Langsung ke konten utama

FREAKLY GANGS



Pagi itu, kelas 12D lebih menyerupai pasar ketimbang ruang belajar. Dion, dengan gaya rambut Harajuku-nya yang mirip punya Kevin Aprilio, berdiri di tengah kelas, menuding Steve dengan gestur bak aktor teater. “Bro, ini semua salah lo!” teriaknya, matanya merah menyala—bukan karena patah hati, tapi akibat begadang nonton drama Korea sampai fajar menyingsing.

Steve, yang sedang selonjoran di kursi sambil mengelus jidatnya yang memar, langsung melotot dari balik topi SMA-nya. Di luar sekolah, ia biasa pakai topi K3, tapi aturan ketat memaksanya beralih. “Hah, gue salah apa?!” Ia menepuk meja pelan, luka perih dari ‘sentuhan’ penggaris Pak Kisame masih terasa di dahinya.

“Iya, lo! Lo yang maksa kita nonton semalem. Padahal gue udah ingetin, hari ini ada kelas Pak Kisame!” Dion melipat tangan, wajahnya penuh keyakinan. Mereka baru saja dimarahi habis-habisan karena ketahuan mengantuk parah saat Pak Kisame bersemangat menerangkan konsep momentum.

“Eh, serius? Bukannya lo yang ngajak duluan?!” Steve bangkit dari kursi, topinya miring karena emosi yang memuncak.

Dion hanya nyengir licik, rambut Harajuku-nya bergoyang saat ia menoleh ke Rico. “Ric, lo saksinya. Siapa yang mulai duluan, gue apa Steve?”

Semua mata tertuju pada Rico, cowok berambut biru yang kini jadi penentu akhir debat ini. Tapi Rico malah bengong, tatapannya kosong ke dinding. Steve panik, melompat mendekat sambil mengibaskan tangan di depan wajahnya. “Bro, lo mati berdiri apa gimana?!”

Dion ikut mendekat, mengintip dari samping. “Ric, lo kena genjetsu pak Kisame, ya?!”

Rico akhirnya berkedip, lalu menoleh dengan wajah polos. “Eh… ini kelas apa? Kalian guru baru, ya?” ucapnya datar, tangannya mengusap jidat yang memerah—bekas pukulan penggaris raksasa Pak Kisame, guru fisika bernama asli Suwanto, yang galaknya mirip tokoh anime Naruto. Untung penggarisnya cuma kayu; kalau bawa Samehada sungguhan, Rico mungkin sudah jadi abon ikan.

Dion dan Steve terpaku, mulut mereka menganga. “Bro, lo beneran lupa ingatan?!” teriak Steve, tangannya hampir mendarat di kepala Rico.

Tiba-tiba, Rico tertawa ngakak sampai terduduk di lantai, memegang perut. “Hahaha, gampang banget ngerjain kalian! Untung cuma kena penggaris, bukan dilempar meja sama Pak Kisame!” Ia bangkit, menyeka air mata dari tawanya. “Tapi sudahlah, daripada berantem, mending ke kantin. Gue laper, otak gue udah cair gara-gara rumus tadi!”

Steve mendengus, berpura-pura kesal sambil membetulkan topinya. “Lo emang penyakitan, Ric. Dari begadang sampe pura-pura amnesia, komplit!”

Dion tersenyum lebar, menepuk pundak Rico. “Tapi lo traktir ya—tebus dosa lo bikin kita deg-degan tadi!”

Rico melotot, bandananya bergeser saat ia mengangkat tangan protes. “Lah, dosa apa?! Dion yang bikin kita begadang!” Tapi ia tetap melangkah keluar kelas, diikuti Dion dan Steve yang terkikik, meninggalkan papan tulis penuh rumus dan sisa-sisa kekacauan pagi itu.

--

Kantin sekolah adalah benteng terakhir geng mereka saat jam istirahat tiba. Dikelilingi pohon-pohon rindang yang menangkal terik matahari, tempat itu tak hanya sejuk, tapi juga jadi surga bagi dompet yang mulai menipis di akhir bulan—kemampuan berutang ke penjual sudah seperti bakat alami di sini.

