Pagi itu, kelas 12D lebih mirip pasar malam daripada ruang belajar. Suara ribut bersahut-sahutan, kursi geser sana-sini, dan udara penuh aroma chaos: gabungan parfum murahan, spidol whiteboard, dan semangat anak-anak yang belum move on dari weekend.
Di tengah keributan itu, Dion berdiri dengan gaya teatrikal. Rambut Harajuku-nya ikut bergoyang, mirip rambut Kevin Aprilio jaman emo. Matanya sembab, bukan karena patah hati, tapi gegara begadang nonton drakor sampai fajar menyingsing.
Steve, yang lagi selonjoran di bangku, langsung noleh. Dari balik topi SMA, yang dia pakai dengan berat hati karena topi K3 kesayangannya dilarang sekolah, dia melotot ke arah Dion. Tangannya refleks ngelus jidat yang masih nyut-nyutan, bekas ‘hadiah’ penggaris dari Pak Kisame.
Dion nyolot. “Lo yang maksa nonton! Padahal gue udah bilang, hari ini jadwalnya Pak Kisame!” Dia nyilangin tangan, ekspresi pede banget, kayak pengacara yang baru dapet bukti baru di ruang sidang.
Steve pun berdiri, topi-nya miring saking keselnya. “Woy, yang ngajak begadang tuh lo duluan!”
Dion nyengir. Dia lalu nengok ke Rico, yang duduk kalem di pojokan. “Ric, lo saksinya. Siapa yang ngajak duluan?”
Mata semua langsung pindah ke cowok berambut biru itu. Dia duduk selonjoran, bandana miring, tatapan kosong kayak layar laptop abis crash.
Steve lambaikan tangan di depan mukanya. “Bro, lo ngelag?”
Dion juga merhatiin, mulai curiga. “Ric, lo abis kena genjutsu Pak Kisame, ya?”
Beberapa detik hening. Kayak buffering sinyal Wi-Fi di tengah hujan.
Lalu, Rico akhirnya ngedip. Perlahan, dia noleh dan dengan polos nanya: “Eh... ini kelas apa? Kalian guru baru, ya?”
Tangannya ngusap jidat yang masih merah, bekas ‘sentuhan’ penggaris kayu legendaris. Nama asli pemiliknya sih Suwanto, tapi semua orang lebih kenal dia sebagai Pak Kisame. Aura sangar plus kekuasaan absolut atas rumus fisika bikin dia lebih cocok jadi villain anime ketimbang guru kelas.
Steve dan Dion langsung panik.
Tapi sedetik kemudian, Rico ngakak, sampai merosot ke lantai sambil megang perut.
Dia berdiri lagi sambil ngelap air mata.
“Udah, daripada ribut, mending ke kantin. Otak gue udah meleleh gara-gara rumus momentum.”
Rico protes. “Lah, apa-apaan!”
Protes tetep protes, tapi langkahnya paling depan.
Dua sahabatnya nyusul sambil ketawa, ninggalin kelas yang masih acak-acakan, papan penuh coretan, bangku miring-miring, dan sisa suara ribut yang belum sepenuhnya reda.
Pagi yang berantakan. Tapi justru yang kayak gini, biasanya jadi cerita favorit sekelas seminggu ke depan.
Kantin sekolah selalu jadi benteng terakhir geng mereka tiap kali bel istirahat bunyi. Dikelilingi pohon rindang yang ngeblok panas matahari, tempat itu bukan cuma adem secara harfiah, tapi juga adem buat dompet yang mulai seret di akhir bulan. Di sini, skill ngutang ke penjual udah kayak pasif bawaan: nggak perlu minta, kadang malah ditawarin.
Begitu nyampe di meja langganan di pojok kantin, Rico langsung buka topik sambil ngutil satu nugget dari piring Steve.
“Eh, bro, ngomongin rencana ke Jepang akhir tahun... lo bedua udah nyiapin apa aja?”
“Dua puluh lima ribu? Itu nugget gue, bro. Balikin.”
“Sabar. Ini investasi pertemanan.”
