Elin: Gang Sempit Favorit
Pagi itu, langit belum sempat berubah dari abu ke biru. Suara ayam? Belum. Alarm HP? Udah, tapi gue snooze. Berkali-kali. Sampai akhirnya, nyokap ngetok pintu. Ketukan khas yang selalu sukses bikin jantung loncat.
“Bangun, kita ke Pasar Kemiri.”
Gue bergeming. Tapi begitu keluar kalimat sakral yang udah jadi jimat semua ibu di Indonesia, "Anak baik itu bantuin ibu". Gue gak punya pilihan. Dengan sisa tenaga dari mimpi yang belum selesai, gue jalan gontai, masih setengah nyawa. Mata berat, pikiran masih di kasur.
---
Tangan gue udah kayak keranjang belanja jalan, dipenuhin plastik berisi segala rupa: kakap segede gaban, daun bawang, sabun colek tiga kilo. Gue sempet mikir, "Ini sabun sebanyak ini mau nyuci baju satu kecamatan?"
Yang paling ngerepotin tentu saja si kakap. Licin, gede, susah dipegang. Pas gue coba geser ke tangan kiri, tuh ikan loncat. Beneran loncat. Kayak dia tau nasibnya bakal digoreng. Untung gue masih ada refleks, langsung nyamber ekornya sebelum dia nabrak kaki ibu-ibu. Harga diri gue aman. Kakapnya juga.
Sambil nunggu nyokap yang lagi negosiasi harga dengan skill setara pengacara, gue duduk sebentar di lorong sempit pasar. Suasananya padat, gerah, dan riuh, orang berlalu-lalang, suara teriakan pedagang tumpang tindih, dan bau khas pasar menyeruak: campuran amis ikan, bawang goreng yang baru diangkat, sama plastik basah yang nempel di tangan. Aroma yang mungkin bikin orang mall minggir, tapi buat gue… ini wangi kehidupan yang nggak dipoles.
Di tengah keramaian itu, mata gue nemu sosok cewek. Rambutnya panjang, bajunya simple, Tapi entah kenapa, mata langsung berhenti di dia. Kayak pernah liat, tapi lupa di mana. Story IG? Atau mungkin mimpi?
Belanja kelar, kita pulang lewat gang kecil yang udah jadi rute default. Biasanya gue lewatin begitu aja. Tapi kali ini beda. Langkah gue melambat, suasananya kayak disuruh tenang. Kayak ada sesuatu yang nunggu.
Dan bener aja, di ujung gang itu... dia. Cewek tadi. Lagi duduk di depan rumah dua lantai, scroll HP.
Mata kami ketemu. Sekilas. Canggung. Gue senyum seadanya, dia bales tipis—semacam senyum yang nggak yakin, tapi sopan.
"Hai… Vina, ya?" Gue nanya, sok akrab, padahal yakin enggak yakin juga.
Dia geleng pelan. "Bukan."
Gue coba lagi, kali ini pake feeling: "Ekin?"
Dia angguk. "Iya."
Gue sempat bengong sebentar. Nama itu familiar. Ada di memori, tapi samar, kayak notifikasi yang udah tenggelam di antara chat instagram.
Tapi yang bikin jantung gue makin gak karuan adalah saat dia bilang,
"Kamu Agi, kan?"
Dia inget nama gue.
Dan gue? Gue langsung nge-freeze. Otak ngelag. Antara seneng, kaget, dan malu berat... karena rambut gue belum disisir, baju kena cipratan air ikan, dan gue bau kakap segar campur sabun colek.
Kami ngobrol sebentar, basa-basi standar. Gue gak tau ngomong apa, karena kepala gue udah muter sendiri: "Dia tau nama gue. Berarti pernah liat gue. Berarti... ada kemungkinan dia juga mikirin gue?" Gak. Gak mungkin. Gue aja kaget bisa mikir kayak gitu.
Nyokap udah jalan duluan, jadi gue pamit.
"Sampai ketemu lagi, ya." Gue bilang sambil berusaha santai.
"Iya. Hati-hati," jawabnya, dengan nada yang anehnya, bikin dada gue sesak...
Dan pas gue sampai rumah, disambut nyokap dengan tatapan penuh cengiran dan satu kalimat yang bikin pengen teleport:
"Temen kamu manis ya."
"Baru kenal, Ma," gue jawab, pura-pura ngelap keringet yang gak ada.
"Kirain pacar. Cocok, loh."
MA... MAAA... plis, jangan gitu!
Keesokan harinya, entah kenapa kaki gue jalan lagi ke gang itu. Gak ada alasan logis. Katanya mau beli bawang, tapi jujur, itu cuma kamuflase. Yang gue cari bukan bawang. Tapi Ekin.
Dan dia... ada. Duduk di tempat yang sama.
Kali ini obrolannya lebih panjang. Tentang bola, film, makanan, hal-hal receh yang entah kenapa jadi penting. Gak ada topik berat. Tapi gue ngerasa bisa jadi diri sendiri. Gak perlu sok asik. Gak perlu ngatur gaya. Cukup jadi gue aja.
Sejak hari itu, gang sempit itu berubah. Dulu cuma lorong sempit antara dua rumah. Sekarang, dia jadi portal. Ke sesuatu yang lebih luas. Lebih hangat. Lebih... kemungkinan.
Setiap hari, gue lewat situ. Kadang beli terasi, kadang beli cabai, kadang cuma lewat dengan alasan yang bahkan gue sendiri gak percaya.
Tiap dia nyapa duluan, gue senyum. Dalam hati: “Yes, hari ini menang.”
Dia gak pernah bertingkah terlalu manis. Tapi juga gak hambar. Pas. Natural. Kayak teh tawar anget habis hujan.
Sampai satu sore, pas langit mulai jingga dan suara azan magrib belum sempat berkumandang, dia bilang sesuatu yang bikin kepala gue muter semalaman:
"Mampir lagi, ya."
Cuma dua kata. Tapi kedengeran kayak: “Aku gak keberatan kamu jadi bagian kecil dari hari-hariku.”
Dan sejak itu, gue percaya... perasaan itu gak harus ribut. Gak perlu kejutan. Gak butuh efek dramatis. Cukup dari senyum yang ditunggu. Tatap mata yang ditangkap diam-diam. Dan obrolan receh yang nyisa semalaman.
Gue gak tau ini akan jadi apa. Tapi buat sekarang, cukup tau satu hal:
Gue udah jatuh.
Pelan.
Tapi dalam.
Dan jujur aja...
Gue gak pengen naik lagi.
Social Plugin