Begitu tiba di meja favorit mereka di sudut, Rico langsung membuka percakapan dengan semangat membara. “Eh, bro, ngomongin rencana ke Jepang akhir tahun, udah pada siapin apa aja?” tanyanya, tangannya cekatan mencuri nugget dari piring Steve.

Steve, yang baru duduk, langsung menyeringai penuh percaya diri. “Persiapan gue udah mateng abis, bro. Nabung dari jaman Firaun, saldo gue sekarang… 25 ribu! Akihabara udah tinggal selangkah lagi!” 

Plak! 

Rico tak membuang waktu, langsung menjitak kepala Steve dengan gerakan kilat. “25 ribu? Itu nugget gue, bro! Balikin!” 

Steve mengusap kepalanya sambil terkekeh. “Sabar, bro, ini investasi pertemanan!”

Dion, yang duduk di samping sambil memutar-mutar sendok, hanya bisa geleng-geleng. “Serius, kalian berdua? Jepang? Ke taman depan sekolah aja lo males jalan, apalagi ke Jepang beneran,” sindirnya sambil terkikik, matanya penuh ejekan halus.

Rico tak terima, langsung bangkit dan berpose dramatis bak idol, tangan terangkat membentuk tanda peace. “Yah, usaha dulu lah, bro! Kata JKT48, ‘Usaha Keras Takkan Mengkhianati!’ Lo kira gue cuma bercanda?”

Steve mengangguk bijaksana, sok serius. “Betul, bro! Optimisme itu kunci. Nih, gue udah ngebayangin kita foto-foto di Shibuya!”

“Yaudah, gue dukung deh,” kata Dion sambil nyengir, bersandar santai di kursi kayu yang agak goyah. “Tapi kalo beneran ke Jepang, traktir gue seblak, ya. Dari tadi ngidam banget.”

Steve tertawa. “Seblak di Jepang? Lo kira ada abang gerobak jualan di Tokyo?”

“Eh, kalo nggak ada, bikin sendiri aja deh!” balas Dion cepat, lalu bangkit dari kursi. “Gue pesen seblak dulu, ada yang mau nitip?” Tanpa menanti jawaban, ia melenggang ke konter, meninggalkan Rico dan Steve yang masih terkekeh di meja.


Saat Dion kembali dengan mangkuk seblak pedas yang mengeluarkan aroma menggoda, ia melirik Rico dan Steve yang masih asyik berdebat—kali ini soal apakah ramen lebih enak dari seblak. Dengan langkah santai, ia berniat kembali ke meja, tapi tiba-tiba—

DUGGGH!!

Dion menabrak seseorang, mangkuk seblak di tangannya oleng, dan secuil kuah pedas nyaris tumpah ke baju orang itu. “Eh, maaf, nggak sengaja!” katanya buru-buru, matanya naik perlahan—dan langsung membelalak. Di depannya berdiri Alyssa, si cantik dari 12A yang terkenal pinter dan ramah, dengan senyum kecil yang tak terduga.

“Tenang aja, nggak apa-apa. Kecelakaan kecil biasa,” jawab Alyssa kalem, menyeka setitik kuah yang nyaris mengenai lengan seragamnya.

Dion nelen ludah, jantungan. “Eh, iya… maaf banget tadi,” balasnya canggung, tangannya sibuk menstabilkan mangkuk seblak.

Alyssa memiringkan kepala, senyumnya melebar. “kamu Dion, kan? Dari 12D? Aku Alyssa. Lagi buru-buru balik ke meja?”

“Iya, iya, gue Dion,” jawabnya sambil garuk-garuk kepala, berusaha kelihatan santai meski jantungnya masih berpacu. “Temen-temen gue nunggu di pojok sana.”

Ia melangkah mundur, berniat kabur dari situasi awkward itu, tapi suara lembut Alyssa menghentikannya. “Dion, tunggu bentar!”

Dion berbalik, alisnya terangkat penuh penasaran—dan sedikit deg-degan. “Apa?”