Dion, yang dari tadi duduk sambil muter sendok di tangan, ngelirik mereka sambil geleng-geleng.
“Lo berdua beneran niat ke Jepang? Ke taman depan sekolah aja lo males, apalagi ke negeri orang.”
Rico berdiri, membusungkan dadanya, tangan kanan bikin pose peace ala idol yang sering dia tonton tiap malam minggu.
“Usaha dulu, bro. Kata Jeketi, ‘Usaha keras tak akan mengkhianati.’ Lo kira gue cuma halu?”
Steve ngangguk pelan. Matanya mandang langit-langit kantin, seolah udah kebayang langit Tokyo di musim gugur.
“Bener. Optimisme itu kunci. Gue udah bayangin kita foto di Shibuya, makan ramen tiap malam. Hidup gue bakal berubah, bro.”
Dion nyender santai, kursi kayu di bawahnya bunyi ‘krek’ kayak suara rel kereta tiap dia geser.
“Yaudah. Gue dukung. Tapi kalo beneran jadi ke Jepang... traktir gue seblak, ya. Dari tadi ngidam parah.”
Steve ngakak. “Seblak di Jepang? Lo kira ada abang-abang gerobak keliling di Shibuya?”
“Kalau nggak ada, ya bikin,” sahut Dion santai. Dia berdiri, ngerapihin kerah seragam yang udah lecek dari jam pertama.
“Gue pesen seblak dulu. Ada yang mau nitip?”
Belum sempat dijawab, Dion udah jalan ke konter.
Rico dan Steve masih ketawa sambil ngelus perut. Nugget tinggal dua biji, tapi bahagia tetap utuh.
Kantin itu, meski cuma sepetak dengan piring plastik dan gorengan yang kadang nggak jelas minyaknya kapan diganti, tetap jadi tempat paling jujur buat mimpi-mimpi absurd dan ambisi yang kelewat besar. Di antara suara ribut, piring bersenggolan, dan tawa-tawa kecil... mereka percaya satu hal:
nggak ada yang terlalu jauh, selama punya temen, dan sedikit kemampuan ngutang.
Tapi sebelum Dion sempat melangkah lagi..
Dugg!
Tubuhnya membentur seseorang. Mangkuk di tangannya oleng, dan butuh refleks serta keberuntungan tingkat dewa agar kuah panas itu nggak tumpah ke mana-mana.
“Eh, maaf! Nggak sengaja!” Dion langsung panik. Tangannya gemetar sedikit, matanya buru-buru naik menatap orang yang dia tabrak.
Dan jantungnya berhenti sejenak.
Di depannya berdiri Alyssa, siswi dari kelas 12A. Rambutnya dikuncir rapi, wajahnya bersih dan teduh. Senyumnya muncul pelan, justru bikin Dion makin gugup. Cewek pintar, ramah, dan favorit hampir seluruh siswa di angkatan mereka.
“Tenang aja, nggak apa-apa,” ucap Alyssa lembut. Tangan kirinya menyeka titik kecil kuah yang hampir nyiprat ke lengannya. “Cuma kecelakaan kecil.”
Dion buru-buru mengangguk. “Iya, maaf banget... gue nggak liat tadi.”
Alyssa mengangguk kecil, lalu tersenyum. “Kamu Dion, ya? Dari 12D?”
Dion langsung nelen ludah. “Iya... gue Dion,” jawabnya sambil garuk kepala. Suaranya agak pecah. “Temen gue nunggu di pojok.”
Baru saja dia mau mundur, suara Alyssa kembali terdengar.
“Dion, tunggu bentar.”
Langkahnya berhenti. Dion menoleh, alisnya naik.
Alyssa melangkah mendekat, ekspresinya penuh ketertarikan. “Tadi aku lihat gambar kamu di mading. Yang tentang kota futuristik itu. Keren banget. Kamu yang bikin, kan?”
Sekali lagi, otak Dion nge-lag.
Alyssa. Mading. Gambar. Pujian.
Semuanya berputar cepat di kepalanya, tapi mulutnya cuma mampu mengeluarkan satu kalimat nggak jelas.
