"Bro, semua ini salah lo!" seru anak dengan rambut ala Harajuku, sambil menunjuk Steve. Matanya masih merah, bukan karena nangis, tapi efek begadang nonton konser AKB48 bareng temannya lewat live streaming.
"Loh, kok gue yang disalahin?" protes Steve sambil mengusap jidatnya yang benjol, akibat kena hadiah penggaris dari Pak Kisame, guru fisika mereka yang legendaris galaknya.
"Iya, kan lo yang ngajak streaming AKB semalam. Alhasil, kita ketahuan ketiduran di kelas dan dihukum!" Dion menimpali sambil melipat tangan, merasa paling benar. Mereka bertiga tadi emang kena teguran habis-habisan gara-gara ngantuk berat di kelas, terutama saat Pak Kisame lagi semangat nerangin konsep momentum dan energi.
"What the hell? Bukannya lo yang pertama kali ngajak nonton?!" Steve mulai naik nada, berusaha membela diri. Dia ingat jelas, justru Dion yang awalnya ngide.
Mereka berdua serempak menoleh ke Rico, berharap si saksi kunci ini bakal mendukung argumen masing-masing. Tapi yang mereka lihat justru bikin cengo.
Dion tertawa sinis sambil memandang Steve, "Haha, jangan ngeles. Kan ada Rico buat saksi," ujarnya, menepuk pundak Steve.
"Benar kan, Ric?... Ric?... Eh, woy!"
Dion mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Rico yang malah terlihat melongo.
"Hei, kesambet apa lo?"
"Maaf, kalian siapa ya?" jawab Rico sambil pasang wajah bingung total.
Rico emang terlihat agak linglung, mungkin karena baru aja dihajar penggaris besar Pak Kisame—guru yang sering dijuluki Hoshigaki Kisame versi sekolah, berkat kemiripannya dengan tokoh Naruto yang membawa pedang besar Samehada. Untung Rico cuma kena penggaris, bukan pedang beneran.
"Hufft, untung gue nggak jadi amnesia beneran," Rico menghela napas panjang setelah ngeh lagi. "Tapi, udahlah, daripada debat nggak penting, mending ke kantin aja. Gue laper!"
Kantin emang jadi tempat pelarian favorit geng mereka tiap jam istirahat. Selain adem berkat pepohonan rindang, di sana juga gampang utang. Cocok banget buat mereka yang dompetnya nyaris kosong di akhir bulan.
Sesampainya di meja kantin, obrolan kocak langsung bergulir.
"Eh, ngomong-ngomong soal rencana ke Jepang akhir tahun nanti, udah siapin apa aja, guys?" tanya Rico sambil nyolek nugget di piring Steve.
Steve nyengir bangga. "Persiapan gue udah full, bro. Nabung dari zaman batu, saldo gue udah nyampe… 25 ribu! Keren, kan?"
Plak!
"Muka tempe, itu nugget gue!" Rico langsung ngejitak kepala Steve.
Dion cuma bisa geleng-geleng kepala lihat dua temannya yang selalu berkhayal. "Serius? Kalian pada pengen Jepang? Ke taman depan sekolah aja jarang," katanya skeptis.
"Yaelah, Dion, yang penting kan usaha dulu. Kata lirik JKT48, 'Usaha Keras Takkan Mengkhianati'!" protes Rico sambil gaya angkat tangan ala idol.
Steve manggut-manggut. "Nah, tuh! Sekali-sekali optimis, bro!"
"Yaudah deh. Gue percaya sama kalian. Tapi janji, kalau jadi ke Jepang, traktir gue seblak ya!" Dion ketawa kecil sambil nyender ke kursi.
Steve ngakak, "Bro, seblak di Jepang apaan?! Di sana cuma ada ramen!"
"Maaf maaf, kepepet ngidam seblak sejak di kelas", sahut Dion. "Oke, gue pesen seblak dulu, ada yang mau titip?" Dion pun bangkit dan menuju kantin.
Setelah selesai membeli makanan, Dion melihat dari jauh Rico dan Steve masih asyik ngerumpi di pojok kantin, ngomongin hal-hal absurd yang entah penting atau nggak. Dengan langkah santai, Dion berniat balik ke meja. Tapi di tengah jalan, dia malah nggak sengaja nabrak seseorang, sampai minuman Steve tumpah.
DUGGGH!!
