesat, menghantam robot satu per satu. Jalanan yang tadinya dipenuhi teror, mulai menyaksikan harapan. Warga pun ikut melawan. Dalam semangat itu, kekuatan rakyat tumbuh.
Depok tidak lagi bisu. Mereka bersuara.
Dan mereka menang.
Setelah semua usai, Rico kembali ke rumah kakek. Wajahnya penuh luka, tapi matanya bercahaya. Sang kakek menyambutnya dengan senyum yang hangat.
“Kamu telah jadi pahlawan kota ini, Rico.”
Dari hari itu, warga menjulukinya Master-Hero—nama yang terinspirasi dari sekolah yang ia bela dengan jiwa dan raga. Sebuah nama yang lahir bukan dari kekuatan, tapi dari kebaikan hati.
Dan Rico tahu, selama langit masih terbentang dan bintang masih bersinar, ia akan terus menjaga kota itu. Depok adalah rumahnya.
Social Plugin