“Ehe... iya... eh... iya, gila ini beneran...”
Dia langsung nyengir kaku, muter badan, dan buru-buru kembali ke mejanya. Mukanya udah merah, mungkin lebih merah dari kuah seblak yang dia bawa. Tangannya gemetar halus, seolah habis lulus dari ujian nasional tanpa nyontek.
Alyssa cuma tersenyum, tertawa kecil sambil melanjutkan langkahnya.
“Unik banget anak ini,” gumamnya pelan.
Tapi dari pojok lain di kantin, ada sepasang mata yang memperhatikan semuanya. Tatapan tajam, penuh rasa penasaran... dan sedikit curiga. Entah siapa dia, belum ada yang benar-benar tahu.
Tapi cerita ini baru saja dimulai.
Dion nyengir kecil. Mukanya masih agak merah, sisa efek tabrakan kecil yang tadi bikin jantungnya ngaco gara-gara Alyssa.
“Lah, emang gue lama? Perasaan cuma bentar,” elaknya sambil naro mangkuk seblak ke meja. Tangannya hati-hati, kayak lagi naruh vas bunga antik. Pandangannya sempat nyerong, nyari sosok Alyssa yang sekarang lagi duduk agak jauh sambil ketawa bareng gengnya.
Steve melirik tajam, terus nunjuk gelas plastik di depannya yang isinya tinggal separuh.
“Terus ini kenapa tinggal segini? Lo yang minum ya?”
“Eh, sumpah bukan gue!” Dion buru-buru angkat tangan, ekspresinya panik. “Mungkin... angin yang nyedot?” katanya, berusaha nyengir tapi makin kelihatan bersalah.
Rico, yang dari tadi duduk santai sambil nyemil nugget orang, langsung nimbrung. “Udah lah, bro, lupakan soal gelas lo. Gue punya gosip panas!”
Dia majuin badan, matanya semangat banget, kayak host acara gosip yang baru dapet info eksklusif.
“Katanya single baru AKB48 bakal temanya tentang psikopat. Idol nyanyi lagu ceria... tapi liriknya tentang pembunuhan. Ngeri-ngeri sedap, kan?”
Steve cengengesan, sok serius sambil mainin sedotan.
“Bisa iya, bisa nggak. Kayak ramalan cuaca, bro. Kadang cerah, kadang kejebak hujan deras.”
Rico hampir keselek nugget. “Gila, jawaban lo itu... nihil makna. Tapi entah kenapa tetep lucu.”
Dion ikutan ketawa. “Tapi ya bener sih. Gosip doang belum tentu akurat. Jadi... main aman aja. Lima puluh-lima puluh.”
Belum sempat mereka lanjut debat, tiba-tiba muncul suara lembut dari samping meja.
“Hai, aku Alyssa. Boleh gabung nggak? Aku denger kalian ngomongin idol, jadi penasaran.”
Seketika semua kepala nengok. Alyssa berdiri di samping meja, senyumnya ramah, matanya berbinar. Seolah topik barusan adalah kata kunci buat narik dia masuk.
Steve reflek berdiri, narik kursi kosong. “Wah, tentu aja boleh! Duduk sini, bro, eh, maksud gue, Alyssa!”
Rico langsung nyisir rambut ke belakang, gayanya sok kalem. “Tau nggak... gue tuh pernah jadi top global Mobile Legends. Di mimpi, sih. Tapi tetep prestasi, kan?”
Dion langsung nyikut Rico pelan. “Bro, bisa nggak lo jaga image dikit?”
Alyssa cuma ketawa, tangannya nutup mulut. “Santai aja, kalian seru banget.”
Obrolan langsung ngalir. Tawa dan candaan nyampur jadi satu. Alyssa ikut nimbrung, ternyata dia emang cukup nyambung. Tapi di tengah kehebohan itu, Rico tiba-tiba nunduk. Mukanya berubah.
“Eh, bro... perut gue,” bisiknya ke Steve, matanya mulai panik.