Alyssa melangkah mendekat, matanya berbinar. “Tadi aku liat gambarmu di mading—yang tentang kota futuristik itu. Keren banget! Kamu bikin sendiri?”

Dion terpaku sejenak, otaknya seperti nge-blank. Pujian dari Alyssa, gadis yang jadi pujaan separuh sekolah, terasa seperti petir di siang bolong. Tapi alih-alih menjawab keren atau sekadar bilang terima kasih, ia malah menyengir kaku, lalu buru-buru balik ke meja sambil bergumam sendiri, “Gila, ini beneran terjadi?”

Di belakangnya, Alyssa hanya tersenyum kecil, memandang Dion yang lari dengan langkah kikuk. “Unik banget anak ini,” gumamnya, lalu melanjutkan langkahnya—tanpa tahu bahwa dari sudut kantin, sepasang mata penuh curiga mengawasi mereka berdua.

--

“Lama banget lo, ke mana aja sih?!” seru Steve, nada suaranya setengah kesal setengah cemas begitu Dion akhirnya muncul di meja kantin, wajahnya masih sedikit memerah dari pertemuan tak terduga dengan Alyssa.

“Hah, lama? Perasaan cuma bentar doang,” kilah Dion sambil nyengir, meletakkan mangkuk seblak di meja dengan hati-hati, meski matanya sesekali melirik ke arah Alyssa yang kini duduk agak jauh, mengobrol dengan teman-temannya.

Steve memicingkan mata, lalu menunjuk gelas plastik di tangannya yang kini tinggal separuh. “Terus ini minuman gue kenapa jadi cuma segini? Lo minum ya? Kalo iya, bilang dong, jangan sembunyi-sembunyi!”

“Eh, bukan gue!” Dion buru-buru mengelak, tangannya terangkat seolah menyerah. “Mungkin… angin yang nyedot!”

Rico, yang dari tadi cuma nyengir sambil bersenandung pelan, langsung menyela dengan nada penuh semangat. “Udah, bro, mendingan kita skip drama minuman. gue punya gosip panas nih! Katanya, single baru AKB48 bakal tentang psikopat—beneran nggak sih? Bayangin, idol ceria tiba-tiba nyanyi soal pembunuhan!”

Steve mengangkat bahu, sok bijaksana. “Hmm… bisa jadi, bisa enggak. Fifty-fifty lah, kayak ramalan cuaca di TV.”

Rico hampir tersedak nugget yang baru dicomotnya dari piring Dion. “Bro, jawaban lo itu ngaco! Keren di mana coba?”

Dion, tak mau kalah, ikut nimbrung dengan gaya sok analis. “Kalo dari info yang gue denger, sih, rumornya emang gitu. Tapi belum ada konfirmasi resmi. Jadi ya… taruhan aman, 50-50 juga.”

Tiba-tiba, suara lembut memotong obrolan mereka. “Hai, aku Alyssa. Boleh gabung nggak? Aku denger kalian ngomongin idol, jadi penasaran.” Alyssa berdiri di samping meja, senyumnya hangat, tapi ada kilau penasaran di matanya.

Steve langsung melotot kaget, lalu buru-buru berdiri sambil menarik kursi kosong. “Wah, boleh banget! Duduk sini, bro, eh, maksud gue, Alyssa!”

Rico, dengan gaya sok cool, menyisir rambutnya ke belakang. “Alyssa, lo tau nggak? Gue pernah jadi top global Mobile Legends. Di mimpi sih, tapi tetep keren, kan?”

Dion langsung berbisik tajam ke Rico, “Bro, jaga image, please. Jangan malu-maluin!”

Alyssa cuma terkikik, tangannya menutup mulut. “Santai aja, kalian seru banget kok!”

Obrolan mulai mengalir, penuh tawa dan candaan khas geng mereka. Tapi di tengah suasana santai itu, Rico tiba-tiba membungkuk, wajahnya meringis sambil memegang perut. “Eh, bro… perut gue mules nih,” bisiknya ke Steve.

