Hari kelima ujian sekolah datang seperti mantan yang tiba-tiba ngajak balikan. Nggak diundang, penuh tekanan, dan bikin mual seharian.
Mata pelajaran terakhir: Matematika. Dan pengawasnya, siapa lagi kalau bukan Pak Gatot. Nama yang cukup disebut sekali aja, udah bisa bikin lutut murid gemetar. Konon, siapa pun yang berani nyontek di depan beliau bakal dikutuk jadi kalkulator hidup, ngitung terus, tanpa henti.
Begitu bel istirahat berdentang, kelas yang tadinya senyap mendadak riuh. Ada yang ketawa ngakak di sudut-sudut kelas. Ada yang langsung curhat susahnya soal nomor 5, dan entah kenapa, selalu ada yang kehilangan sandal. Fenomena aneh yang cuma muncul pas ujian.
Dion, makhluk unik yang kayaknya terlahir buat nyeleneh, pindah dari kursi depan ke belakang. Katanya sih mau cari suasana baru. Padahal semua orang tahu, alasan utamanya cuma satu: duduk di sebelah Eli.
Eli bukan tipe cewek yang gampang didekati. Wajahnya datar, bicaranya to the point, dan auranya... kalau dia lagi marah, rasanya kayak bisa nyedot nyawa orang di sekitarnya.
Anehnya, hari itu Eli duduk di belakang. Padahal biasanya dia paling rajin duduk di barisan depan, tempat strategis buat ngasih tatapan sinis ke guru yang dianggap kurang kompeten.
Begitu Dion duduk di sebelahnya, Eli langsung melirik tajam.
"Lo ngapain ke sini? Tempat lo di depan sana," suaranya cepat, datar, tapi cukup menusuk.
Tatapan Dion tetap santai, bibirnya menyunggingkan senyum kecil seolah dia lagi nggak ngelakuin kesalahan apa-apa. "Ujian udah kelar. Gue cuma pengen liat dunia dari sudut yang berbeda."
Eli mendengus pelan. "Sudut mana? Punggung Bayu?"
Dion nyengir, tapi Eli udah keburu nyipitkan mata. Alisnya mengerut rapat, seperti ibu-ibu yang baru denger harga minyak goreng naik.
"Eli, tolong jaga rahasia besar ini ya. Gue sebenernya agen rahasia yang nyamar jadi siswa SMA. Jangan bilang siapa-siapa. Agen Rahasia."
Tapi di balik kertas itu, ternyata ada tulisan lain.
“Perhatian! Bel sekolah bunyi dalam 5 detik! 5...4...3...2...1~”
Dan entah kenapa, timming-nya sangat tepat, bel sekolah pun akhirnya berbunyi.
TRIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIING!!
Eli spontan meloncat dari kursi. Tangannya menutup mulut, matanya membulat seperti baru melihat tikus di kolong kursi.
Satu kelas pecah ketawa. Ada yang jatoh dari kursi, ada yang sampe batuk-batuk.
Dari pojokan, Dion muncul lagi dengan ekspresi puas. "Gimana? Timing gue pas banget, kan? Udah kayak produser iklan sirup pas Ramadan."
Eli meraih pensil ungu kesayangannya, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi, siap dilempar. "Lo tuh, Dion... Ganggu, nyebelin, dan gak pernah kapok!"
Dion langsung kabur sambil ketawa ngakak. Dan di tengah kelas yang masih ramai dengan tawa, ada satu hal jelas: bahkan di hari yang penuh tekanan ujian, akan selalu ada satu orang yang berhasil jadi hiburan gratis buat semua orang.
Dalam dongeng, Cinderella biasanya digambarkan kalem, anggun, dan pemalu. Tapi Eli jauh dari semua itu. Dia humoris, galak, gampang panik, dan entah kenapa... cuma dengan melihatnya bernapas pun, rasanya cukup untuk bikin satu kelas ketawa.
Social Plugin