Steve ikutan pegang perut. “Gue juga... anjir... ini kenapa ya?”
Dion melongo. “Lah, lo berdua kenapa?”
Tanpa banyak omong, Rico dan Steve langsung bangkit dan lari terbirit-birit ke arah toilet. Langkah mereka cepat, ekspresinya panik total.
“Belimbing wuluh tadi, bro!!” teriak Rico sebelum tikungan terakhir.
Alyssa ngelirik Dion, alisnya naik. “Mereka kenapa sih?”
Dion nyengir, masih bingung antara khawatir atau ngakak. “Tadi makan belimbing wuluh, dijadiin lalapan nasi goreng. Mungkin terlalu semangat. Efeknya nendang, ya begitu.”
Alyssa ketawa, suaranya renyah banget. “Itu absurd sumpah.”
“Emang mereka spesialis bikin drama,” Dion ikut ketawa.
Alyssa mengangguk, lalu matanya sedikit berbinar. “Eh, ngomong-ngomong... lo juga suka idol group ya?”
“Lumayan,” jawab Dion sambil nyengir kecil. “Apalagi kalau dibarengin sama mimpi ke Jepang, kayaknya seru aja.”
“Gue juga punya rencana ke sana akhir tahun ini. Mau nonton show-nya AKB48 langsung. Udah lama banget masuk bucket list.”
Dion ngangguk, matanya terpaku beberapa detik ke Alyssa. Tapi sebelum dia sempat jawab apa-apa, tiba-tiba meja mereka bergetar.
Bukan cuma pelan, tapi cukup kenceng buat bikin gelas plastik goyang.
Mereka saling pandang. Lalu, terdengar suara...
“Woy, sampah! Jangan sok akrab sama Alyssa! Lo gak tau dia itu cewek gue?!”
Zaki berdiri di depan meja mereka. Tubuhnya tinggi besar, tangannya mencengkeram kerah seragam Dion dengan kasar. Di kanan-kirinya, dua temannya berdiri kaku, wajah mereka dingin dan tatapan tajam seperti penjaga gerbang neraka.
Kantin yang tadinya riuh langsung senyap. Semua orang menahan napas. Mata mereka tertuju pada satu titik: Dion.
Dion menepis tangan Zaki dengan tenang. Ia bangkit, berdiri tegak, walau jelas situasi nggak berpihak ke dia.
“Lo bilang apa barusan?” suaranya datar, tapi matanya nyala. “Gue gak ada maksud apa-apa ke Alyssa. Dan lo, jangan sok ngaku-ngaku pacarnya kalau emang bukan.”
Zaki tertawa pendek. Sinis. Bibirnya miring, matanya menyipit.
“Sok jago lo, ya? Nih, gue kasih kenang-kenangan.”
Tanpa aba-aba, tinjunya melayang dan menghantam wajah Dion telak. Dion terjungkal ke lantai. Darah langsung menetes dari hidungnya, warnanya kontras di lantai keramik putih.
Meski kesakitan, Dion masih sempat bicara. Suaranya pelan, tapi tetap tegas.
“Gue udah bilang... jangan maksa Alyssa... kalau dia sendiri nggak mau...”
Zaki makin murka. Dengan wajah memerah, dia melayangkan pukulan lagi. Dua temannya ikut nyerbu. Dion dihajar tanpa ampun. Dia berusaha melindungi kepalanya, tapi jelas, ini bukan pertarungan yang adil.
Alyssa terbangun dari kursinya. Kursi hampir terjungkal, tapi dia nggak peduli. Dengan gemetar, dia narik lengan Zaki.
“Zaki, cukup! Lo udah gila?!”
Suaranya pecah. Matanya berkaca-kaca, tapi tetap berani berdiri di antara mereka.
Zaki tidak menjawab. Ia hanya melirik Alyssa… lalu mendorongnya kasar. Alyssa terhuyung, tangannya mencari pegangan di meja.
“Lo juga mulai kurang ajar sekarang, ya?”
Hening menggantung di udara. Kantin berubah jadi ruang pengadilan bisu. Nggak ada yang bergerak. Semua cuma nonton. Takut.