"Eh, maaf nggak sengaja," kata Dion canggung sambil melirik orang yang ditabraknya.
"Ah, santai aja, namanya juga kecelakaan," jawab si cewek berambut panjang sambil tersenyum. Dion baru sadar, cewek itu Alyssa, gadis populer di sekolah yang terkenal cantik dan pintar.
"Oh, iya... sorry banget tadi," ujar Dion, sedikit gugup.
Alyssa tersenyum ramah. "Nama kamu Dion, kan? Dari kelas 12D? Aku Alyssa, dari 12A. Mau ke mana?"
"Iya, gue Dion. Mau balik ke meja kantin, temen-temen gue nungguin." Dion merasa makin gugup dan akhirnya buru-buru bilang, "Eh, gue duluan ya, Alyssa."
Saat Dion melangkah, Alyssa langsung memanggilnya. "Dion, tunggu dulu! Aku mau bilang, tadi liat gambar buatan kamu di mading, keren banget!"
Belum sempat Alyssa selesai ngomong, Dion malah udah kabur sambil ngibrit balik ke meja. Alyssa hanya bisa tersenyum kecil ngelihat kelakuan Dion yang kikuk banget, tapi dia tampak senang dengan momen itu.
---
"Lama banget lo, kemana dulu sih?" sambut Steve dengan wajah kesal begitu Dion kembali.
"Hah, lama? Perasaan cuma beberapa menit, kok," Dion mencoba ngeles.
Steve melirik gelas minumannya yang tinggal setengah. "Dan kenapa minumannya tinggal segini? Kalo mau minta, kira-kira dong."
Daripada ribut soal minuman yang terus dibahas, Rico langsung mengalihkan topik. "Udahlah, gue ada pertanyaan penting banget nih! Denger-denger single baru AKB48 bakal ngambil cerita tentang psikopat, beneran?"
Steve mengangkat bahu. "Menurut gue, bisa jadi iya atau enggak."
Rico ngakak sambil geleng-geleng. "Jawaban lo ngaco abis, bodoh."
Dion coba kasih penjelasan, "Dari info-info yang gue baca, sih, kemungkinan iya. Tapi kita nggak bisa bilang pasti juga. Persentasenya mungkin 50-50 lah."
Tiba-tiba, seseorang muncul di samping mereka. "Hai, aku Alyssa. Boleh gabung, nggak? Kalian kelihatan seru banget, nih, ngomongin idol," sapanya dengan senyum manis.
Steve langsung sumringah. "Boleh banget! Yuk, join!"
Rico, sambil pasang gaya sok cool, langsung nimbrung, "Alyssa, tau nggak? Gue pernah jadi top global Mobile Legends... di mimpi sih, tapi tetep keren, kan?"
Dion langsung berbisik ke dua temannya, "Bro, jaga sikap, please, jangan norak, oke?"
Alyssa hanya tertawa kecil, tampak tak terganggu. "Lho, kenapa? Santai aja kali, hihi."
Obrolan pun berlanjut, seru dan santai. Namun di tengah-tengah percakapan, Rico tiba-tiba membisik ke Steve, "Eh, bro, perut gue mules nih..."
Steve ikut meringis. "Sama, gue juga."
Dion memperhatikan dua temannya yang selalu saja kompak, bahkan untuk urusan sakit perut. "Lah, kalian kenapa sih? Pegang-pegang perut terus."
Tanpa banyak kata, Rico dan Steve buru-buru pamit menuju toilet, langkah mereka terburu-buru.
Alyssa menatap Dion penasaran. "Ada apa, ya, sama teman-temanmu itu?"
Dion ngakak kecil. "Ah, mungkin gara-gara belimbing wuluh tadi."
Alyssa masih bertanya dengan heran. "Belimbing wuluh?"
Dion mengangguk sambil nyengir. "Iya, mereka tuh aneh, sampai-sampai belimbing wuluh dihabisin buat lalapan nasi goreng! Kayaknya perut mereka nggak sanggup."
Alyssa tertawa mendengarnya, "Hahaha, kok lucu ya."
"Hmm.. ngomong-ngomong, kamu juga suka sama idol group ya?" tanya Dion, mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Iya, aku suka banget sama budaya Jepang, apalagi musiknya. Kebetulan akhir tahun nanti aku mau liburan ke sana, dan menonton show AKB48 juga masuk dalam listku," ujar Alyssa antusias.
