Ticker

6/recent/ticker-posts

THEATER NO MEGAMI



Siang itu, udara di rumah terasa pengap. Dion duduk diam di kamarnya, menatap langit-langit seolah berharap ada sesuatu yang menarik jatuh dari situ. Tapi yang turun cuma rasa jenuh yang makin menebal. Di tengah kebosanan itu, pikirannya melayang ke sebuah buku langka yang sudah lama ia incar. Letaknya ada di sebuah toko buku tua, jauh di pinggir kota. Jaraknya lumayan, tapi justru itu yang bikin hatinya sedikit berdebar.

Ia berdiri, berjalan ke garasi, dan menemukan sepeda putih kesayangannya terparkir di sudut, diselimuti debu tipis. Sudah lama tak disentuh. Dion tersenyum kecil, lalu mengusap sadelnya dengan tangan.

"Ayo, teman lama," gumamnya pelan, "kita cari petualangan hari ini."

Ia jongkok di samping sepeda, memeriksa ban dan rantai. Semua masih cukup layak. Ban masih kencang, rantai tidak terlalu kendur. Tapi saat ia menekan rem, terdengar suara mencicit yang bikin keningnya berkerut.

"Hmm, jangan bilang remnya ngambek sekarang," katanya setengah khawatir. Ia menarik napas, lalu mengangkat bahu. "Ah, paling juga karat. Jalan aja dulu, nanti juga mulus lagi."

Dengan semangat yang setengah nekat, Dion mulai mengayuh sepedanya. Angin siang menyapu wajahnya, membawa aroma aspal panas dan sedikit debu. Ia belum tahu bahwa perjalanan sederhana ini akan membuka halaman baru dalam hidupnya. Bukan cuma soal buku langka, tapi juga tentang pertemuan yang tak pernah ia duga sebelumnya.

 

Bayangan di Antara Buku

Sesampainya di toko, Dion mendorong pintu kayu tua yang langsung mengeluarkan bunyi berderit panjang. Suaranya nyaring, seperti nada sambutan dari tempat yang menyimpan banyak rahasia. Begitu ia melangkah masuk, udara di dalam menyergapnya dengan aroma kertas usang yang khas. Di hadapannya, ratusan buku tampak bertumpuk tak beraturan. Beberapa novel lawas tergeletak di lantai, komik-komik pudar menyembul dari sela-sela rak yang sudah miring, dan majalah tua tampak mengintip malu-malu dari sudut berdebu.

Dion tersenyum kecil. Matanya berbinar, tapi jantungnya ikut berdetak lebih cepat. Ia melangkah pelan, menyisir setiap sudut dengan pandangan penuh harap. Tapi novel langka yang sejak lama ia cari belum juga terlihat.

"Wah, novelnya ke mana, ya?" gumamnya lirih, hampir seperti bisikan. Suara pelan itu seperti berbaur dengan keheningan toko, yang hanya ditemani derik kipas angin tua di langit-langit.

Dion mulai berjalan memutar, menelusuri tumpukan demi tumpukan yang mulai terasa seperti labirin kecil. Beberapa kali ia harus membungkuk, kadang menggeser buku-buku lain demi melihat judul di baliknya. Namun hasilnya tetap nihil.

Dengan langkah ragu, ia akhirnya mendekati meja kayu di ujung ruangan. Di sana, duduk seorang pria tua dengan kacamata tebal yang menggantung di ujung hidung. Ia tampak sibuk membuka-buka buku catatan usang, dikelilingi tumpukan bacaan yang nyaris menutupi tubuhnya.

"Permisi, Pak," Dion membuka suara, "novel yang judulnya The Swonk Ferari masih ada, nggak?"

Pria tua itu mendongak perlahan. Tatapannya tenang, tapi tajam, seolah bisa membaca isi kepala siapa pun yang berdiri di depannya.

"Oh, yang itu ya?" katanya sambil menghela napas. "Laku keras, Nak. Baru saja habis kemarin. Kami sudah pesan ulang, tapi sepertinya baru datang minggu depan."

Dion mengangguk, mencoba tersenyum meski ada sedikit kecewa yang mengendap di dadanya. "Oke, nggak apa-apa. Saya balik lagi nanti aja, deh. Makasih ya, Pak."

Ia berbalik, berjalan menuju pintu. Tapi sebelum benar-benar keluar, matanya menangkap sesuatu. 





Sebuah Pertemuan Kecil

Langkah Dion nyaris menjejak ambang pintu saat pandangannya terpaku pada sosok di sudut ruangan. Seorang pemuda di kursi roda tampak berusaha meraih sesuatu di rak yang terlalu tinggi untuk dijangkau. Tangannya terulur, tapi tak pernah sampai. Wajahnya menyiratkan harap yang samar, seperti sudah terbiasa dengan keterbatasan itu.

Dion berhenti. Ada sesuatu yang menggerakkannya dari dalam. Ia berbalik, lalu mendekat pelan.

"Maaf," ucapnya pelan, "boleh saya bantu?"

Pemuda itu menoleh. Ekspresinya sedikit terkejut, tapi langsung berubah menjadi senyum hangat. "Kak, bisa tolong ambilin buku itu?" Ia menunjuk ke arah buku tebal bersampul biru yang terselip di antara tumpukan lainnya.