Steve menoleh, ekspresinya langsung berubah. “Sama, bro, gue juga!” Ia ikut memegang perut, keringat dingin mulai muncul di dahinya.

Dion melongo, matanya bolak-balik antara dua temannya. “Lah, kalian kenapa? Dari tadi pegang perut mulu kayak orang takut kebelet!”

Tanpa basa-basi, Rico dan Steve kompak bangkit, lalu lari ke arah toilet dengan langkah tergopoh-gopoh, seperti pelari estafet yang buru-buru mengejar medali. “Belimbing wuluh tadi, bro!” teriak Rico sambil menghilang di tikungan.

Alyssa memandang Dion dengan alis terangkat. “Mereka kenapa sih?”

Dion cengengesan, setengah takjub. “Abis makan belimbing wuluh buat lalapan nasi goreng. Efeknya cepet banget, kayak kilat!”

Alyssa seketika tertawa, suaranya renyah mengisi udara kantin. “Hahaha, kok bisa absurd gitu ya?”

“Iya, mereka emang spesialis bikin drama,” balas Dion, ikut tertawa. “Eh, lo juga suka idol group, ya?”

Mata Alyssa berbinar, senyumnya melebar. “Banget! Aku suka sama budaya Jepang. Rencana akhir tahun mau liburan ke sana, sekalian nonton show AKB48. Udah masuk bucket list!”

“Wah, keren banget!” Dion mengangguk kagum, tapi sebelum ia bisa lanjut ngobrol, meja mereka tiba-tiba bergetar keras.

GUBRAKKK!!

“Woy, sampah! Jangan coba-coba deketin Alyssa, lo tau nggak? Dia itu cewek gue!” Zaki berdiri di depan mereka, tubuhnya yang kekar menjulang mengintimidasi, tangannya mencengkeram seragam Dion dengan kasar. Dua temannya, berwajah garang, mengapit di samping, membuat suasana kantin yang tadi riuh langsung membisu. Semua mata tertuju ke mereka, napas tertahan.

Dion tak gentar, bangkit dari kursi dan menatap Zaki tajam. “Lo bilang apa? Gue nggak ada niat apa-apa sama Alyssa. Lo yang sok ngaku-ngaku pacarnya!”

Zaki menyeringai jahat, matanya menyipit. “Oh, berani ngomong? Nih, hadiah buat lo!” Tinjunya melayang cepat, menghantam wajah Dion keras hingga ia tersungkur ke lantai, darah menetes dari hidungnya.

Dion megap-megap, tapi masih berusaha bicara, suaranya teguh meski lemah. “Gue udah bilang… jangan paksa Alyssa kalo dia nggak mau!”

“Lo minta mati ya?!” Zaki menggeram, amarahnya meledak. Ia maju lagi, bersama dua temannya, menghujani Dion dengan pukulan bertubi-tubi. Dion mencoba menangkis, tapi tenaganya kalah jauh.

Alyssa panik, melompat dari kursi dan menarik lengan Zaki. “Zaki, berhenti! Lo udah gila!” teriaknya, suaranya bergetar antara marah dan takut.

Zaki mengabaikannya, malah mendorong Alyssa hingga gadis itu terhuyung mundur. Kantin kini seperti panggung teater mencekam, para siswa hanya menonton, tak berani ikut campur—reputasi Zaki sebagai preman sekolah terlalu menakutkan.

Di tengah kekacauan itu, Rico dan Steve muncul dari arah toilet, wajah mereka pucat tapi berubah kaget saat melihat Dion dihajar. Mereka saling pandang, ragu, tapi Rico tiba-tiba melangkah maju. “Woy, bangsat! Lo apain temen gue?!” teriaknya, suaranya menggelegar.

“Kalau lo jago, lawan kami berdua, jangan keroyokan!” tantang Rico, dadanya membusung meski keringat masih menetes dari efek mules tadi.

Steve, yang jelas-jelas takut, berbisik cemas, “Bro, lo bawa-bawa gue lagi! Gue cuma mau jadi penutup scene, bukan ikut tarung!”