"Wah, keren banget rencanamu," puji Dion.
Saat Dion dan Alyssa sedang asyik mengobrol, tiba-tiba meja mereka digebrak keras.
GUBRAKKKK!!
"Woy, sampah! Jangan coba-coba deketin Alyssa, tau gak? Dia itu cewek gue!" bentak Zaki, si preman sekolah yang bertubuh kekar, sambil mencengkeram seragam Dion. Dua teman Zaki berdiri di sampingnya dengan ekspresi garang, membuat suasana kantin yang tadinya ramai mendadak senyap. Semua mata tertuju pada mereka.
Dion, yang merasa terhina dengan sikap kasar Zaki, berdiri dari kursinya dan menatap balik tanpa gentar. "Lo ngomong apa sih? Gue nggak ada niat apa-apa sama Alyssa. Justru lo aja yang sok-sokan ngaku jadi pacarnya!"
Zaki langsung tersenyum sinis. "Barusan, lo tadi ngomong sama gue? Nih, gue kasih hadiah buat lo!"
DUGGGH!!!
Zaki meninju wajah Dion dengan keras hingga Dion jatuh tersungkur ke lantai. Dengan napas tersengal, Dion memegang hidungnya yang mulai berdarah, namun dia masih bisa berkata dengan suara tegar, "Gue udah bilang, jangan paksa Alyssa kalo dia nggak mau..."
Zaki menyipitkan mata, marah besar. "Wah, minta mampus nih anak!"
Dengan amarah yang meluap, Zaki mendekati Dion dan kembali memukulnya tanpa ampun, dibantu oleh dua temannya. Mereka menghujani Dion dengan pukulan bertubi-tubi, seakan ingin meluapkan semua kemarahan mereka. Dion berusaha menangkis, tapi tenaganya tak sebanding dengan kekuatan Zaki dan teman-temannya.
Alyssa, yang panik, mencoba melerai, menarik lengan Zaki sambil memohon, "Zaki, berhenti! Jangan lakukan ini! Kamu udah keterlaluan!"
Namun, Zaki mengabaikannya dan malah mendorong Alyssa mundur. Sementara itu, suasana kantin yang ramai terasa semakin tegang. Semua murid hanya bisa menonton, takut untuk ikut campur karena reputasi Zaki yang dikenal kejam.
Di tengah-tengah situasi yang mencekam, Rico dan Steve yang baru kembali dari toilet melihat kejadian itu. Mereka saling pandang, ragu, namun akhirnya memutuskan untuk maju, meskipun mereka tahu risiko yang akan dihadapi.
"Woy! Bangsat! Lo apain temen gue?!" tiba-tiba muncul Rico dan Steve, dengan wajah sok berani.
"Kalau punya nyali, jangan keroyokan! Ayo, sini, lawan kami!" Rico mencoba berlagak heroik.
Steve, yang sebenarnya takut setengah mati, berbisik cemas ke Rico, "Bro, bawa-bawa nama gue lagi! Gue kan sebenernya cuma mau jadi supporter, bukan ikutan ribut..."
Namun Rico malah menyahut dengan lantang, "Lah, kenapa? Gue siap kok lawan mereka bertiga!"
Seketika, mata Rico tertuju pada sesuatu di meja kantin — sebotol saus cabai level maksimum! Dia mendadak mendapat ide gila. Dengan wajah penuh tekad, Rico mengambil botol saus itu, lalu meminumnya langsung, layaknya minuman energi.
"WOOAAAAHHHH... SINI, MAJU! GUE GA TAKUT SAMA LO SEMUA!" teriak Rico dengan suara menggelegar sambil menunjukkan mulutnya yang sudah penuh dengan saus cabai.
Melihat aksi nekat Rico, Steve, yang masih bingung antara takut dan kagum, ikutan berlagak, "Iya! Nih Rico udah panas, lo siap nggak kalo dia ngamuk?!"
Zaki dan dua temannya mulai terlihat ragu. Salah satu dari mereka berbisik, "Zak, ini anak udah ga waras. Mending cabut, deh…"
Akhirnya, Zaki dan teman-temannya perlahan mundur. "Yaudah, nggak penting juga ngeladenin mereka. Cabut, yuk."
Di sini, ada dua kemungkinan mengapa Zaki dan teman-temannya pergi: pertama, karena takut dengan Rico; dan kedua, karena tidak mau meladeni orang gila seperti Rico.