Dion mengikuti arah jarinya. "Yang ini?" tanyanya sambil menarik buku itu perlahan, meniup debu tipis dari permukaannya sebelum menyerahkannya.

"Yap, itu dia. Makasih banget, ya!" jawab si pemuda sambil memeluk bukunya. "Oh ya, nama aku Rico."

"Dion," jawab Dion, singkat, sambil tersenyum. "Saya pamit dulu, ya. Semoga bukunya seru."

Ia melangkah pergi, tubuhnya lenyap perlahan di balik rak dan keramaian jalan. Ia tak sadar, sesuatu kecil jatuh dari saku jaketnya. Sebuah tas ungu mungil tergeletak diam di lantai berdebu.

Rico mendorong kursi rodanya menuju kasir, tapi roda kirinya tiba-tiba tersendat. Ia menunduk, dahi mengerut. "Apa ini?" gumamnya.

Di bawah rodanya, sebuah tas kecil terjepit. Ia mengambilnya, memutar-mutar benda itu di tangannya. Di salah satu sisi, tertulis dengan tinta pudar: Dion.

"Eh, ini... punya dia tadi?" Ia menoleh ke arah pintu, berharap masih bisa melihat bayangan Dion, tapi toko sudah sepi. Hanya suara motor dan klakson samar dari luar yang terdengar.

Rico memandangi tas itu sejenak. Ragu, tapi juga khawatir.

"Dia pasti panik kalau tahu ini hilang," bisiknya pelan. "Tapi aku... mana bisa ngejar dia sekarang."

Ia memeluk tas itu ke dadanya, lalu mengangguk kecil pada dirinya sendiri.