Rico tak peduli, matanya tiba-tiba tertumbuk pada sebotol saus cabai level maksimum di meja. Dengan gerakan cepat, ia meraihnya, membukanya, dan menenggak isinya sekaligus, seperti pahlawan dalam film aksi. “WOOAAAAHHHH! SINI, GUE LAWAN LO SEMUA!” teriaknya, mulutnya memerah, matanya berair, tapi auranya tiba-tiba jadi liar.

Steve melongo, lalu ikut berlagak meski suaranya gemetar. “Iya! Nih Rico udah mode pedes, lo siap nggak kalo dia ngamuk?!”

Zaki dan teman-temannya terdiam sejenak, wajah mereka berubah ragu. Salah satu anak buah Zaki berbisik, “Zak, ini anak gila. Mending kita cabut!”

Zaki mendengus, tapi akhirnya mundur. “Yaudah, buang-buang waktu lawan orang edan. Ayo, cabut!” Mereka pergi dengan langkah cepat, entah karena takut atau sekadar tak mau ribet.

Rico dan Steve saling pandang, napas mereka tersengal. “Bro, itu ide goblok tapi epic!” kata Steve sambil ngakak, meski tangannya masih gemetar.

Rico meringis, lidahnya kepedasan. “Dion, lo gapapa, kan?” tanyanya sambil membantu Dion berdiri.

Dion, wajahnya penuh memar, tersenyum tipis. “Nggak lebih sakit dari ditinggal Oshi grad, kok.”

Steve menggeleng, setengah kesal setengah kagum. “Kampret, udah babak belur masih bisa nge-jokes!”

Rico, yang mulai panik gara-gara saus, memohon, “Cepet bawa dia ke UKS, bro. Tapi… beliin gue air dulu, mulut gue udah kepedesan!”

Steve menghela napas panjang. “Lo emang nggak beres, Ric.”

--

Langit pagi itu kelabu, seperti menyimpan rahasia yang tak terucap. Dion berdiri di samping motor matic kuningnya, mengusap jok yang basah oleh embun, sambil bergumam, “Kalau bukan ulangan fisika Pak Kisame, mending gue tidur aja di rumah.” Tapi ia tahu, hari ini bukan hari untuk menyerah pada rasa malas. Dengan semangat setengah hati, ia menyalakan mesin motornya dan berteriak, “Mama, aku berangkat!” sebelum melaju menembus udara dingin.

Di perjalanan, lampu merah memaksanya berhenti. Matanya menyapu sekitar, tak ada yang istimewa—sampai pandangannya tertumbuk pada Alyssa di halte bus seberang jalan. Gadis itu berdiri sendirian, sesekali melirik langit yang mengancam hujan. Wajahnya penuh kekhawatiran, mungkin karena bus tak kunjung datang. Dion ragu sejenak, tapi melihat ekspresi Alyssa membuatnya melambaikan tangan dan berteriak, “Hi, Alyssa!”

Alyssa menoleh, sedikit terkejut, lalu tersenyum tipis saat mengenalinya. “Eh, Dion?”

Tanpa pikir panjang, Dion menawarkan tumpangan. “Butuh bantuan? Kayaknya hujan bakal turun lagi. Naik aja sama gue, daripada telat.” Ia menepuk jok motornya dengan santai.

Alyssa mengerutkan kening, ragu. “Serius?”

“Iya, bawa helm cadangan kok. Yuk, naik!” jawab Dion sambil menyodorkan helm.

Setelah menimbang sejenak, Alyssa mengangguk. Ia naik ke motor, dan mereka melaju bersama, membelah jalanan basah sisa hujan semalam. Angin dingin menerpa, tapi ada kehangatan aneh yang muncul di antara mereka. Di tengah perjalanan, Alyssa berkata pelan, “Dion, soal kemarin… aku minta maaf. Kayaknya gara-gara aku kamu jadi kena masalah sama Zaki.”

Dion tersenyum kecil, mencoba meredakan kekhawatiran Alyssa. “Ah, nggak usah dipikirin. Gue baik-baik aja, kok. Nih, pegangan yang kenceng, ya? Kita udah hampir telat!”