Dengan tampang bingung campur lega, Steve dan Rico saling pandang. Begitu Zaki benar-benar pergi, mereka langsung duduk sambil napas ngos-ngosan.
"Bro… itu bener-bener ide goblok yang jenius," kata Steve sambil ngakak, sedangkan Rico hanya bisa meringis sambil merasakan efek saus cabai di mulutnya.
"Dion, lo gapapa, kan?" tanya Steve, khawatir sambil membantu Dion berdiri.
Dion, dengan suara pelan dan lemah, masih sempat melucu, "Nggak lebih buruk dari ditinggal Oshi grad, kok."
Steve hanya bisa menggeleng, setengah kesal dan takjub. "Duh, kampret emang, udah kayak gini masih aja bisa nge-jokes," gumamnya.
Rico, yang masih kepedasan akibat saus cabai, langsung nyelutuk, "Udahlah, ayo cepat bawa dia ke UKS. Tapi sebelum itu, beliin gue minum dulu, ya? Mulut gue udah kayak kebakar."
Steve menghela napas sambil melirik Rico, "Prioritas lo emang aneh, Ric."
~~~~
Di Minggu siang yang teduh, suara ketukan pintu menggema tiga kali dari luar kamar Dion.
"Hei, apa kabar jagoan?" seru Rico, masuk ke kamar dengan langkah percaya diri, diikuti Steve yang ekspresinya tampak khawatir. Pandangan mereka segera tertuju pada Dion yang masih tenggelam dalam coretan digitalnya, seolah tidak terganggu. Plester-plester di wajah dan lengannya jadi saksi bahwa kemarin ia melewati hari yang tak mudah.
Dion menjawab dengan nada santai, "Biasa aja, gue baik-baik aja, kok."
Rico mendekat dengan ekspresi setengah serius. "Lo beneran mau bersikap seolah semua baik-baik aja? Muka lo itu, bro, babak belur! Mirip... Lucinta Luna versi low budget!" canda Rico, berusaha mencairkan suasana dengan tawa.
Dion tersenyum kecil, sementara Steve ikut bersuara, "Gue nggak terima kalau ini dibiarkan begitu aja. Kelakuan Zaki dan gengnya bener-bener di luar batas, kita harus kasih pelajaran buat mereka. Ini bukan cuma soal lo, D, tapi soal harga diri kita juga. Ini geng Wota Fictive!"
Dion menghela napas, "Stev, udahlah, lupain aja masalah ini. Nanti malah ribet kalau makin diperpanjang."
Rico mendecak kesal sambil melirik ke Steve, "Nah tuh, si Steve waktu kejadian malah cuma diem doang. Sekarang sok ngajak-ngajak balas dendam segala!"
Steve membela diri, "Lah, gue bukan ngumpet, bro. Gue lagi nyari sinyal buat pesen ojek biar bisa cabut cepet! Lo kira gue takut?"
Mereka tertawa sebentar, hingga Rico tiba-tiba menyambung, "D, gue rasa lo mulai sekarang mending nggak usah deket-deket Alyssa lagi. Kalau nggak, bakal kejadian terus kayak gini."
Dion menghela napas panjang, "Gue nggak pernah sekalipun ngedeketin dia, bro. Dia yang tiba-tiba muncul di sekitar kita, kalian juga tahu itu."
Rico mengangguk sambil mengusap dagunya, "Iya, bener juga sih, tapi tetap aja nggak enak kalau kejadian kayak gini dibiarkan."
Tiba-tiba Steve nyeletuk, "Lagian, siapa yang mau ngindarin cewek secantik Alyssa?" kata Steve dengan santai, sok paham situasi.
Rico mendelik, "Steve, lo mau leher lo dikibarin di tiang bendera sama Zaki?"
Steve langsung ngacir ke belakang Dion sambil nyengir, "Santai, Bro, gue cuma ngasih pandangan objektif aja!"
Dion, yang udah mulai pusing sama drama mereka, berusaha ngarahin obrolan, "Eh, gimana kalo kita fokus ke rencana buat ke Jepang aja, deh? Akhir tahun tinggal beberapa minggu lagi. Apa aja yang udah kalian lakuin buat mimpi kita itu?"
Rico cengengesan, "Gue sih udah mulai nabung... walaupun baru sedikit. Itu pun kadang kepotong buat beli kopi."