"Sudahlah. Aku simpan dulu. Siapa tahu, nanti ketemu lagi." Ia tertawa pelan, lebih pada dirinya sendiri. "Dunia ini kecil, kan?"


~~~



Pagi di Bundaran UI

Pagi itu, Steve melompat dari tempat tidur seperti baru disuntik semangat. Ia akan jogging ke Bundaran UI, tapi bukan hanya karena ingin sehat. Ada hal lain yang membakar dadanya—lebih tepatnya, seseorang. Wranda, adik kelas yang baru pindah dari Bandung, kini tinggal tak jauh dari rumahnya. Wajahnya manis, ada sedikit kemiripan dengan Eve dari JKT48, dan entah kenapa, sejak pertemuan pertama, bayangan Wranda sering mondar-mandir di kepalanya.

Dengan setelan olahraga ketat dan lagu Gingham Check berdentum di telinganya, Steve melangkah keluar rumah. Liriknya terasa pas, seolah jadi soundtrack pagi itu. Sesampainya di Bundaran UI, udara sejuk menyambut. Pohon-pohon besar berbisik pelan, dan tempat itu sudah mulai ramai. Ada yang lari, ada yang bersepeda, ada juga yang hanya jalan santai sambil menggandeng anak kecil atau membawa termos kopi.

Steve memicingkan mata, mencari-cari. “Ke mana ya dia?” gumamnya pelan, sedikit kecewa. Tapi ia segera menggeleng. “Sudahlah, jogging dulu aja.”

Ia mulai berlari ringan, membiarkan ritme langkah dan musik memandu. Tapi kemudian, pandangannya tertarik pada sesuatu di sudut lapangan. Seorang pemuda sedang bergerak penuh energi. Tangan pemuda itu menggenggam dua lightstick yang bersinar terang, melayang di udara dalam pola yang rapi. Steve langsung mengenali itu—wotagei. Gerakan khas para fans idol Jepang. Matanya membesar. Jarang-jarang ada yang ngelakuin itu di tempat umum.

Tanpa pikir panjang, ia mendekat. “Gila, keren banget! Lo ajarin, dong!”

Pemuda itu berhenti, tersenyum lebar. “Boleh banget, bro. Tapi lo butuh lightstick. Nih, pinjem punyaku dulu.”

Sebuah lightstick dilempar ke arahnya. Steve menangkapnya dengan dua tangan. Tak lama kemudian, lagu Saikou Kayo terdengar dari speaker kecil yang dibawa pemuda itu. Mereka mulai bergerak. Ayunan tangan, putaran, lompatan kecil. Steve mencoba mengikuti, tubuhnya masih kaku, tapi semangatnya meluap.

Hingga pada satu gerakan, tangannya terpeleset. Lightstick itu terbang liar, lalu mendarat mulus di mangkuk mie ayam milik seorang pria yang sedang makan di pinggir lapangan.

"Woy! Ulah siapa nih?!" teriak pria itu, wajahnya merah, kuah menetes dari ujung lightstick.

Steve dan pemuda itu saling tatap, saling panik. "Cabut!" bisik pemuda itu.

Mereka langsung lari, menembus keramaian, bersembunyi di balik pohon besar sambil terengah-engah. Tawa akhirnya pecah, meski napas mereka belum kembali normal.

Setelah beberapa percobaan—yang mayoritas gagal tapi penuh tawa—Steve mulai bisa mengikuti gerakan. Masih kaku, tapi cukup untuk bikin pemuda itu angkat jempol.

"Thanks banget ya, udah ngajarin. Meski tadi sempat chaos, haha. Gue Steve."

“Panggil aja Dion,” jawabnya sambil menjabat tangan Steve. “Dari lagu tadi, kayaknya lo juga fans JKT48, ya?”

Steve mengangguk. “Sama! Gila, kebetulan banget. Eh, gimana kalau kita bikin gathering fans minggu depan? Di sini lagi?”

“Setuju,” jawab Dion cepat, matanya berbinar.

Dengan rasa puas, Steve kembali jogging. Tapi langkahnya terhenti saat melewati halte di seberang jalan. Di sana, duduk seorang cewek dengan rambut panjang yang ditiup angin pagi. Wranda. Ia duduk sendiri, menatap kosong ke jalanan, seolah sedang menunggu sesuatu.

Jantung Steve kembali berdetak kencang. Seolah pagi itu belum selesai. Masih ada satu cerita lagi yang menunggu untuk dimulai.


Langkahnya mantap mendekati halte, meski di dalam dada, jantungnya berdetak liar bak drum konser rock. Rasa grogi menyusup pelan, membuat telapak tangannya basah oleh keringat. Tanpa sadar, ia menampar pipinya sendiri, berharap tamparan itu bisa mengusir gugup yang tak kunjung pergi.

“Fokus, Steve, fokus,” bisiknya pada diri sendiri.

Begitu sampai di depan Wranda, ia menarik napas dalam-dalam. Udara pagi yang sejuk terasa tak cukup menenangkan.

“Hei,” ucapnya akhirnya.

Wranda menoleh, alisnya sedikit naik. “Iya?”

“Nama kamu Wranda, kan?” Steve memaksakan senyum. Suaranya bergetar, tapi ia tetap mencoba terdengar santai. “Aku Steve, kakak kelas kamu. Waktu MOS, aku jadi panitia, loh. Ingat nggak?”

Wranda menatapnya sejenak, ekspresinya datar, nyaris tak terbaca. “Aduh, maaf ya. Aku nggak kenal kamu,” jawabnya pelan tapi sopan. Lalu ia berdiri dan pergi begitu saja, langkahnya tenang, tidak tergesa. Tak menoleh sekali pun.

Steve berdiri membeku, mulutnya masih sedikit terbuka. Angin pagi seolah ikut menyaksikan kepatahan kecil yang terjadi. Kata-kata Wranda barusan terasa seperti embun dingin yang membasahi wajahnya, membungkam semua harapan yang tadi menggantung manis di ujung imajinasi.

Ia menghela napas panjang, menatap trotoar kosong di depannya. "Ya Tuhan, ternyata aku cuma figuran di ceritanya," gumamnya, lalu tersenyum kecil—pahit, tapi cukup untuk membuat langkahnya kembali bergerak. Kadang, kenyataan tak seindah bayangan. Tapi hidup tetap harus terus berlanjut, bahkan untuk figuran sekalipun.





Berikut versi yang udah dirapihin dan dibuat lebih elegan, tapi tetap terasa hangat, mengalir, dan ditulis kayak manusia biasa—tanpa kesan terlalu kaku atau terlalu "AI". Jokes-nya juga tetap lo banget, santai tapi nggak lebay:


---

Pertemuan yang Tak Direncanakan

Pagi itu, Rico tersenyum lebar saat membaca pesan masuk dari Ichuji Cosplay Team di ponselnya: 

“Halo, Rico. Besok Sabtu kita tampil di Jak Japan Matsuri, Dmall Sudirman. Pastikan hadir, ya. Arigatou!”

Jantungnya berdegup cepat. “Akhirnya cosplay lagi setelah vakum lama,” gumamnya pelan, sambil membayangkan dirinya di atas panggung. Rasanya seperti kembali ke rumah setelah sekian lama tersesat.

---