Sampai akhirnya, dua sosok muncul dari arah toilet.
Rico dan Steve.
Langkah mereka berhenti mendadak. Rico melotot. Steve membeku. Mereka saling pandang. Detik berikutnya, Rico maju satu langkah.
“WOY, BANGSAT!”
Suara Rico menggema. Kantin terasa kembali bernyawa, tapi dalam ketegangan.
“Lo apain temen gue, hah?!”
Zaki menghentikan pukulan terakhirnya. Dia melirik Rico.
“Kalau lo emang jago, sini! Lawan kami berdua! Jangan banci, keroyokan doang!”
Rico membusungkan dada. Wajahnya serius… walaupun pelipisnya masih berkeringat, sisa mules di toilet tadi.
Steve noleh pelan, mukanya pucat.
“Bro,” bisiknya. “Lo ngapain sih bawa-bawa gue? Gue figuran, bro. Gue tuh niatnya muncul di ending, bukan masuk adegan baku hantam.”
Tapi Rico udah nggak dengerin. Matanya nyasar ke meja sebelah. Ada botol saus cabai level maksimal tergeletak sendirian.
Entah ide dari mana, Rico langsung ambil botol itu. Dibuka. Lalu... ditenggak sampai habis.
“WOOAAHH!! SINI, GUE LAWAN LO SEMUA!”
Mulutnya merah. Matanya berkaca-kaca. Tapi auranya meledak.
Steve yang awalnya pengen kabur, cuma bisa berdiri kaku. Tapi dia ikut-ikutan angkat tangan, gaya sok siap tempur.
“Iya! Nih Rico udah masuk mode pedes! Lo siap nggak kalau dia ngamuk?!”
Zaki dan dua anak buahnya saling pandang. Wajah mereka berubah.
Bukan takut karena otot.
Tapi karena ini... bukan hal normal.
Salah satu anak buah Zaki maju pelan, bisik-bisik.
“Zak… kita mending cabut. Itu orang bukan manusia.”
Zaki mendengus. Gengsinya jelas keganggu. Tapi akhirnya, dia angkat tangan.
“Buang-buang waktu lawan orang edan.”
Dia meludah ke samping, lalu nunduk ngelihat Dion yang masih tergeletak.
“Anggep aja lo beruntung.”
Mereka bertiga pergi. Alyssa sempat menoleh, tapi Zaki narik lengannya dengan paksa. Tak ada perlawanan. Hanya kesunyian.
Setelah mereka pergi, Rico dan Steve langsung nyamperin Dion.
“Bro! Lo gapapa?” tanya Rico, wajahnya panik, tapi mulutnya masih merah menyala.
Dion mengerang, pelan-pelan duduk dengan bantuan mereka.
“Gue gapapa. Nggak lebih sakit dari ditinggal Oshi grad, kok.”
Steve menggeleng, setengah kesel setengah kagum. “Udah babak belur masih bisa nge-jokes juga, nih orang.”
Rico mengibas-ngibas mulutnya. “Gue gapapa ngelawan preman, tapi ini... sausnya sadis!”
Dion ketawa, lalu batuk. Darah bercampur tawa. “Kalian... gokil banget.”
Steve ngusap keringat. “Udah, yuk ke UKS. Tapi… Ric, lo juga butuh air minum. Bukan buat Dion, buat lo.”
Rico angguk cepat. “Please… air putih segalon. Sekalian tisu es kalau bisa.”
Dan begitu mereka bertiga jalan keluar dari kantin, dalam kondisi babak belur, bibir merah, dan napas ngos-ngosan—semua mata di kantin masih ngikutin mereka.
Tapi kali ini, bukan karena takut.
Tapi karena heran.
Karena kadang, yang bikin orang kalah bukan otot.
Tapi ide paling absurd… yang dibumbui cabai level maksimum.
Dion berdiri di samping motor matic kuningnya, mengusap pelan jok yang basah karena embun.