Steve malah nyengir lebar, bangga banget. "Usaha terakhir gue udah sukses, gue berhasil ngumpulin 25 ribu! Tapi... kemarin kepake buat beli rendang."
"Yaampun, Steve! Rendang lagi? Rendang apa yang bisa bikin lo tergoda sampe abisin uang buat Jepang?" kata Rico dengan kesal.
Steve mendengus. "Ah, lu ini bener-bener gak ngerti seni kuliner! Ini bukan sekadar rendang, ini rendang super spesial! Rendangnya bener-bener bikin lidah bergoyang!"
Dion mencoba meredakan suasana. "Tenang, tenang. Rendang memang enak, tapi kita harus fokus ke rencana ke Jepang kita, guys."
Rico masih terlihat agak kesal, tapi dia akhirnya tersenyum juga. "Iya sih, tapi jangan sampai nanti uangnya lagi habis buat rendang lagi, ya, Steve,"
"Oke, oke, aku janji nggak akan membeli rendang lagi sampai kita berhasil pergi ke Jepang," kata Steve sambil tertawa. "Tapi kalau ada rezeki, siapa tahu bisa makan rendang di Jepang, kan?"
Mereka lalu melanjutkan diskusi mereka tentang rencana mendapatkan uang tambahan untuk pergi ke Jepang, dengan gebrakan-gebrakan kocak ala mereka. Setidaknya, meskipun ada hambatan, semangat mereka untuk mewujudkan mimpi tetap tinggi.
~~~~
Pagi itu, langit berbalut kelabu, menyimpan tanya dalam bisikan angin: apakah hujan akan jatuh di bumi hari ini? Namun, hujan atau tidak, awan kelabu atau cerah, hari tetaplah hari—ia kan berjalan, tak peduli siapa yang mengharap ataupun bertanya. Di bawah naungan langit yang sendu, waktu tetap melaju, takkan berhenti hanya karena ragu.
Dion berdiri di samping motor matic kesayangannya, perlahan mengusap joknya yang basah sisa embun, seraya bergumam, “Kalau bukan karena ulangan, mungkin gue lebih memilih tinggal di rumah hari ini.”
Tetapi seiring tetes-tetes embun yang mulai mengering, Dion tak membiarkan semangatnya pudar. Hujan bisa saja datang, tapi ia takkan menghentikan langkahnya untuk menjemput hari.
“Mama, aku berangkat!” serunya lantang, sambil menyalakan motor kuning yang menjadi teman setianya. Mesin menderu lembut, bersiap mengantar Dion menembus kelabu, menuju sekolah yang mungkin sepi di pagi itu—di mana langkahnya adalah sebuah harapan baru di antara deru hujan yang entah akan datang atau hanya sekadar singgah.
Dalam perjalanan menuju sekolah, Dion terpaksa berhenti di sebuah lampu merah yang menyala tepat di hadapannya. Ia menahan laju motornya sambil menatap sekitar, tak ada yang menarik sampai pandangannya tertumbuk pada seseorang di halte bus di seberang jalan. Di sana, berdiri Alyssa, dia tampak sendirian, sesekali melirik langit yang tampaknya masih mengancam hujan deras. Wajahnya menunjukkan ekspresi khawatir dan sedikit tak sabar, mungkin cemas karena terlambat.
Dion mengerutkan kening sejenak, berpikir apakah akan menyapanya atau tidak. Tapi melihat Alyssa yang tampak sendirian membuatnya memutuskan untuk melambaikan tangan dan berteriak dari tepi jalan, “Hi, Alyssa!”
Alyssa menoleh dan tampak terkejut. Dia seperti baru sadar bahwa ada seseorang yang memanggilnya dari arah jalan raya. “Eh, Dion?” jawabnya agak bingung, namun segera tersenyum saat mengenali sosok Dion.
Melihat Alyssa yang masih terlihat cemas, Dion memutar otaknya sejenak. Ia tahu hujan hari ini bisa membuat banyak siswa terlambat sampai sekolah. Tanpa ragu, ia menawarkan diri, “Butuh tumpangan? Kayaknya hujan nggak bakal berhenti dalam waktu dekat. Mendingan bareng gue aja daripada nanti telat.”
Alyssa mengerutkan kening, menatap Dion dengan sedikit ragu, “Serius nih?”