Sabtu pun datang. Dmall Sudirman mendadak berubah jadi lautan manusia—kaum muda pencinta budaya Jepang berdesakan di antara deretan stan. Musik menggema dari mini stage, memperdengarkan suara para idol lokal yang tampil penuh semangat: Lumina Scarlet, Love Tunes, hingga JKT48. Rico, yang datang dengan kostum karakter anime modifikasi di kursi rodanya, meluncur pelan di antara kerumunan. Kostumnya yang detail dan nyaris sempurna membuat beberapa kepala menoleh kagum. Ia membalasnya dengan senyum kecil.

Tiba-tiba, seorang pemuda menghampiri, membawa kamera kecil dan raut ramah di wajah.

“Hai, Rico. Boleh foto bareng?”

Rico mengangguk. “Tentu. Mau gaya seperti apa?”

Mereka bergaya sebentar, lalu kamera berbunyi. Klik.

“Terima kasih, ya,” ujar si pemuda sambil menurunkan kameranya.

“Sama-sama,” sahut Rico. Tapi kemudian ia menyipitkan mata. “Eh, bentar. Lo tahu nama gue dari mana? Kita pernah ketemu?”

Pemuda itu tertawa pelan. “Gue Dion. Kita ketemu di toko buku, inget nggak?”

Rico terdiam sejenak, lalu buru-buru merogoh tas sampingnya. “Wah, iya! Dion! Ini dia, tas ungu yang jatuh waktu itu. Gue nemu di bawah roda. Ada nama lo di dalamnya.”

Dion melongo sejenak, lalu tertawa lega. “Gila… gue udah nyerah, mikir tas itu ilang. Makasih banget, Rico.”

“Sama-sama, bro. Untung lo nggak bawa barang aneh-aneh ya, kalau enggak bisa gue jadiin konten ‘isi tas cowok misterius,’” canda Rico.

Mereka tertawa. Lalu Rico menunjuk kostum yang dikenakan Dion. “Eh, lo cosplay Denarainbow ya? Keren. Lo fans JKT48 juga?”

“Iya. Gue bela-belain ke sini dari Depok, padahal Dena-nya nggak tampil,” kata Dion sambil menyeringai, ada nada kecewa yang tertahan.

“Kebetulan banget. Gue juga dari Depok!” Rico tampak makin antusias. “Gue sama temen gue rencana mau bikin gathering kecil fans JKT48 di UI. Lo mau ikutan?”

Dion langsung mengangguk. “Mau banget. Selama ini jadi fanboy sendirian. Akhirnya ada juga yang sefrekuensi.”

“Minggu. Jam delapan pagi. Kantin UI.”

“Catet!” Dion langsung membuka ponselnya dan mengetik cepat.

Rico menatap keramaian di sekeliling mereka. Panggung, tawa pengunjung, cahaya warna-warni. Di antara semua itu, sebuah kebetulan kecil telah mempertemukan dua orang dengan hobi yang sama. Mungkin memang dunia ini tidak seluas kelihatannya.

---

Minggu pagi, kantin UI masih sepi saat Rico meluncur masuk, napasnya sedikit tersengal. Dari kejauhan, ia melihat Dion dan melambai penuh semangat. "Hai, Dion!" teriaknya keras.

Dion menoleh, tersenyum lega. "Hai, Ric! Gue kira lo nggak jadi dateng."

"Pasti dateng dong, cuma tadi ban kursi roda gue bikin drama—maaf ya telat," Rico tertawa kecil, lalu melirik sosok di samping Dion. "Eh, ini siapa?"

"Ini Steve," Dion memperkenalkan sambil menepuk bahu temannya. "Steve, Rico."

Steve mengangguk, sedikit grogi. "Hai, Rico."

Rico memandang Steve sekilas, lalu tersenyum. "Hei, Steve, kacamata lo kece banget!"



"Haha, makasih, Ric," jawab Steve, tersenyum canggung.

"Btw, di *gathering* ini rencananya kita bahas apa?" tanya Rico, matanya berbinar penasaran.

Dion mencondongkan tubuh ke depan, antusias. "Gimana kalau kita bertiga bikin grup atau *fanbase* bareng?"

"Ide cerdas!" Steve mengangguk. "Tapi namanya apa yang cocok?"

"Macan Ngamuk, gimana? Keren, kan?" celetuk Rico, setengah bercanda.

Dion terkekeh. "Enggak lah, lebih kece Trio Tamvan—siap taklukkan hati *member*!"

Steve memutar bola mata, lalu tiba-tiba berdiri, tangannya terangkat dramatis ke langit seperti orator ulung. "Dengar ini: River Team! Terinspirasi dari lagu *River*—seberat apa pun rintangan, angin, badai salju, hujan petir, nggak akan halangi kita buat dukung *oshi* di *theater*!" Semangatnya membara, seolah sedang memproklamasikan kemerdekaan.

Dion menepuk pundak Steve, nyengir. "Nama oke, semangat lo juga top. Tapi, badai salju? Di Jakarta?"

Rico tertawa kecil sambil menyeruput teh. "Eh, dua hari lagi kan ada *theater* Team J. Gimana kalau kita *ngelive* bareng?"

"Ide bagus!" Dion langsung setuju. "Bawa atribut *oshi* ya, biar *live*-nya makin seru."

"Aku bawa banner seukuran Monas aja," kata Steve, matanya berbinar.

"Seukuran Monas?" Rico nyaris tersedak. "Nanti penontonnya ketutup, bro!"

Steve menggaruk kepala, tertawa kikuk. "Oh iya, lupa. Hehe."

"Yaudah," Dion memotong, "besok kita kumpul di depan Detos, berangkat bareng. Setuju?"

"Setuju!" Rico dan Steve berseru serentak.

"Oke, *first gathering* kita selesai dulu. Sampai ketemu lagi!" tutup Dion.

---

**Dua hari kemudian, di depan Detos**

"Hai, Steve, Dion! Udah siap?" Rico meluncur mendekat, semangatnya memancar.

"Yuk lah," Steve mengangguk, sudah tak sabar.

"Liat nih yang gue bawa!" Rico membuka tasnya dengan bangga, memamerkan tumpukan barang: delapan *lightstick*, dua puluh *photopack*, enam DVD, dan selusin pin *oshi*.

Steve melongo. "Anjir, Ric! Lightstick delapan, *photopack* segudang, DVD, pin—lo mau buka pasar malam di *theater*?"

Rico terkekeh. "Buat WTS lah, bro. Peluang bisnis!"

"Eh, ngerumpi mulu," Dion memotong, sudah gelisah. "Yuk berangkat, udah nggak sabar!"




Beberapa waktu kemudian susana theater semakin ramai.

"Eh lihat tuh ada Dena sama sisil baru dateng, hai Denaaaaa...."       
 Teriak Dion sangat keras sampai sebagian pengunjung theater menoleh ke arahnya.

"kasian dikacangin Dena haha.."
Ledek Steve.

"I'm fine bro"
Gumam Dion.

((sesi bingo akan di mulai))                
kata security.

 "Eh nomor bingo kalian berapa, gue ijo bingo 6.."
Kata Rico.

"Gue pun ijo juga, bingonya 2"
Kata steve.

"Gue sih milih tiket biru aja, biar satu blocking sama oshi gue, haha gue yakin bakalan bala lu berdua"
Kata Dion juga.

((Tiket biru Bingo 2))                                      
kata security.

"Tuhkan benar bingo gue langsung disebut.. Duluan bro gue mau duduk cantik di row 1.."
Kata Dion dengan sumringah.

"Puft itu sih cuma beruntung "
Timpal Rico.

~~

**saat di dalam stage**

J!
K!
T!
48!
Oi! Oi! Oi! Oi!
Taiga!
Faiya!
Saiba!
Faiba!
Daiba!
Baiba!
Jya! Jya!

Lagi-lagi Dion kembali meneriaki nama Dena dari bangku penonton.     "Dennnnnaaaaa..."


"Stttsss norak!"                                        
Kata penonton di sebelahnya.