“Kalau bukan karena ulangan fisika Pak Kisame, mending gue lanjut tidur,” gumamnya, nada suaranya campuran antara pasrah dan kesel.
Tapi jauh di dalam hati, dia tahu: hari ini bukan waktunya kalah sama rasa malas.
Dengan satu tarikan napas panjang, Dion memutar kunci, menyalakan mesin yang sempat ngambek dua kali sebelum akhirnya nurut juga.
“Mama, aku berangkat!” teriaknya dari garasi. Nadanya setengah pamit, setengah protes kecil ke kehidupan.
Tanpa nunggu jawaban, dia langsung tancap gas, menembus udara pagi yang dingin.
Meninggalkan kasur hangat, embun yang belum sempat menguap, dan harapan tipis bisa bolos dengan damai.
Di perjalanan, lampu merah memaksanya berhenti.
Dion menghela napas, matanya menyapu sekitar, sekadar mengisi waktu tunggu.
Semuanya terasa biasa, sampai matanya menangkap sosok Alyssa di halte seberang jalan.
Gadis itu berdiri sendiri, memeluk tasnya seperti benda paling berharga di dunia.
Sesekali melirik ke langit kelabu, seperti lagi ngobrol diam-diam sama awan.
Ekspresinya cemas. Entah karena bus belum datang, atau karena hal lain yang hanya dia dan semesta tahu.
Dion menelan ludah.
Ada ragu. Tapi lebih besar rasa ingin tahu.
Tanpa pikir panjang, dia lambaikan tangan.
“Hi, Alyssa!”
Suaranya cukup keras untuk menembus dinginnya udara pagi.
Alyssa menoleh, sempat kaget, tapi kemudian tersenyum kecil saat mengenali siapa yang memanggil.
“Eh… Dion?” suaranya terdengar pelan, tapi cukup untuk sampai ke telinga Dion yang udah siap ngeluarin semua gaya sok akrabnya.
Dia langsung gas.
“Butuh tumpangan? Kayaknya bentar lagi hujan. Mending bareng gue aja. Daripada nungguin bus dan telat.”
Dion tepuk jok belakang motornya. Helm cadangan udah siap di tangan.
Alyssa masih ragu. Matanya sempat lirik kanan-kiri, tapi akhirnya kembali ke Dion.
“Serius?”
Dion mengangguk.
“Iya, santai aja. Gue gak bakal ngebut kok. Lagian udah biasa bawa dua orang.”
Beberapa detik sunyi.
Lalu Alyssa mengangguk, pelan.
“Oke deh,” ucapnya. Pendek, tapi cukup untuk bikin pagi Dion jadi beda.
Ia naik perlahan. Dion bantu memakaikan helm sebelum akhirnya mereka melaju, meninggalkan halte yang perlahan kembali kosong.
Jalanan masih basah sisa hujan semalam.
Motor kuning Dion membelah udara pagi dengan tenang.
Angin dingin menyapa wajah mereka, tapi ada kehangatan samar yang mulai tumbuh… bukan dari jaket, tapi dari jarak yang perlahan memendek.
Beberapa menit berlalu.
Tak ada obrolan. Hanya suara angin dan roda yang menyentuh aspal.
Lalu, Alyssa bicara.
“Dion… soal kemarin…” suaranya pelan, nyaris kalah sama angin.
“Aku minta maaf. Gara-gara aku, kamu jadi kena masalah sama Zaki.”
Dion tak langsung jawab. Dia hanya tersenyum kecil, lalu menoleh sedikit tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.
“Nggak usah dipikirin, kok. Gue baik-baik aja.”
Nada suaranya ringan. Tapi cukup untuk bikin hati Alyssa sedikit lega.
“Sekarang pegangan yang kenceng, ya? Kita udah hampir telat.”
Alyssa diam. Lalu, pelan-pelan, ia memeluk punggung Dion lebih erat.
Mereka melaju lebih kencang.
Langit masih kelabu.
Angin tetap dingin.
Tapi di antara detik-detik yang terus berlalu dan jalanan yang tak pernah menunggu, detak jantung Alyssa berubah pelan.