Dion tertawa kecil, menyadari kebingungannya, “Iya, serius kok. Kebetulan gue bawa dua helm. Yuk, biar gue anterin aja.”
Alyssa akhirnya tersenyum dan melangkah mendekat ke arah Dion, meskipun masih tampak agak canggung. Setelah ragu beberapa detik, ia akhirnya mengangguk, “Oke deh, kalau lo nggak keberatan.”
Dion menepuk jok motornya dengan santai, “Nggak masalah. Naik aja, yuk.”
Alyssa pun naik ke motor Dion setelah mengenakan helm cadangan yang Dion berikan. Mereka segera melaju, membelah sisa-sisa hujan yang masih menyisakan udara dingin dan jalanan basah. Di atas motor, Alyssa sesekali melirik ke arah Dion, tampak sedikit gugup namun tersenyum lega. Perjalanan menuju sekolah yang tadinya tampak akan melelahkan kini terasa lebih menyenangkan.
Di tengah perjalanan, Dion melirik Alyssa sekilas melalui spion motornya. Dengan nada ringan, ia berkata, "Nggak seperti biasanya lihat kamu nongkrong di halte."
Alyssa tertawa kecil, "Haha iya nih. Hari ini lagi kepikiran aja buat naik angkutan umum. Eh, tiba-tiba malah hujan, jadi terpaksa deh berteduh di halte."
Dion mengangguk sambil tetap fokus ke jalan. Namun, setelah beberapa saat hening, Alyssa menghela napas dan berkata dengan nada pelan, "Dion... soal kemarin, aku mau minta maaf. Kayaknya semua ini gara-gara aku, sampai kamu dipukuli Zaki."
Dion tersenyum kecil, mencoba menenangkan Alyssa, "Oh, soal itu? Ah, nggak perlu dipikirin. Buktinya, gue masih utuh kok, fine-fine aja." Dion melirik jam tangannya, lalu melanjutkan, "Kayaknya kita udah hampir telat. Pegangan yang erat, ya? Gue bakal ngebut!"
Alyssa mengangguk, sedikit gugup tapi menurut. Begitu Dion mulai memacu motornya dengan kecepatan tinggi, Alyssa secara refleks memeluk erat punggung Dion. Awalnya hanya sekadar menjaga keseimbangan, namun perlahan, Alyssa merasakan sesuatu yang berbeda. Ada rasa hangat yang menjalar, meski udara dingin dan sisa-sisa hujan masih menyelimuti mereka.
Di balik terpaan angin dan derasnya percikan air di jalan, Alyssa mulai merasakan getaran aneh di hatinya. Semakin lama, ia menyadari bahwa perasaan itu bukan sekadar rasa terima kasih atas tumpangan ini. Ada sesuatu yang lain, sesuatu yang mulai membuat hatinya berdebar setiap kali memandang Dion.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup cepat, akhirnya Dion dan Alyssa tiba di gerbang sekolah. Hujan mulai reda, dan mereka berdua turun dari motor sambil mengatur napas. Tanpa mereka sadari, Zaki memperhatikan mereka dari kejauhan. Ia berdiri di sudut sekolah, tak percaya melihat kedekatan Alyssa dengan Dion. Hatinya terasa panas, mengingat ia sudah sempat mampir ke rumah Alyssa pagi ini untuk menjemputnya, namun malah ditinggalkan begitu saja tanpa penjelasan.
Begitu bel sekolah berbunyi, yang seakan seperti love song bagi sebagian siswa yang sedang dimabuk asmara, Dion dan Alyssa saling berpamitan. Mereka memang beda kelas, jadi mereka harus berpisah.
"Dion, makasih ya buat tumpangannya. Nggak kebayang deh kalau aku harus nunggu hujan berhenti di halte sendirian," kata Alyssa dengan senyum yang masih mengembang.
"Sama-sama, Alyssa. Senang bisa bantu," jawab Dion, membalas senyum Alyssa sebelum berbalik menuju kelasnya.
Dari kejauhan, Zaki menyaksikan semua itu. Melihat senyum Alyssa dan keakraban mereka membuat hatinya mendidih. Dengan ekspresi yang semakin gelap, ia mengepalkan tangannya. "Dasar si keparat itu, main-main sama gue!” gumamnya dengan geram. Dia berbalik dengan langkah berat, masuk ke kelas dengan pikiran yang penuh rasa kecewa dan amarah yang terus membara.