~~~

**Setelah theater selesai, ketika mereka berjalan di lobi fx~

"Bagaimana pendapat kalian soal theater tadi?"
Tanya Dion.

"Lumayan, meski bukan tim fav gue, tapi peformance team J ternyata sangat keren juga" 
Kata Rico.

"Sudah gue bilang kalau team J itu team terbaik bro"      
 Kata Dion.

"Eh Dion, lu kenapa dari tadi teriakin nama Dena Dena Dena terus sih.."

"Sorry sorry gue lagi gesrek soalnya..."
"Kata Dion.


 "Udah-udah kalian berdua jangan pada ribut di sini. mendingan cepet pulang FX nya keburu tutup, emangnya lu mau kekunci di dalem FX.."                        
Kata rico.

~~~

Hari demi hari berlalu, tidak terasa bahwa mereka sudah 3 tahun berteman. Dari yang awalnya hanya teman kenalan sampai saat ini sudah menjadi Sahabat Ngidol. banyak hal yang mereka lalui, perselisihan ataupun pertengkaran tentu ada, namun itu tidak membuat persahabatan mereka runtuh..

"happy 3rd anniversary River Team~~

"Ga kerasa udah 3 tahun kita ngidol bareng ya.." 
Seru Dion.

"Iya ga kepikiran, sampe sekarang JKT48 udah muncul beberapa generasi baru."
Kata Steve.

"Hei Steve, masih inget pas dua tahun lalu? waktu Dion joget ga jelas di depan theater sampe dimarahi security? "
Tanya Rico.

"Haha tentu, kasian banget ya liat mukanya dion sampe kicep"
Kata Steve lagi.

"Iya kicep banget malah, kayak orang mau ngelahirin"
Ledek Rico.

"Wah gibahin gue, itu sih belum seberapa kali, pernah waktu baru kenal Steve, dia minta ajarin wotagei sama gue. Nah LS nya malah terpental sampe masuk ke mangkuk mie ayam orang."
Kata Dion tidak mau kalah.

"Hahaha kocak sekali steve"
Rico tertawa cengengesan.

"Btw Besok ada event HS, kuy ga nih?.."

"Ya kali ga kuy, Gue juga pengen beli tiket HS shania yang banyak nih atau bahkan mau borong sekalian."

"Jangan di borong lah Steve, kasihan nasib fans laen yang pengen HS sama Shania ntar keabisan dong..."

"Oh iya hehe"

"Eh bro emangnya kalian pada kaga lihat kicauan twitter official jeketi, tiket hs osha-oshi kita udah pada sold out semua..."

"Hah, terus gimana dong kita?"

"Selow, gue ada subsidi tiket HS nih 9 biji, masing-masing lu gue sedekahin tiga-tiga ya.. "

"Wah thanks ion, lu emang temen gue yang paling bes op de bes..."

~~~
(Saat di event hs)

Hai Viny~

Hai kak~

Makin cantik aja pakai kostum ini~

Terima kasih~

Oh iya Vin, aku boleh tahu ga?

Mau tau apa?~

Berat badan kamu berapa sih..~

Nggg~

(Stop Waktu hs anda sudah habis) 
*kata staff

~~~

"Eh kalian pada ngobrolin apa di HS tadi."

"gue tadi bilang ke Jinan jika lulus ingin kuliah ambil jurusan apa."                    

Kata Rico.

"Kalau gue sih tadi nanya ke Dena kenapa dia selalu sombong sama gue"

"Haha kasian bngt lu ion, haus banget akan waroan oshi.. Wkwk"

"Kalau lu gimana steve?."

"Gue tadi tanya ke Viny berat badan dia berapa kg."

"Njir pertanyaan lu greget juga Steve."

~~~ 


Siang itu, Dion baru saja pulang dari sekolah, ia melihat ada seorang gadis seperti yang ia kenal baru turun dari sebuah mobil.

"Itu kayak Dena member JKT48, tapi kok ada cowok di sampingnya ngerangkul-rangkul. Apakah itu pacarnya?.. ah mungkin itu orang lain, mana mungkin Dena JKT48.. Bodo ah..."

