Ticker

6/recent/ticker-posts

Hari Ketika Dunia Nggak Berakhir

  

Hari Ketika Dunia Nggak Berakhir

Pagi itu, langit abu-abu menggantung rendah. Bukan mendung yang mengancam hujan, tapi cukup bikin cahaya masuk ke kamar dengan enggan. Gue bangun dengan rasa lelah yang nggak tuntas. Tenggorokan kering, kepala masih berat. Tapi bukan karena sakit fisik—lebih ke tubuh yang belum siap menghadapi kenyataan.

Tiga hari terakhir gue absen. Alasannya tertulis “sakit” di buku absen.
Kenyataannya? Gue lebih sering bengong di depan layar, nonton anime yang terlalu banyak episode dan nggak ada hubungannya sama hidup gue. Sebenarnya gue cuma butuh jeda. Dari sekolah. Dari keramaian. Dari perasaan yang belum gue mengerti.

Gue buka lemari. Seragam sekolah tergantung di situ, apek dan lecek. Kaos kaki belum kering sempurna, tapi gue maklumi. Pagi itu gue nggak sedang mencari kesempurnaan. Cuma pengen hari ini bisa lewat tanpa bikin gue makin jatuh.

Di meja, handphone gue berkedip. Grup kelas masih rame. Seseorang bilang hari ini hari terakhir susulan. Ulangan semua pelajaran. Gue baca sekilas, lalu taruh lagi ponsel itu. Dada gue sesak, tapi bukan karena takut nilai jelek. Lebih ke... gue belum siap ketemu orang-orang lagi.

Tapi akhirnya gue berangkat juga. Dengan tubuh yang setengah sadar, langkah yang lambat, dan pikiran yang masih kosong.

**

Di kelas, suasana sudah riuh. Kursi gue masih kosong. Beberapa teman sempat menoleh, tapi nggak ada yang terlalu peduli. Dunia mereka tetap berputar tanpa gue.

Gue duduk, dan saat itu juga seseorang bersuara, “Hari ini ulangan semua pelajaran.”

Gue cuma mengangguk. Gak banyak tanya. Mungkin karena gue tahu, berapa pun gue protes, tetap nggak akan mengubah apa pun.

**

Di ruang guru, Bu Rani menatap gue cukup lama. Ada pertanyaan dalam matanya yang nggak dia ucapkan. Tapi gue tahu. Gue tahu dia kecewa. Atau setidaknya khawatir.

“Sakit?” tanyanya singkat.

“Iya, Bu,” jawab gue. Kalimat sederhana yang menyimpan banyak hal.

Tanpa berkata lagi, dia mengeluarkan setumpuk kertas dari laci. Lembar-lembar ulangan yang harus gue selesaikan hari ini juga. Tangan berat menerimanya. Rasanya seperti diberi tumpukan waktu yang hilang dan disuruh menebus semuanya dalam satu hari.

Gue balik ke kelas dengan setumpuk soal di tangan, duduk pelan tanpa banyak suara. Kertas demi kertas gue letakin di meja. 

**

Lalu dia datang.

Ekin.

Langkahnya biasa saja, tapi suara langkah itu langsung gue kenali. Nggak kencang. Nggak pelan. Tapi stabil. Pasti.

Dia masuk kelas sambil membawa beberapa buku. Rambutnya dikuncir seadanya, wajahnya tanpa rias, tapi ada sesuatu dari caranya berjalan yang selalu bikin ruang di sekitarnya terasa lebih tenang.

Dia menoleh sebentar, mata kita bertemu. Gue nggak yakin dia sadar, tapi detik itu cukup bikin dada gue terasa... hangat. Atau gugup. Atau mungkin dua-duanya.

Dia duduk di sebelah gue. Nggak bilang ‘hai’, nggak basa-basi. Cuma menggeser kursinya mendekat, lalu berkata:

“Nih, gue bantu. Lo mulai dari sini dulu.”

Tangannya membuka lembar soal gue, mengurutkannya satu per satu. Ada ketenangan dalam caranya bergerak. Dan gue, untuk pertama kalinya hari itu, merasa kayak punya tempat untuk bernafas.

“Lo ngerti semua ini?” tanya gue pelan.

Ekin mengangguk kecil. “Nggak semua. Tapi kayaknya cukup buat bantu lo.”

Gue ingin bilang terima kasih. Tapi kata itu rasanya terlalu sederhana.

**

Waktu berjalan. Perlahan gue mulai menulis. Menjawab. Belajar mengingat. Ekin masih di sebelah gue, sesekali menjelaskan dengan sabar. Suaranya pelan. Tapi cukup jelas. Dan cukup dekat.

Kadang gue melirik dia, dan setiap kali itu terjadi, dunia di luar terasa menjauh sedikit. Suara kelas, langkah guru, derik kipas—semuanya seperti diredupkan. Dan yang tersisa cuma kami berdua. Di meja yang sama. Dengan waktu yang terasa lebih lambat.

Tapi tentu saja itu nggak berlangsung lama.

Dari bangku depan, gue bisa lihat Bary mulai melirik ke belakang. Tatapannya tajam. Mungkin karena dia pernah deket sama Ekin. Atau karena dia gak suka gue ada di dekatnya.

Gue abaikan. Karena hari itu, buat pertama kalinya, gue gak peduli soal drama kecil yang biasa terjadi di kelas. Yang gue pedulikan cuma satu hal: ada seseorang yang duduk di samping gue, percaya gue masih bisa.

**

Menjelang siang, semua soal akhirnya selesai. Tangan gue pegal, kepala masih pening, tapi ada rasa lega yang baru pertama kali gue rasain setelah tiga hari terakhir.

Ekin berdiri pelan, merapikan bukunya.

“Udah ya. Sisanya lo bisa sendiri, kan?” katanya, sambil tersenyum.

Gue angguk. Kali ini gue bisa jawab dengan jujur: “Bisa.”

**

Hari itu, gue belajar sesuatu.

Bahwa kadang, kita gak butuh banyak hal buat kembali berdiri. Nggak perlu motivasi besar, atau kalimat inspiratif dari sosial media.

Cukup satu orang.
Satu kehadiran.
Satu senyum.
Satu kalimat sederhana: “Nih, gue bantu.”