Tidak lagi karena dingin.
Bukan juga karena takut telat.
Tapi karena sesuatu yang tumbuh diam-diam...
Udara dingin menyelinap pelan, menusuk kulit, tapi terasa segar.
Tiba-tiba, bel sekolah berbunyi nyaring, dentangannya menggema di seluruh selasar.
Bagi sebagian siswa yang sedang dimabuk asmara, suara itu bukan lagi pengingat masuk kelas, melainkan seperti love song yang samar.
Lembut, penuh harapan… seolah memanggil hati yang belum sempat bicara.
Dion dan Alyssa baru saja turun dari motor.
Mereka berdiri berseberangan, saling pandang tanpa kata.
Tak ada yang buru-buru pergi. Tak ada yang berani bicara lebih dulu.
Lalu, keduanya tersenyum.
Canggung, tapi jujur.
Seakan mereka sama-sama paham bahwa pagi ini menyimpan sesuatu yang belum bisa dijelaskan sepenuhnya.
“Dion, makasih ya buat tumpangannya.”
Senyum Alyssa masih bertahan, hangat seperti matahari yang malu-malu muncul di sela awan.
“Nggak kebayang kalau aku harus nungguin hujan di halte sendirian. Bisa-bisa baru masuk pas pelajaran ketiga.”
Dion ikut tersenyum, walau matanya buru-buru menghindar.
Tangannya sibuk memasukkan helm ke dalam bagasi motor, mencari cara biar gugupnya nggak kelihatan.
“Sama-sama, Alyssa. Senang bisa bantu.”
Nada suaranya tenang, tapi ada getar kecil yang nyangkut di ujung kalimat.
“Eh… masuk kelas sana, bel udah bunyi.”
Alyssa tertawa pelan, lalu melambai kecil sebelum berbalik pergi.
Langkahnya ringan, seperti masih terbawa irama bel barusan yang entah kenapa terdengar berbeda di telinga mereka.
Sementara itu, Dion hanya berdiri sebentar. Menatap punggung Alyssa yang perlahan menjauh.
Ia menghela napas, lalu berjalan ke arah kelas 12D sambil menahan senyum yang belum sempat pudar.
Namun di sudut halaman sekolah, sepasang mata memperhatikan mereka sejak tadi.
Zaki berdiri di balik tiang bendera yang basah, matanya sempit, rahangnya mengeras.
Ia melihat semuanya.
Tatapan Alyssa. Senyuman itu. Jarak yang terlalu dekat di matanya.
Bagi Zaki, semua itu bukan kebetulan. Tapi tamparan.
Dan tamparan paling menyakitkan adalah yang datang dari orang yang dulu pernah ia percaya.
Tangannya mengepal. Wajahnya memerah.
“Dasar keparat,” gumamnya lirih, hampir tenggelam oleh gema bel yang masih terpantul di dinding sekolah.
Ia menendang kerikil kecil di kakinya, lalu melangkah pergi, tanpa arah yang jelas, hanya mengikuti bara yang belum padam di dadanya.
Minggu siang datang dengan cahaya matahari yang malu-malu menyelinap lewat celah jendela kamar. Dion masih duduk tenang di mejanya, tablet di tangan, jari-jarinya sibuk mencoret layar. Wajah dan lengannya dipenuhi luka memar, tapi ekspresinya tenang. Seolah semua itu cuma cat air yang nempel iseng di kulitnya.
Tiga ketukan terdengar dari pintu. Nggak keras, tapi cukup bikin Dion menoleh.
Rico masuk duluan, langkahnya santai, bandana biru di rambutnya miring dikit. Di belakangnya, Steve menyelinap masuk tanpa suara. Mata mereka langsung menangkap sosok Dion, yang masih cuek dengan semua luka itu.
“Hei, apa kabar, jagoan?” Rico menyapa dengan nada yang setengah bercanda, setengah khawatir.
Dion nyengir tipis. “Gue baik-baik aja, kok.”