Dion melihat seseorang mirip dengan Dena tapi dia tidak terlalu yakin karena ia hanya bisa melihat dari kejauhan, di sebrang jalan. Jadi ia kembali melanjutkan perjalanannya. Saat dion tiba dirumahnya, ia mencoba merenungkan kembali gadis yang tadi ia lihat.. 

"Tadi Dena bukan ya, kalau tadi memang Dena, ini adalah bentuk pelanggaran rules."

Pada esok harinya, di hari minggu saat dion sedang asik bermain playstation 3 miliknya tiba-tiba terdengar suara orang yang memanggilnya dari luar rumah.

"Permisi. Dion..."
Ternyata itu Steve dan Rico.

"Hei dion, lupkah kalau hari ini ada pajama drive revival show..."                      
Kata Rico.

"Sorry kayaknya gue skip, kalian berdua aja deh yang nonton."

"Ayolah kawan, kemarin kita udah mati-matian ngevote oshi buat PDRS, dan skrng gue udah beli tiket gold 3 lembar, Iya kali ga kuy.." 
 Kata steve membujuk.

"Serius lu udh beli tiket gold buat kita? Yaudah deh gue ikut..."

"Huhh giliran di bayarin baru semangat, alias pinjem dulu kali ps nya.."




~~~

Ketika pertunjukan pajama Drive revival show selesai, para penonton pun satu persatu keluar dari pintu stage untuk melakukan sesi Hi-touch dengan member.
Kinal (tos), yona (tos), Chikarina (tos), Melody (tos), Viny (tos), Dena (skip), Nabilah (tos), ayana (tos), Dst~

~

"Eh Dion, lu kenapa pas hi-touch ngeskip Dena tadi?"                            
Kata Rico dengan heran.

"Nah ga kayak biasanya dion, padahal kalau liat Dena langsung teriak"                        
susul steve..

"Serius? Ah mungkin gue ga sengaja skip Dena."                                      
 Dion menjawabnya dengan beralasan, padahal faktanya dia memang enggan untuk
hitouch dengan Dena.

~~~

Pada saat perjalanan pulang dari kampusnya, Rico melihat gadis mirip Dena bersama seorang cowok di sebuah restoran, di kaca jendela restoran itu, Rico melihat mereka saling berpegangan tangan..

"Hah itu kayak Dena member JKT48... "

Tanpa lama Rico mengambil smartphone dari sakunya untuk memfoto mereka. 

"Gue harus beritahu Steve dan Dion.." 
kata rico di dalam hati.

~~~

"Eh Steve.. Ric.. lu tau ga, pernah wktu pas pulang sekolah ga sengaja gue ngelihat Dena sama seorang cowok, dan gue yakin itu adalah pacarnya.."  
Kata Dion.

"Apa? Hahaha... itumah cuma mirip doang kali, mana mungkin itu Dena JKT48" 
 Kata Steve cengengesan.

"Iya, gue juga pernah ngeliat cewek mirip Dena pas pulang dari kampus, coba kalian pastikan sendiri ini Dena atau bukan.."      
Rico mengeluarkan smartphonenya.

"Ini di restoran Black and With dekat plaza ."                      
kata Rico lagi. 

"Gue gak nyangka, dena melakukan itu."
 Kata Dion.

"sabar ya ion ini mungkin cobaan buat lu, saran gue mendingan lu oshihen dari Dena."
Ledek Steve.

"steve jangan becandain Dion, Emangnya lu mau dibanting sama dia..."
"Kata rico.

~~~


Di suatu tempat dimana Steve bekerja, yaitu sebuah bar, tanpa sengaja, ia melihat seorang pria yang mirip ada di dalam hpnya Rico. Ada sejumlah orang juga di sana, dan mereka seperti sedang melakukan bisnis, Steve yang berada disana berusaha untuk tidak peduli.

 Pukul 3 pagi kemudian, bar ini tutup. sebagai OB, steve tetap melakukan pekerjaanya, membersihkan. Namun ia terkejut karena tiba-tiba ada sesuatu yang berbunyi di sela sofa, sebuah smartphone dengan notifikasi message masuk yang berisi seperti ini...

"Sam, Sepertinya saya telah berubah pikiran. Jadi, saya terima tawaran dari anda untuk gadis cantik yang anda bilang bernama Dena seharga 40jt, serahkan gadis itu di lokasi yang saya tentukan kemarin. Ingat, jangan sampai ketahuan polisi.. Jika tidak, nyawa gadis itu akan saya ancam pada suatu waktu."

Setelah selesai membaca sms tersebut seketika tangan Steve tiba-tiba bergetar saking paniknya, ia tahu bahwa sms tersebut ada niat untuk melakukan sebuah penculikan, dan yang menjadi korbannya adalah Dena.

Dengan cepat Steve menelpon Dion.

"hallo Di.. di.. di.. Dionnn.... Cepet temuin gue di jembatan plaza sekarang..."

"Halo steve, hah Mau ngapain, gue lagi seru nonton bola nih, ganggu aja.."

"Cepet kesini, kalo engga rumah lu nanti gua bakar nih...." 

"Anjir,, yaudah gue ke sana, awas aja kalo ga penting, ntar lu yang gue supleks.."