Alyssa mengangguk, memeluk punggung Dion lebih erat saat motor dipacu lebih kencang. Di balik terpaan angin, detak jantung Alyssa mulai tak beraturan—bukan hanya karena kecepatan, tapi karena sesuatu yang lain.

---

Setelah sampai, hujan baru saja reda, meninggalkan udara dingin yang menusuk. Tiba-tiba, bel sekolah berbunyi, dentangannya menggema di selasar—bagi sebagian siswa yang sedang dimabuk asmara, bunyi itu terasa seperti *love song*, lembut namun penuh harapan, seolah memanggil mereka untuk mengejar perasaan yang tak terucap. Dion dan Alyssa, yang baru saja turun dari motor, saling bertatap sejenak sebelum tersenyum canggung. Mereka beda kelas, jadi saatnya berpisah.

“Dion, makasih ya buat tumpangannya,” kata Alyssa, senyumnya masih mengembang, hangat seperti sinar matahari yang mulai menyelinap di balik awan kelabu. “Nggak kebayang deh kalau aku harus nunggu hujan reda di halte sendirian. Pasti telat banget!”

“Sama-sama, Alyssa. Senang bisa bantu,” balas Dion, membalas senyumnya dengan sedikit kikuk, tangannya sibuk memasukkan helm ke jok motor. Ia melirik sekilas ke arah Alyssa, lalu buru-buru memalingkan muka sebelum pipinya memerah. “Eh, cepetan masuk kelas, ya. Bel udah bunyi. 

Alyssa terkikik mendengar celetukan Dion, matanya berbinar. “Iya, nih, kayak lagu JKT48 banget—bikin hati deg-degan!” Ia melambai kecil, lalu berbalik menuju kelasnya, langkahnya ringan seolah masih terbawa irama bel tadi.

Dion menghela napas, tersenyum sendiri sambil berjalan ke arah kelas 12D. Tapi di sudut halaman sekolah, sepasang mata penuh bara mengintai. Zaki berdiri di sana, tangannya mengepal erat, wajahnya memerah melihat senyum Alyssa yang tadi ditujukan untuk Dion. Keakraban mereka—walau cuma sekilas—terasa seperti pisau yang menusuk egonya. “Dasar si keparat itu, main-main sama gue!” gumamnya dengan geram, suaranya hampir tenggelam oleh sisa-sisa bunyi bel yang masih bergema.

Ia menendang kerikil kecil di depannya, lalu berbalik dengan langkah berat menuju kelasnya. Pikirannya penuh dengan rasa kecewa dan amarah yang membara. 

--


Di Minggu siang yang teduh, sinar matahari menyelinap melalui celah-celah jendela kamar Dion. Tiba-tiba, tiga ketukan pintu menggema—tak terlalu keras, tapi cukup bikin Dion menoleh dari tabletnya. Rico masuk dengan langkah santai, bandana di rambut birunya sedikit miring. Di belakangnya, Steve menyelinap. Mata mereka langsung tertuju pada Dion, yang duduk santai di meja, asyik mencoret-coret digital di tabletnya, seolah luka-luka di wajah dan lengannya—saksi bisu dari hari berat kemarin—cuma hiasan biasa.

“Hei, apa kabar, jagoan?” tanya Rico, nada suaranya bercampur canda dan penasaran.

Dion nyengir tipis, suaranya santai seperti tak ada beban. “gue baik-baik aja, kok.”

Rico melangkah mendekat, ekspresinya berubah setengah serius sambil memicingkan mata. “Lo beneran mau pura-pura nggak ada apa-apa? Muka lo itu, bro, babak belur! Udah kayak… Lucinta Luna versi low budget!” Ia meledak tertawa, tangannya menepuk meja hingga tablet Dion bergoyang.

Dion ikut tersenyum kecil, tapi Steve, yang selama ini cuma berdiri dengan tangan di saku, akhirnya buka suara, nada bicaranya penuh semangat. “Gue nggak terima kalo ini dibiarkan gitu aja! Kelakuan Zaki dan gengnya udah keterlaluan. Kita harus kasih pelajaran—ini bukan cuma soal lo, D, tapi harga diri geng Wota Fictive!” Ia mengepalkan tangan, topinya bergoyang seolah ikut mendukung kata-katanya.

