Sering banget ada narasi kayak gini: “Kalau lo nggak suka Polisi Idol, berarti lo anti Golden Rules JKT48.”
Masalahnya, premis begini tuh nggak cuma ngaco, tapi juga nyesatin. Kesannya, kritik ke Polisi Idol itu sama dengan kritik ke aturan fandom. Padahal, yang kita bahas bukan aturannya, tapi cara dia ngejalaninnya.
Kalau mau dibedah, kritik itu ada tiga unsur: niat, cara nyampein, sama dampak. Banyak, kok, akun wota yang bisa kasih kritik pedes tapi tetep fokus ke masalah, nggak nyerang personal. Mereka bisa bedain mana opini, mana fakta, mana fitnah. Dan nggak semua hal dilihat sebagai kesempatan nyari engagement.
Nah, si Polisi Idol ini gagal di dua poin penting. Pertama, dia sering banget bawa kritik ke ranah personal. Kedua, soal konsistensi. Ngaku penjaga aturan, tapi malah jualan streaming ilegal. Prinsipnya diomongin, tapi kelakuannya kebalik.
Makanya, akun kayak gini bukan “kritikus”, tapi murni tukang nyinyir. Gayanya kayak punya otoritas, padahal kredibilitasnya tipis.
1. Member Harus Joget di Teater, Kalau Main Film Dianggap Bukan Idol Lagi?
Kalau ada yang bilang, “Member lebih sering main film daripada teater, berarti gugur status idol-nya,” ya kita harus tanya, siapa yang bikin standar itu? Rujukannya mana? Dasar resminya apa?
Di sistem grup 48, termasuk pusatnya, AKB48, udah berkali-kali ada member yang kerja di luar teater dan tetep dihargain sebagai idol. Atsuko Maeda, Yuko Oshima, Rena Matsui, job di luar teaternya banyak, tapi nggak pernah dianggap ngkhianatin status idol. Bahkan manajemen yang dorong diversifikasi itu.
Kalau identitas idol cuma diukur dari sering tampil di teater, terus apa kabar visi JKT48 buat jadi platform pengembangan diri? Narasi “dreams begin here” bakal jadi sempit. Mimpi member nggak melulu di panggung teater, dan itu nggak bertentangan sama status idol.
2. Member Harus Jaga Jarak dengan Lawan Mainnya di Film
Poldol sering bilang, kalau member JKT48 akrab sama lawan jenis di film, itu melanggar aturan idol. Masalahnya, argumen ini nggak masuk akal.
Akting itu butuh chemistry. Tanpa kedekatan dan interaksi yang natural, film bakal kaku, gagal nyampein emosi, dan jelek hasilnya. Kedekatan di set bukan soal hubungan pribadi, tapi bagian dari profesionalitas sebagai tokoh.
Kalau trauma cinlok, itu nggak bisa dijadiin standar buat nge-judge semua member. Sama aja kayak bilang semua wota cabul cuma gara-gara satu oknum. Logika yang lemah dan sempit.
3. JKT48 Sudah Terkenal, Jadi Nggak Perlu Promosi?
Ini argumen paling males mikir dari kaum Poldolers.
Bedain “pernah terkenal” sama “masih terkenal.” Brand yang dulu gede nggak otomatis aman selamanya. Banyak musisi, band, artis dulu hype, sekarang hilang karena stop promosi.
JKT48 bisa survive lebih dari 10 tahun bukan semata kejayaan masa lalu aja, tapi juga karena mereka konsisten promosi. Teater itu jantungnya JKT48, tapi promosi itu aliran darahnya. Kalau cuma ngerawat satu sisi, grup bakal stagnan.
Fans lama nggak bakal ngestand selamanya. Dunia berubah, demografi penonton juga berubah. Yang nonton di 2013, banyak udah berhenti. Makanya, promosi itu wajib, bukan pilihan, supaya tetep bisa datengin fans baru.
4. Keras Kepala, Bahkan Saat Berdebat dengan Ex-Member
Dalam diskusi, penting tau siapa yang ngomong dan otoritasnya. Dunia idol ada sisi pengalaman yang nggak bisa cuma diukur teori.
Kasusnya, Poldol debat sama Ikha, ex-member yang udah ngerasain dunia idol langsung. Tapi podol tetep ngotot kayak lebih paham.
Harusnya kan dia tarik napas, diem, dengerin. Tapi enggak, dia malah ngejar validasi. Hasilnya, yang berkembang bukan diskusinya, tapi egonya.
5. Hobi Menggiring Opini
Ketika ada suatu statement dari member, Poldol ini sering banget muter balikin kata-kata, Ngeframing. Teknik manipulatif: ngambil statement, ubah konteks, bikin drama. Ini udah bukan diskusi, tapi provokasi.
6. Nyerang Pelatih Timnas Indonesia, Shin Tae-yong
Dan ini... konteksnya udah di luar idol, tapi cukup ngegambarin kualitas cara berpikirnya.
Si Poldol sempat nyerang Shin Tae-yong gara-gara Indonesia kalah dari Australia.
Padahal... itu Australia. Langganan Piala Dunia. Negara top Asia.
Dan lo nggak liat perjuangan timnas? Indonesia lolos fase grup Piala Asia pertama kali dalam sejarah.
Bukannya ngasih apresiasi, malah nyinyir.
Kritik Itu Penting, Tapi Pake Otak
Kalau ngomongin kritik, tanya dulu, niatnya apa? Kritik sehat itu bukan cuma nyari salah, tapi ngasih masukan.
Masalahnya, si Poldol ini ngaku penjaga moral fandom, tapi di balik itu jualan streaming ilegal. Pepatah “kuman di seberang lautan keliatan, gajah di pelupuk mata nggak tampak” pas banget buat dia.
Ironis? Banget. Munafik? Jelas. Kritik orang soal moral, tapi hidup dari pelanggaran.
Lucunya, banyak yang masih follow dia. Mungkin karena keliatan tegas, mungkin karena vokal. Tapi harus ditanya lagi, vokal buat bantu grup, atau buat nyari engagement?
Ya udah lah, kita udah paham tipe-tipe orang kayak gini.
Social Plugin