~~

**Saat dion sudah di jembatan plaza**

"Hai Steve, ada apa memangnya ngajakin gue ketemuan jam segini..."

"Coba sekarang lu baca sms ini"

**Setelah dion selesai baca sms nya.

Dari mana lu dapat sms ini steve, Ini bukan lelucon kan?.."

"Tadi gue melihat pria yang mirip kayak di foto itu, gue parhatiin ternyata dia jatuhkan hp nya, Lalu ada notifikasi sms seperti ini.."

"Kita harus bergerak cepat steve, gue tahu dimana pria itu bakal menemui Dena."

"Ok lebih baik lu ke tempat itu sekarang juga dan jangan biarkan mereka menculik Dena." 
Karena Dion dan Steve tidak mengetahui secara pasti kapan rencana penculikan itu akan dilancarkan, maka mereka begerak dari sekarang juga. Dion memata-matai Dena di mana tempat waktu Rico memfotonya, yaitu sebuah restoran black and with.
satu hari~ dua hari~ Dion tidak melihat Dena, tetapi begitu di hari ketiga, ia dan steve melihat Dena sedang berjalan menuju ke restoran tersebut. Berselang beberapa saat kemudian, melintaslah sebuah mobil yang mirip waktu dion melihat Dena saat ia pulang dari sekolah waktu itu. dan benar, Dena naik ke mobil tersebut.. Dengan cepat dion menelpon Rico.

"Ric, gue lihat Dena, dia naik ke sebuah mobil, skrng gue sama steve akan membuntuti kemana mobil itu akan pergi. jika ini adalah sebuah penculikan, gue akan beri tahu lu lokasinya nanti" 
Begitu mobil itu pergi, Dion dan steve pun terus membuntutinya dengan sepeda bmx sampai dibawa ke suatu tempat. 


Entah kenapa mobil itu membawa Dena ke sebuah gedung tua yang sudah tak berpenghuni, Lalu ketika mobil itu berhenti, dari kejauhan Dion melihat Dena yang sedang diikat mulut dan kedua tangannya, sesekali terdengar juga suara teriakan minta tolong namun samar dan tidak terlalu jelas. Di sana,  terlihat ada dua orang pria yang membawa Dena, dari sebuah mobil. Dan salah seorangnya merupakan yang bersama dena waktu itu di restoran black n with. selain itu, ada juga seorang pria tua gemuk memakai jas yang sudah menunggu di dalam gedung kosong itu. Terungkaplah sudah lokasi dan tujuan mereka. Dengan sigap Dion menelpon kembali Rico."

"Halo Ric, ternyata lokasinya di dalam gedung yang sudah kosong tepatnya di belakang stasiun Cawang, ini benar sebuah penculikan, cepat lu kesini bersama polisi skrng.."
Saat kedua pria itu akan membawa Dena memasuki ke dalam gedung, Dion berniat untuk menghampirinya namun steve menyarankan agar polisi saja yang menanganinya.

"Steve, lu tunggu disini ya. Gue mau masuk ke gedung itu"
Ujar Dion kepada Steve.

"Jangan ion bahaya, biar polisi aja yang....."
Steve belum selesai bicara, dion sudah berlari memasuki gedung itu...

~~

"Woy, lu mau apain Dena hah, kenapa ikat dia..."

"Wah ternyata ada yang membuntuti kita bos.." eh, mendingan lu pulang skrng, dan gausah ikut campur jika lu ga mau mampus disini."

"Udah ga usah banyak basa basi. lo ga bisa perbuat Dena seperti itu.." Dia itu idol kami.."

"Tapi disini, tidak lagi kan?.."
Kata pacarnya Dena.

"Inget, ada dua hal yang telah lu perbuat. pertama, lu sudah bikin Dena melanggar rules, dan yang kedua, lu telah menculik idol kami. jadi otomatis lu telah berurusan sama gue."

"terus anda ini siapanya Dena hah? bahkan dia saja tidak mengenal anda.. Jadi tidak usah sok jadi pahlawannya"
Kata pacarnya Dena lagi.

"Ah bacottttt!..." Debukkk


Dion memukul rahang pacarnya Dena sampai dia tersungkur.
Lalu pemuda lain membalas pukulannya dion...

Aggghh Duzz

Pecahlah pelipis mata Dion mengeluarkan darah. 
Ketika dion tengah sempoyongan, pemuda tersebut mencoba meraih balok kayu besar di kakinya dan mengayunkan ke kepala Dion. Wuzz.. Srutt...
Dengan sigap Dion berhasil menghindar dan baloknya terlempar... Dion lalu melompat dan melayangkan kepalan tangannya mendarat tepat di wajah pria itu...

Wooshh duggh...

Tetapi lagi-lagi pemuda yang satunya menghantamkan stick bisbol di punggung Dion dengan amat keras.. 

Jedugg...

Jatuh Dion dan memuntahkan darah.
Dion amat kesakitan, dan Seketika ia terlihat sudah tidak berdaya lagi, Kedua pemuda itu lalu terus memukuli Dion dengan stick bisbol tanpa rasa ampun.

Dena yang sedang diikat hanya bisa menangis melihat kejadian tersebut. Dan Dena terkejut ketika melihat pria tua itu tampak mengeluarkan sebuah pistol dari balik jas nya. 