Dion mengusap dada, mencoba meredam suasana yang mulai memanas. “Stev, lupain aja. Ribet ntar, buang energi.”

Rico mendecak, melirik Steve dengan senyum sinis. “Eh, si Steve ini waktu kejadian malah cuma bengong doang! Sekarang sok jadi panglima perang, ngajak balas dendam!”

Steve buru-buru angkat tangan, wajahnya memerah membela diri. “Lah, gue nggak diem, bro! Gue lagi nyari sinyal buat pesen ojek—rencananya kabur cepet! Masa lo kira gue takut?” Suaranya naik, tapi matanya berkedip cepat, ketahuan bohong.

Mereka bertiga tertawa, sampai Rico tiba-tiba berubah serius lagi, menatap Dion tajam. “D, serius nih, mulai sekarang lo mending jauhin Alyssa. Kalo nggak, nanti drama Zaki kayak sinetron cinta fitri, berjilid-jilid!”

Dion mengusap kepala, setengah kesal. “Lah, gue nggak pernah ngedeketin dia, keles! Dia yang tiba-tiba nongol. Lo masih ingat kan waktu di kantin?”

Rico mengangguk pelan, tapi tetap tegas. “Iya, gue tau, tapi tetep aja nggak enak kalo situasinya gini terus.”

Tiba-tiba, Steve nyeletuk dengan nada santai, pura-pura bijak. “Lagian, siapa sih yang bisa nolak deketin cewek secantik Alyssa?"

Rico mendelik, suaranya naik setengah oktaf. “Steve, lo mau leher lo jadi bendera di tiang sekolah sama Zaki?!”

Steve langsung loncat ke belakang Dion, nyengir sambil bersembunyi. “Santai, bro, gue cuma kasih analisis objektif dari sudut pandang ilmiah!”

Dion, yang mulai pusing dengan drama dua temennya, menghela napas dan memotong obrolan. “Eh, mending kita fokus ke rencana ke Jepang aja, deh. Akhir tahun tinggal beberapa minggu lagi. Lo pada udah siapin apa buat mimpi kita?”

Rico cengengesan, menggaruk bandananya. “Gue sih udah mulai nabung… tapi ya gitu, kadang kepake buat kopi. Hidup tanpa kafein susah, bro!”

Steve malah nyengir bangga, dadanya membusung. “Gue udah sukses ngumpulin 40 ribu! Tapi… kemarin abis buat beli rendang.”

“Ya Tuhan, Steve! Rendang lagi? Rendang apa yang bikin lo sampe khianatin mimpi ke Jepang?!” Rico menatapnya dengan tatapan penuh kekecewaan, tangannya terangkat ingin memukul.

Steve mendengus, matanya berbinar membela diri. “Eh, lo nggak ngerti seni kuliner! Ini bukan rendang biasa—ini rendang spesial, bikin lidah gue bergoyang!”

Dion menggeleng sambil tertawa, mencoba meredakan situasi. “Tenang, bro, rendang emang enak, tapi kita harus fokus ke Jepang. Nabung beneran mulai sekarang, ya?”

Rico masih kesal, tapi akhirnya ikut nyengir. “Iya deh, tapi Steve, kalo uang lo abis buat rendang lagi, gue sita topi lo!”

“Oke, oke, gue janji nggak beli rendang lagi sampe kita ke Jepang!” Steve tertawa lepas, lalu menambahkan dengan nada bercanda, “Tapi kalo ada rezeki, siapa tau kita bisa makan rendang di Tokyo—bayangin, ramen campur rendang!”

Mereka melanjutkan diskusi dengan rencana-rencana kocak ala geng Wota Fictive—dari jualan stiker idol sampe jadi penutup acara sekolah. Meski penuh hambatan, dari rendang sampai ancaman Zaki, semangat mereka untuk ke Jepang tetap menyala, bikin siang itu jadi lebih berwarna.