Rico mendekat, matanya menyipit menilai luka di wajah Dion. “Lo serius? Muka lo udah kayak... Lucinta Luna versi tanpa sponsor!” Dia ketawa lepas, tangannya menepuk meja, bikin tablet Dion goyang sedikit.
Dion ikut tertawa kecil, tapi Steve yang dari tadi diam akhirnya buka suara. “Gue nggak bisa diem aja, bro. Zaki dan gengnya udah kebangetan. Kita harus lakuin sesuatu. Ini bukan cuma soal lo, D. Ini soal nama baik geng Wota Fictive.”
Steve mengepalkan tangan, dan topinya bergoyang pelan seolah setuju.
Dion menghela napas, tangannya mengusap dada. “Udahlah, Stev. Capek ribut terus. Mending lupain aja. Bikin ribet.”
Rico mengangkat alis, lalu menoleh ke Steve sambil menyeringai. “Eh, yang waktu itu diem di pojokan malah sekarang ngajak perang? Lo kemarin ngapain? Meditasi?”
Steve buru-buru angkat tangan. “Gue nggak kabur! Gue cuma lagi cari sinyal buat pesen ojek. Strategi kabur itu bagian dari survival, tahu!”
Rico menggeleng sambil ketawa, Dion cuma geleng-geleng kepala.
Tapi suasana berubah waktu Rico duduk dan menatap Dion lebih serius. “D, mulai sekarang jauhin Alyssa, ya. Biar drama Zaki nggak makin jadi sinetron striping.”
Dion nyender ke kursi, wajahnya kesal. “Lah, gue juga nggak pernah ngedeketin dia. Dia yang muncul sendiri waktu itu. Lo masih inget kejadian di kantin, kan?”
“Iya, gue inget. Tapi tetap aja situasinya nggak enak,” jawab Rico pelan.
Steve tiba-tiba nyeletuk, nada sok bijak. “Lagian, siapa sih yang bisa nolak deketin Alyssa? Cantik, cuy.”
Rico langsung noleh, nadanya naik setengah oktaf. “Steve, lo mau jadi korban pengibaran bendera sama Zaki di lapangan?”
Steve langsung sembunyi di belakang Dion, wajahnya nyengir. “Tenang, bro. Gue cuma mengungkapkan kebenaran dari sudut pandang estetika ilmiah.”
Dion akhirnya angkat tangan, mencoba ngademin suasana. “Udah, udah. Fokus aja ke mimpi kita ke Jepang, deh. Akhir tahun udah deket. Kalian udah siapin apa?”
Rico garuk-garuk bandananya, cengengesan. “Gue udah mulai nabung. Tapi ya gitu, kadang kepake buat beli kopi. Hidup tanpa kafein tuh nggak manusiawi.”
Steve malah bangga. “Gue udah ngumpulin empat puluh ribu!”
“Lumayan,” kata Dion.
“Eh, tapi kemarin abis juga sih... gue beli rendang.”
Rico langsung melotot. “Rendang lagi? Rendang apaan yang bikin lo ngorbanin tiket ke Jepang?!”
Steve berdiri tegak, mukanya serius. “Eh, lo nggak ngerti seni kuliner! Ini bukan rendang biasa—ini rendang spesial, bikin lidah gue bergoyang!”
Dion ketawa, kepala disandarkan ke kursi. “Rendang emang enak, tapi kita harus beneran komit nabung mulai sekarang.”
Rico angguk-angguk. “Oke, tapi Steve, kalo lo beli rendang lagi, gue sita topi lo. Serius.”
Steve angkat tangan, nyengir. “Demi geng kita ke Jepang, gue rela puasa rendang. Tapi... kalau suatu hari kita makan rendang di Tokyo, jangan lupa ajak gue, ya!”
Tawa mereka pecah lagi. Siang itu, di kamar kecil Dion, rencana besar mereka terasa lebih dekat. Meski dunia di luar sana kadang nggak adil, meski wajah Dion masih biru lebam, semangat mereka untuk ngejar mimpi tetap utuh.
Dan rendang... ya, mungkin masih jadi godaan terbesar.

Social Plugin