"Maaf nak, sepertinya terpaksa saya harus membunuhmu..."
Pria itu membidik kepala Dion...

dan...

"Jangan bergerak!"
Namun yang terjadi, justru pria tua itu yang kini tertodong balik kepalanya dari belakang oleh steve... 

"sedikit saja kalian bergerak, maka peluru ini akan menembus kepala orang tua ini.. cepat sekarang jatuhkan pistol dan stick bisbol itu!..."

Karena merasa sudah terdesak, kedua pria yang memukuli dion pun menyerah dan menjatuhkan stick bisbolnya. begitupun pria tua itu, ia juga menjatuhkan pistol dari genggaman tangannya. 
Steve lalu menendang pistol dan stick tersebut sampai jatuh kebawah gedung.. 
Bebera saat kemudian, datanglah Rico bersama dengan polisi..

"Angkat tangan!"

Polisi dengan sigap membekuk mereka beserta pacarnya Dena.

"mampus lu gue kerjain, lu pikir ini pistol asli hah? Ini kan korek api.. Haha"

Kata steve bahwa ternyata pistol yang ia todongkan tadi hanya sebuah korek api. 

"Kurang ajar..." 
Ucap salah satu dari mereka.

*menurut keterangan polisi, pria tua ini memang sudah menjadi DPO sejak 6 tahun terakhir. Dia seorang penculik ulung yang mengincar gadis cantik untuk dijadikan seorang psk kaum elit..
Sedangkan pacarnya Dena, dia agen dari pria tua itu. 
Polisi sangat berterima kasih kepada Dion, Steve, dan juga Rico sudah berhasil membongkar kasus tersebut.
Dion yang terlihat masih tergeletak di lantai, dihampiri oleh steve dan Rico.

"Dion, lu baik-baik aja kan?!..."            
Kata Rico.

"Ga terlalu buruk kok.."                          
Dion menjawabnya dengan sedikit bercanda meski dirinya sudah belumuran darah.

"Steve cepat panggil ambulan."          
Kata Rico kepada Steve.

~~~


**Di sebuah rumah sakit**

Tok.. Tok.. Tok.. 

Terdengar suara ketukan pintu dari luar.

"Silahkan Masuk."                                  
Kata steve.

Ternyata yang datang adalah beberapa member JKT48. yakni Shania, Viny, Nabilah, Melody, bahkan Dena. namun hanya Dena dan Melody yang masuk ke dalam. 
"Member Jeketi..?"                                      
Rico sedikit terkejut.

"Kami datang kesini ingin mengucapkan terima kasih banyak sama kalian. Oh iya, bagaimana dengan keadaanya?"                
Ucap Melody.

"Selama 3 minggu ini Dion masih belum juga sadar. kata dokter Dion telah mengalami gegar otak dan beberapa patah tulang cukup parah.."  kata Rico.                     


"bro sadar dong.. ada member nih menjenguk lu..."                     
Rico mencoba untuk membangunkan Dion yang masih terbujur koma. 

"Dion... Ini aku, Dena member Jeketi.  Aku baru ingat kalau kamu adalah fans yang sering hs sama aku.. Meneriaki nama aku disaat perform.. Memberi aku gift.. Dan.. terima kasih banyak juga kamu sudah menolong aku dari penculikan.. Aku benar-benar merasa sangat menyesal atas kelakuan aku sebagai member telah melanggar rules.. Andai saja aku tidak melanggar, mungkin kamu tidak akan seperti ini.."              
Kata Dena sambil menitikan air matanya.

"Makanya hargai fans dong.. kalau ga bisa mematuhi rules, kenapa lo harus juga jadi member?!.."                                        
Ucap Steve dengan nada kesal kepada Dena.

"Kalian ini jadi member kenapa sih.. Kami ini jauh-jauh datang ke theater sampai kehujanan, menysisahkan uang saku buat ngobrol dengan kalian, cuma 10 detik.. dan ternyata member ga menghargai usaha fans. skrng Lihat, sahabat gue sampai jadi seperti ini."    
Ujar steve lagi. 

Kami benar-benar minta maaf, dan mengakui atas kesalan kami."            
kata Melody.

"Sama-sama, Gue ga apa-apa kok..."    
Tiba-tiba Dion terbangun dan berbicara dengan suara pelan.

"Dion lu sadar?.."             
 Terkejut steve, dan rico. 

"Ric.. Steve.. Lightstick gue masih ada kan.."      Ucap dion lagi dengan suara pelan.

"Maa.. Masih kok.. Semua barang-barang lu Masih ada disimpen sama gue"    
Kata steve.

"Kal...Kalau gue udah se..sembuh nanti.. kita ngelive bareng lagi ya..."
 Dion mengatakannya dengan terputus-putus.

"Iya ion.. Sudah pasti kita bertiga bakal ngelive bareng lagi kok... Dan gue janji akan traktir lu teateran sampai 100 show, haha senang gak? gue tahu lu ngebet MVP kan ion?....
Kata steve kembali.

" Makasih steve, tapi sepertinya show kemarin akan menjadi terakhirnya gue mengayunkan lighstick"

"Maksud lu ion? 
Ion bangun ion.. Diooonnn....
 Steve tidak menyadari bahwa sahabatnya sudah tidak bernafas lagi.



THE END~
© 2025 by Agi Dione | All rights reserved.